Solusi Indonesia untuk perdamaian abadi di Rakhine State
Jakarta (ANTARA) - Selama puluhan tahun etnis Rohingya hidup dalam ketidakpastian karena mereka tidak diakui oleh pemerintah Myanmar sebagai warga negara.
Terlebih pada 1989, pemerintah Myanmar mengeluarkan peraturan yang menyebutkan bahwa Rohingya tidak termasuk ke dalam 135 etnis yang diakui.
Diskriminasi maupun persekusi terus menimpa etnis yang telah tinggal di Rakhine State sebelum Myanmar merdeka pada 1948.
Kondisi tersebut memaksa lebih dari 5.000 ribu etnis Rohingya meninggalkan rumah mereka untuk menyeberang ke Bangladesh akibat kekerasan yang tak kunjung usai.
Layaknya pengungsi, mereka tidak membawa barang berharga apapun, melainkan hanya mengenakan selembar pakaian yang lusuh saat berusaha lari dari kejaran pasukan Myanmar dan kelompok radikal.
Mereka menempuh perjalanan berhari-hari menembus hutan rimba maupun sawah, hingga sampai di perbatasan Bangladesh dan Myanmar, sebagian dari etnis Rohingya menaiki perahu menuju tempat lain yang lebih jauh yaitu ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Melihat penderitaan yang dialami oleh etnis Rohingya, Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara tidak tinggal diam.
Penekanan dari Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan etnis terlihat dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan penasehat negara Republik Uni Myanmar Aung San Suu Kyi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-34 yang berlangsung di Bangkok, Thailand, pada 20-23 Juni 2019.
Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Suu Kyi menekankan tiga hal yang diperlukan untuk menciptakan perdamaian di Rakhine State.
Indonesia yang memiliki hubungan baik dengan Myanmar menekankan pentingnya situasi keamanan yang baik di Rakhine State agar repatriasi dapat terlaksana dengan sukarela, aman, dan bermartabat.
Jika situasi keamanan tidak membaik, Presiden mengatakan, maka sulit repatriasi yang sukarela, aman dan bermartabat dapat dijalankan.
Presiden Jokowi juga menekankan mengenai pentingnya menindaklanjuti rekomendasi Laporan Preliminary Needs Assesment (PNA) serta menyampaikan bahwa Indonesia siap untuk kembali berkontribusi dalam tindak lanjut tersebut.
Para Menteri Luar Negeri ASEAN pun menyampaikan kesepakatan semua negara anggota untuk menindaklanjuti Laporan PNA.
Kedua, Indonesia siap membantu masalah diseminasi informasi.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menuturkan bahwa Informasi mengenai situasi ini adalah masalah yang cukup penting bagi Myanmar, Bangladesh dan para pengungsi yang ada di Cox Bazar, karena itu ASEAN telah sepakat untuk memberikan bantuan dalam konteks diseminasi informasi.
Ketiga, Presiden Joko Widodo juga berbicara mengenai "Keterpaduan dalam pelayanan dasa", menyangkut pengadaan pelayanan dasar untuk bidang pendidikan, kesehatan, pengadaan air bersih dan sebagainya.
Ketiga aspek tersebut merupakan program jangka panjang dan kemungkinan besar akan melibatkan kerja sama negara-negara di luar ASEAN.
Di hadapan para pemimpin negara ASEAN, Presiden Jokowi kembali mengangkat isu Rakhine State dalam pertemuan retreat KTT ASEAN ke-34 dan mengingatkan bahwa Pemimpin ASEAN telah memberikan mandat ke AHA Centre untuk melakukan analisa kebutuhan guna membantu Myanmar mempersiapkan pemulangan secara sukarela, aman, dan bermartabat.
Mandat tersebut sudah dijalankan melalui pelaksanaan PNA oleh tim ke Rakhine State. PNA sudah menyampaikan laporan dari pelaksanaan mandatnya.
Joko Widodo menyampaikan pandangannya. Pertama, saran untuk segera menindaklanjuti rekomendasi laporan PNA. Komite Tinkat Tinggi harus segera membuat suatu rencana aksi dengan kerangka waktu yang jelas.
Tindak lanjut rekomendasi tersebut akan membantu menciptakan kemajuan dalam persiapan repatriasi.
Jokowi berharap Pemerintah dan otoritas Myanmar dapat terus secara maksimal mengupayakan pemulihan keamanan. Tanpa jaminan keamanan, tidak akan mungkin terjadi repatriasi.
