Di beberapa bagian berselimutkan salju antara 15 Cm hingga 30 Cm. Tumpukan salju itu tidak mudah terurai selama suhu udara tidak kunjung turun dari level 15 di bawah 0 dejarat Celcius.
Jalan-jalan utama di Urumqi pada Kamis (3/1) siang relatif sepi. Sama sepinya dengan suasana di dalam satu-satunya kereta bawah tanah (MRT) di Xinjiang. MRT yang baru 1,5 tahun beroperasi itu hanya melintas di ruas jalur Bandara Diwopu-Balou sepanjang 17 kilometer. Secara awam hal itu dapat dilihat bahwa pembangunan di Xinjiang masih tertinggal dibandingkan dengan daerah otonomi atau provinsi lain di daratan Tiongkok.
Indikator lain dapat dilihat dari postur ekonomi. GDP Xinjiang pada 2017 hanya 1,09 triliun RMB sehingga cukup bercokol di peringkat ke-26 dari 32 daerah otonomi dan level provinsi di China. Namun pendapatan perkapita Xinjiang masih lumayan berada pada posisi ke-21 dengan 45.099 RMB, di atas Sichuan (44.651 RMB) dan di bawah Jiangxi (45.187 RMB).
Islam-Komunis
Sebagian besar bangunan di wilayah paling barat China itu bergaya Timur-Tengah. Mulai kantor pemerintahan, sekolahan, hotel, rumah makan, sampai apartemen pun kental nuansa kearab-araban, senada dengan tulisan dan papan petunjuk jalan yang menggunakan aksara Uighur berpadu dengan Hanzi.
Sekilas abjadnya mirip Arab. Tapi jika dicermati rangkaian huruf demi huruf, tulisan Uighur itu pelafalannya tidak seperti Arab. Hampir sama dengan Arab Pego yang diartikulasikan dalam bahasa Jawa oleh kalangan santri tradisional untuk membedah kitab klasik.
Ornamen kubah dengan warna hijau dan kuning emas yang melambangkan budaya Islam berpadu dengan warna merah menyala sebagai identitas Partai Komunis yang berkuasa di China sangat melekat di Xinjiang. Baliho dan videotron dari berbagai ukuran yang menampilkan gambar Presiden Xi Jinping dalam berbagai aktivitas juga menghiasi beberapa tempat strategis.
Palu dan arit berwarna merah sebagai lambang Partai Komunis China (PKC) juga bertebaran, termasuk dalam bentuk tiga dimensi di atas gedung bertingkat milik partai itu. Di berbagai daerah lain di China sangat jarang kantor sekretariat PKC dilengkapi dengan logo palu arit tiga dimensi berukuran besar di atas atap gedung seperti yang terlihat di Urumqi itu.
Lalu lintas di Urumqi relatif lancar dan tertib. Tidak terlihat kepadatan kendaraan bermotor yang sangat berarti. Demikian juga dengan trotoar, tidak banyak terlihat para pejalan kaki. Tidak ada pembanding yang pasti apakah memang pada musim dingin seperti sekarang ini orang malas keluar atau memang pada Kamis (3/1) hingga Minggu (6/1) ada lima wartawan asing mengunjungi Xinjiang sehingga situasi menjadi sepi.
Padahal sebelumnya beberapa media China menurunkan laporan Xinjiang telah mengalami "booming" pariwisata sejak September 2018. Pemerintah China juga menyatakan bahwa Xinjiang bukan daerah tertutup seperti anggapan banyak orang selama ini. Aksesnya pun banyak pilihan, terutama penerbangan langsung dari Beijing dan beberapa kota besar lain di China, juga Pakistan dan Kazakshtan.
Perjalanan darat dari Beijing melalui jalan tol dan kereta api dengan melintasi Gurun Gobi yang menawan juga bisa sampai Xinjiang dengan waktu tempuh 24 hingga 35 jam. "Siapa saja boleh ke Xinjiang. Di sini banyak objek wisata menarik yang tidak kalah dengan di berbagai tempat lainnya," kata Deputi Direktur Hubungan Luar Negeri dan Pusat Pers Internasional (IPC) Kementerian Luar Negeri China, Liu Chang, di Urumqi.
