Makassar (ANTARA) - Kritikus Film Makassar, Nicky Rewa Vatvani, meminta Presiden Joko Widodo membatasi penerimaan film impor dan lebih memberi peluang film dalam negeri.
"Dari data yang diperoleh, sepanjang 2018 telah beredar 385 flm di bioskop, terdiri dari 141 film Indonesia, dan 244 film impor.
Kita hanya bisa berharap pada Bapak Presiden Joko Widodo lebih meberi peluang film dalam negeri," kata Nicky dalam keterangan persnya, Selasa.
Menurut dia, film Indonesia seharusnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Untuk mencapai itu, pihaknya meminta agar Peraturan Presiden tentang Tata Edar Film disahkan menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
Betapa tidak, sudah sembilan tahun PP tersebut tersendat, yang berisi tentang sanksi kepada bioskop yang tidak mematuhi aturan.
Nicky menganggap, generasi bangsa selama ini telah disodorkan film impor tak bermoral dan tidak berpendidikan yang dengan cepatnya bisa merusak budaya serta bahasa bangsa ini.
Tak hanya itu, bagi tokoh perfilman yang telah mempelopori sejumlah film keren di Makassar, seperti film Uang Panai serta film Maipa Deapati & Datu Museng, mengaku film nasional kesannya tidak mendidik. Bahkan kontennya cenderung menawarkan sesuatu yang vulgar, semacam kasus pembunuhan, asusila dan semacamnya.
Karena itu, Nicky juga mempertanyakan kredibilitas Lembaga Sensor Film (LSF) yang dengan mudahnya meloloskan tayangan mengerikan khususnya di film nasional.
"Ada beberapa film nasional yang memperlihatkan tata cara pembunuhan sadis dengan menggunakan alat potong rumput. Sangat sadis. Sementara kita yang bikin film Sumiati, pada adegan gantung diri, diminta agar disensor," tuturnya.
Nicky menyatakan bersedia menyampaikan tentang karut-marut perfilman apabila dipanggil menghadap presiden, termasuk keresahan kalangan produksi film lokal yang susahnya meminta tayangan kepada pengelola bioskop.
Adapun film Dilan 1991, Nicky hanya mempersoalkan pada kategori batasan umur yang tercantum, yakni 13 tahun ke atas.
Konten film itu semestinya 17 tahun ke atas, karena menceritakan tentang kenakalan dan percintaan anak SMA. Untuk penolakan di Makassar, itu wajar karena dikhawatirkan serupa dengan adegan di Dilan 1, dan tentu penerimaan di Makasaar berbeda dengan daerah lain," tutur Nicky.