Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengemukakan hal itu di Putrajaya, Rabu, menanggapi sikap Majelis Nasional Prancis pada 19 Desember 2018 yang telah mengadopsi amandemen Anggaran 2019 untuk mengecualikan penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel dan mengakhiri insentif pajak minyak kelapa sawit pada 2020.
Malaysia menganggap larangan defacto tersebut akan membuat minyak sawit sangat tidak ekonomis, menyebabkan kenaikan harga 30-40 persen dan langkah ini secara tidak langsung akan mendukung produk rumahan Eropa khususnya minyak lobak dan bunga matahari.
"Tindakan ini tidak menjanjikan dengan baik untuk ekonomi global, terutama untuk negara-negara penghasil kelapa sawit, seperti Malaysia. Ini sangat merugikan bagi 650.000 petani kecil dan dua juta warga Malaysia yang sangat tergantung pada industri untuk mata pencaharian mereka," katanya.
Dia mengatakan sungguh ironis bahwa tanaman minyak lain tidak tunduk pada persyaratan ketat yang sama seperti yang dituntut dari minyak sawit sehingga merupakan diskriminasi dan berbau standar ganda.
Untuk memperumit masalah, ujar dia, Majelis Nasional Prancis juga telah memutuskan untuk memperlakukan biofuel berbasis minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar biasa dan bukan sebagai bahan bakar hijau.
Hal ini tampaknya didasarkan pada persepsi yang salah arah dan generalisasi bahwa minyak sawit terkait dengan deforestasi karena perkembangan yang mengganggu ini, ujar dia, pihaknya menyerukan kepada negara-negara Uni Eropa untuk menolak langkah apa pun yang menghalangi penggunaan biofuel minyak kelapa sawit. "Larangan yang diusulkan jelas merupakan tindakan diskriminasi. Tidak ada biji minyak atau tanaman yang mengandung minyak yang ditargetkan secara negatif seperti yang dimiliki industri kelapa sawit," katanya.
Langkah ini, ujar dia, dapat melanggar peraturan WTO, dan bertentangan dengan semangat globalisasi dan perdagangan bebas, yang negara-negara Uni Eropa (UE) sangat ingin didukung dan dilindungi.
"Banyak tanaman minyak lainnya memberikan hasil minyak lebih sedikit per hektare dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Dengan demikian, minyak kelapa sawit adalah salah satu tanaman biji minyak yang paling efisien dan hemat biaya yang akan menguntungkan produsen dan konsumen," katanya.
Dia menegaskan belum ada penelitian terkemuka yang secara meyakinkan mengindikasikan dampak buruk minyak kelapa sawit terhadap kesehatan karena faktanya ada banyak penelitian yang membuktikan manfaat kesehatan dari minyak kelapa sawit.
"Malaysia berkomitmen untuk memproduksi minyak sawit berkelanjutan. Perkebunan kelapa sawit Malaysia adalah yang pertama yang memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Melalui skema sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) wajib, setiap tetes minyak sawit yang diproduksi di Malaysia akan disertifikasi berkelanjutan pada tahun 2020," katanya.
Dia mengatakan Malaysia bekerja keras untuk melakukan bagiannya sehingga tidaklah adil untuk tidak mengakui bahwa Malaysia telah membuat banyak kemajuan dalam perjalanannya menuju keberlanjutan.
"Malaysia sangat menyadari tantangan lingkungan. Banyak permukaan Malaysia yang berhasil dipertahankan sebagai lahan hutan, dan dilindungi. Tutupan hutan nasional saat ini telah diakui hampir 55,3 persen dari total luas lahan di negara ini. Ini jauh lebih tinggi daripada tutupan hutan di sebagian besar Negara Eropa besar termasuk Prancis, Jerman, Italia dan Inggris," katanya.