Berbeda dengan Gansu yang juga banyak dihuni kaum Muslim seperti Xinjiang. Di beberapa kota di provinsi tetangga Xinjiang itu masih banyak orang lalu-lalang mengenakan busana Muslim/Muslimah di jalanan dan pusat keramaian lainnya. Para pedagang cendera mata memainkan alat musik tradisional etnis Uighur untuk menarik minat para pengunjung Xinjiang International Grand Bazaar di Kota Urumqi, Daerah Otonomi Xinjiang, Kamis (3/1).
Korelasi antara situasi tersebut dengan kedatangan lima wartawan asing, termasuk Antara, tidak sepenuhnya benar karena didapati situasi yang berbeda di Xinjiang International Grand Bazaar. Pusat perbelanjaan berbagai jenis makanan khas, cendera mata, dan alat musik tradisional Uighur itu merupakan salah satu tujuan wisata yang wajib dikunjungi siapa saja yang menginjakkan kaki di daerah level provinsi berpenduduk sekitar 22 juta jiwa itu.
Di tengah pedestrian yang menawarkan beraneka macam barang tersebut berdiri megah bangunan masjid bergaya Timur-Tengah dengan kubah utama yang diapit tiga menara. Di depan pintu gerbang terdapat tiga tiang yang mengibarkan bendera nasional China berwarna merah dengan gugusan lima bintang pada bagian sudutnya.
Beberapa meter dari masjid, sekelompok pemusik memainkan irama gambus dan rebana dengan nada rancak mengiringi para penari pria dan wanita di depan kerumunan para pengunjung. Dalam hitungan menit, satu hingga dua orang pengunjung bazar turut menggoyangkan badan mengikuti gerakan gemulai tiga orang penari perempuan yang mengenakan baju tertutup lengkap dengan penutup kepala yang memperlihatkan sebagian rambutnya.
Para pedagang tak kalah atraktifnya menawarkan berbagai jenis cendera mata dan makanan khas, seperti roti canai, kurma, dan daging-dagingan yang didominasi oleh kambing dengan bahasa lokal, Mandarin, bahkan Inggris karena Grand Bazaar juga dikunjungi oleh wisatawan asing.
Untuk menarik pembeli, beberapa pedagang sengaja memainkan alat musik tradisional mereka sambil bernyanyi dengan bahasa mereka sendiri. Lorong pelapak berujung di tenda besar warna putih. Suasana di dalam tenda penuh sesak. Tidak satu pun meja dan kursi tersisa. Suasana di dalam tenda yang dilengkapi dengan pemanas itu makin hangat mana kala sekelompok seniman menyajikan musik gambus lengkap dengan para penarinya. Beberapa saat kemudian pelayan datang membawa nampan tertutup. Begitu dibuka tudungnya, tampak seekor kambing muda meringkuk siap santap.
Mengejutkan memang karena sekilas bentuknya mengerikan karena kaki dan tubuh sampai leher dibiarkan utuh, tapi dagingnya sangat lezat dan empuk. "Ini masakan khas kami," kata seorang pelayan sambil mempersilakan para wartawan asing memulai santap malam dengan seekor kambing muda seberat 12 kilogram yang sudah dimasak itu dengan harga 150 RMB (Rp315.000) per kilogram yang meromok di atas meja saji itu.
"Hubbul wathan minal iman"
Seorang guru melafalkan tulisan kapur di papan yang ditirukan oleh beberapa murid di salah satu ruang kelas di kampus Institut Islam Xinjiang (XII). Potongan hadits Nabi SAW yang berarti "mencintai negara merupakan sebagian dari iman" itu dibaca berulang-ulang oleh para pelajar putra berusia 20 tahun ke atas yang semuanya mengenakan kopiah tradisional mereka benbentuk persegi dengan empat sudut lengkung.
Hadits lain dan ayat Alquran tentang persatuan dan rasa saling mengenal antara satu dengan yang lain dibaca keras-keras oleh para pelajar dengan bimbingan seorang guru saat ANTARA dan empat awak kantor berita asing lainnya memasuki ruang kelas dengan dipandu Imam Abdur Raqib sebagai tokoh umat Islam Xinjiang.
Selesai pelajaran di kelas, mereka bergegas menuju masjid yang berdiri tidak jauh dari gedung perkuliahan di dalam kompleks XII di Kota Urumqi itu. Di dalam bangunan yang sebagian atapnya berselimutkan salju itu, ternyata sudah ada jamaah lainnya.
Setelah suara azan dikumandangkan diikuti dengan ikamah, Imam Raqib pun melangkah ke mihrab untuk memimpin jamaah shalat Ashar pada Kamis (3/1). Cara jamaah menyibakkan diri dengan memberikan jalan bagi imam yang hendak melangkah dari pintu masjid menuju mihrab sama persis dengan tradisi para santri di pesantren-pesantren salaf di Pulau Jawa.
Bedanya, di pesantren salaf di Jawa, para santri rela membeberkan sajadahnya agar diinjak sang kiai saat berjalan menuju pengimaman demi mendapatkan berkah, di Xinjiang para penuntut ilmu tidak membawa sajadah karena karpet di masjid sangat tebal, sama dengan masjid-masjid lainnya di daratan Tiongkok sehingga makmum bersajadah itu tidak lazim.
Di masjid itu tidak ada doa atau wirid seusai shalat, kecuali hanya duduk beberapa menit sebelum bubar. Namun secara umum tata cara shalat di Xinjiang tidak beda jauh dengan di Indonesia karena mayoritas dari mereka juga beraliran Sunni. "Kami di sini berpatokan pada Alquran dan Hadits Nabi. Untuk mazhab, kebanyakan dari kami menganut Abu Hanifah (Imam Hanafi)," kata Raqib.
Sampai saat ini di kampus XII terdapat 238 pelajar yang kebanyakan berasal dari dalam wilayah Xinjiang sendiri untuk belajar agama Islam dengan rentang waktu antara enam bulan hingga enam tahun, tergantung strata. XII memiliki delapan cabang di Xinjiang dengan jumlah pelajar secara keseluruhan sebanyak 1.200 orang. Sebagai satu-satunya lembaga yang mencetak para imam dan pemuka agama Islam di Xinjiang, XII mendapatkan akreditasi dari pemerintah.
Kebanyakan para pelajar XII yang berasal dari berbagai daerah perbatasan dengan Kazakhstan, Kirgizstan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan itu mendapatkan bantuan pembiayaan sekolah, akomodasi, dan uang jajan dari pemerintah China.
Calon Imam
Fasilitas di dalam kampus pun memadai, termasuk sarana dan prasarana beribadah serta terlindunginya berbagai kegiatan keagamaan. "Kami belajar Alquran, ilmu Hadis, dan fikih, selain juga belajar Bahasa Arab," kata Abdul Aziz (23), pelajar XII asal Kota Hotan, yang memperkenalkan diri kepada Antara dengan menggunakan Bahasa Arab.
Di kampus tersebut, dia juga diwajibkan belajar Bahasa Mandarin sebagai bahasa nasional China. Sebelum menimba ilmu di Ibu Kota, Aziz sama sekali tidak mengerti Bahasa Mandarin. "Saya datang ke sini atas keinginan sendiri dengan harapan pemerintah nanti bisa memberikan pekerjaan kepada saya sesuai dengan bidang yang saya tekuni," tuturnya dalam bahasa Mandarin. Nur Ahmadi yang sepantaran dengan Aziz mengaku tidak mengeluarkan uang sepeser pun selama belajar dan tinggal di asrama kampus.
Sama dengan temannya, Nur juga berharap pemerintah setempat memberikannya pekerjaan yang tidak jauh dari lingkungan masjid sebagai satu-satunya tempat yang dilegalkan untuk kegiatan keislaman sebagaimana tertuang dalam Kebijakan dan Implementasi Perlindungan Kebebasan Umat Beragama di China yang berlaku per 3 April 2018. Regulasi yang dikeluarkan lembaga yang mengurusi masalah keagamaan di bawah Dewan Pemerintahan China menekankan bahwa semua rumah ibadah harus terdaftar di pemerintah setempat.
Pemerintah setempat sudah memberikan ketentuan mengenai pembangunan rumah-rumah ibadah yang tidak boleh didirikan di lembaga pendidikan, kecuali lembaga pendidikan berbasis agama.
Dalam catatan lembaga tersebut, jumlah rumah ibadah di China sebanyak 143.500 unit yang terdiri dari 35.000 masjid, 33.500 kuil Buddha, 9.000 kuil Taoisme, 6.000 gereja Katholik, dan 60.000 gereja Protestan. Jumlah umat beragama di China, menurut lembaga tersebut, mencapai 200 juta jiwa atau sekitar tujuh persen dari total populasi 1,5 miliar jiwa. Meskipun masjid mendominasi rumah ibadah di China, pemeluk agama Islam hanya 20 juta jiwa dengan jumlah imam 58.000 orang. Jumlah itu masih kalah dengan pemeluk Protestan di China yang mencapai 38 juta.
Perhatian terhadap perkembangan Islam juga diberikan oleh pemerintah China dengan menerbitkan Alquran dalam berbagai bahasa yang digunakan masyarakat setempat, seperti Mandarin, Uighur, Kazakh, dan Kirgiz. Belum lagi referensi keislaman lain yang telah mencapai 1,76 juta salinan, sebagaimana data Dewan Pemerintahan China Urusan Keagamaan itu. Di Xinjiang sendiri terdapat 24.000 unit masjid. Seluruhnya berada di dalam pengawasan pemerintah China.
Sama halnya dengan masjid-masjid lainnya di China yang kebanyakan dibangun pada masa Dinasti Ming yang memerintah China selama 276 tahun, mulai 1368 hingga 1644 Masehi. Sebagian besar masjid di China yang sampai saat ini berdiri sudah mengalami beberapa kali pemugaran, baik berskala besar maupun kecil, dengan semua pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah setempat.
Wisata Religi
Masjid Etigar di Kota Kashgar merupakan salah satu masjid tertua di Xinjiang. Masjid yang dibangun pada 1486 Masehi itu tidak hanya menjadi sarana ibadah bagi etnis Muslim Uighur, melainkan juga objek wisata karena lokasinya berada di tengah kota. Sejak pertama kali dibangun sampai saat ini Masjid Etigar sudah mengalami tujuh kali pemugaran, yang terakhir dilakukan pada 2011-2012 dengan biaya pemerintah sebesar 11 juta RMB.
Pada musim panas, masjid kuno yang berdiri di atas lahan seluas 5.000 meter persegi itu dikunjungi sedikitnya 1.000 orang per hari, sedangkan musim panas 80 sampai 100 orang per hari.
Masjid Etigar tidak jauh dari kawasan Kota Tua Kashgar sebagai salah satu objek wisata favorit di Xinjiang. Sisi luar kompleks masjid terdapat lapak-lapak para pedagang yang menjual beragam jenis cendera mata. "Jamaah shalat harian, jumlahnya tidak pasti. Tapi kalau Jumat, ada sekitar 400 sampai 500 orang," kata Mehmed Zuma, imam Masjid Etigar, melalui seorang penerjemah berbahasa Mandarin, Jumat (5/1).
Kontras dengan kondisi bangunannya yang terkelupas pada beberapa bagian dinding dan pintu gerbang, kompleks masjid tersebut dilengkapi beberapa kamera pemantau (CCTV). "Bapak saya meninggal ditikam orang tidak dikenal di sini," katanya mengenang peristiwa yang terjadi di Masjid Etigar pada 23 April 2013 yang merenggut nyawa ayahnya yang berusia 70 tahun lebih itu.
Menurut dia, pemasangan kamera-kamera itu sebagai upaya preventif dari pemerintah agar peristiwa maut tersebut tidak terulang, bukan sebagai upaya pengawasan yang melekat terhadap individu-individu yang ditengarai menyebarluaskan ekstremisme di kota terbesar kedua di Xinjiang itu. Bahkan sampai saat ini, Imam Zuma tidak mengetahui motif di balik penyerangan yang menewaskan ayahnya enam tahun silam itu. Namun menurut rekam jejak di Gedung Pameran Konflik Xinjiang di Urumqi tertera catatan dan gambar seorang imam di Masjid Etigar tewas dibunuh kelompok garis keras.
Fasilitas Imam
Kebutuhan dasar para imam dan takmir masjid di Daerah Otonomi Xinjiang sudah dicukupi oleh pemerintah setempat. "Setiap bulan imam dan pengurus masjid di sini dapat bantuan biaya hidup dari pemerintah," kata Imam Masjid Jamik Kota Hotan, Abdul Hasan, Sabtu (5/1). Selain itu, mereka masih mendapatkan tunjangan transportasi, asuransi kesehatan, subsidi rumah, dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Pemerintah daerah setempat juga mengalokasikan dana tahunan untuk biaya operasional dan kegiatan keagamaan umat Islam. "Setiap bulan puasa Ramadhan, pemerintah juga menyediakan menu berbuka. Demikian dengan kegiatan pada hari besar lainnyan," katanya melalui penerjemah berbahasa Mandarin. Menurut Imam Hasan yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa lokal etnis Uighur itu, kegiatan keagamaan di daerahnya dilindungi oleh undang-undang.
Pada Hari Raya Idul Adha, pemerintah pula yang menyumbangkan daging kurban. Idul Adha merupakan perayaan terbesar bagi etnis minoritas Uighur. Pertemuan Kurban Tulum (paman kurban) dengan pemimpin revolusi China Mao Zedong di Beijing pada 28 Juni 1958 diabadikan dalam sebuah monumen yang menjadi "tetenger" utama alun-alun Kota Hotan.
Pertemuan keduanya sangat monumental bagi Uighur dalam hubungannya dengan PKC. Ia pun diangkat sebagai delegasi dalam Kongres Rakyat Nasional China (NPC) yang kedua pada 1959 dan keempat pada 1975. Kota di wilayah barat daratan Tiongkok yang berbatasan langsung dengan Pakistan dan India itu dihuni sekitar 2,52 juta jiwa.
Sekitar 94,17 persen penduduk kota yang banyak menghasilkan produk pertanian itu beretnis Uighur, sedangkan 5,97 beretnis Han. Di Kota itu terdapat sekitar 1.600 masjid yang aktif dan terdaftar di pemerintah daerah setempat, masing-masing dengan jumlah jamaah pada shalat Jumat berkisar antara 400 hingga 1.000 orang.
Keberadaan masjid dan unsur pendukungnya, termasuk para imam tidak bisa lepas dari pengawasan pemerintah China yang berhaluan komunis. "Tapi bukan berarti semua imam menjadi anggota atau deputi PKC di daerah masing-masing," kata pengelola Institut Islam Xinjiang (XII) Imam Abdur Raqib di Urumqi, Kamis (3/1).
Ia menyebutkan bahwa dari 1.423 imam di Xinjiang, beberapa di antaranya ada yang menjadi deputi Partai Komunis China (PKC) di berbagai tingkatan, termasuk dirinya yang diangkat partai penguasa tersebut sebagai anggota NPC mewakili Xinjiang.
Suku minoritas Uighur yang membentuk populasi utama Xinjiang tidak semuanya beragama Islam, meskipun mereka disatukan dalam budaya dan tradisi yang sama, seperti bemain musik, menyanyi, dan menari. "Saya Uighur, lahir dan besar di sini. Tapi saya bukan Muslim. Kedua orang tua dan kakek-nenek saya juga bukan Muslim," kata Gulbostan, perempuan berusia 25 tahun, yang berprofesi sebagai pemandu wisata di Kota Kashgar.
Akhir-akhir ini perempuan berambut panjang itu merasakan kehidupan di kotanya, terutama antarmasyarakat etnis Uighur, sangat harmonis tanpa ada perbedaan latar belakang agama. Sebagai anggota etnis minoritas Uighur, sudah barang tentu Gulbostan juga bercakap bahasa lokal yang mirip bahasa Turki itu dalam pergaulannya sehari-hari, termasuk di lingkungan keluarganya. "Banyak yang mengira etnis Uighur mesti muslim. Padahal tidak semuanya. Contohnya, ya saya ini dan keluarga. Banyak juga yang seperti keluarga saya," ujar perempuan menguasai belajar Bahasa Mandarin sejak masih duduk di bangku SMA di Kota Kashgar tanpa menyebutkan angka pasti etnis Uighur nonmuslim itu.