Presiden Jokowi juga menyarankan ASEAN dapat membantu membangun komunikasi dengan Bangladesh dan pengungsi di Cox's Bazar
dengan tetap menghormati proses komunikasi bilateral Myanmar-Bangladesh.
Lebih lanjut Presiden menyampaikan bahwa komunikasi yang baik antara Myanmar, Bangladesh, dan para pengungsi menjadi bagian penting bagi kesuksesan persiapan repatriasi.
Menciptakan perdamaian abadi
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad) Teuku Rezasyah mengatakan Indonesia berpotensi melakukan prakarsa demi menciptakan perdamaian yang adil dan langgeng di Rakhine State.
Pertama, lanjut Teuku, mempertahankan diplomasi bilateral dengan seluruh kekuatan di Myanmar. Dalam berbagai persidangan di tingkat ASEAN, terbukti pihak Myanmar amat memuji kebesaran hati dan konsistensi RI.
Di tingkat regional, perlu mengundang berbagai kalangan dari Myanmar untuk terlibat aktif dalam berbagai konsultasi dengan kalangan parlemen, media, bisnis, perguruan tinggi, lembaga riset, dan pegiat HAM di lingkungan Asean.
Teuku Rezasyah menjabarkan perlunya membuka mata mereka akan adanya potensi kerusakan nama baik ASEAN di tingkat global, jika urusan Rohingnya ini tidak kunjung tuntas.
Berpijak pada penyelesaian konflik di Aceh, Filipina Selatan, dan Thailand Selatan, maka ASEAN termasuk Myanmar diharapkan memprakarsai sebuah status otonomi khusus di Rakhine State, dengan tetap menghargai keutuhan wilayah Myanmar dan kepemimpinan pemerintah Myanmar.
Teuku Rezasyah mengatakan seluruh proses otonomi khusus ini agar dipimpin langsung oleh pemerintah Myanmar, dengan sepengetahuan ASEAN, namun dikhususkan pada pemberdayaan umum masyarakat di Rakhine State, dengan mengambil praktik pembangunan terbaik di tingkat ASEAN.
Adapun praktik terbaik tersebut antara lain adalah pelibatan dokter, perawat, dan rohaniawan asal Indonesia dan Malaysia, dalam membangun aspek kesehatan dan pendidilan umum di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Kemudian, pelibatan insinyur asal Singapura dalam pembangunan instalasi air minum dan kelistrikan di perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Untuk menyelesaikan status Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, Indonesia perlu mendekati pemerintah Inggris, yang di masa lalu pernah menjajah Myanmar, dan menyimpan bukti kesejarahan masyarakat Rohingnya secara Antropologi, Sosial Budaya, Ekonomi, dan Kejuangan.
Sejarah mencatat bahwa mereka sudah ada sebelum negara Myanmar merdeka.
Selain itu, Undang-Undang (UU) Myanmar menjadi faktor pemberat bagi pemberian hak warga negara etnis Rohingya
Mengingat terdapat pelarangan pemberian hak warga negara bagi etnis Rohingya oleh Undang-Undang (UU) Myanmar, maka UU ini perlu ditinjau secara internasional.
RI dapat menggunakan keanggotaannya dalam DK PBB untuk melakukan penelusuran khusus, dan selanjutnya memberikan rekomendasi pada pemerintah Myanmar.
Teuku mengungkapkan bahwa pimpinan di Myanmar hanya dapat diajak berpikir keras dan melunak, oleh kepala negara di ASEAN yang terpilih secara demokratis, mampu menguasai birokrasi, memiliki basis birokrasi dan massa yang kuat, serta berhasil mempertahankan stabilitas nasional, disertai bukti kesinambungan pembangunan yang teruji secara internasional.
Negara-negara ASEAN perlu melakukan pendekatan khusus atas Myanmar dengan melibatkan tokoh nasional yang berkualifikasi negarawan, untuk secara khusus berdialog dengan pimpinan puncak di Myanmar.
Terlebih pada 1989, pemerintah Myanmar mengeluarkan peraturan yang menyebutkan bahwa Rohingya tidak termasuk ke dalam 135 etnis yang diakui.
Diskriminasi maupun persekusi terus menimpa etnis yang telah tinggal di Rakhine State sebelum Myanmar merdeka pada 1948.
Kondisi tersebut memaksa lebih dari 5.000 ribu etnis Rohingya meninggalkan rumah mereka untuk menyeberang ke Bangladesh akibat kekerasan yang tak kunjung usai.
Layaknya pengungsi, mereka tidak membawa barang berharga apapun, melainkan hanya mengenakan selembar pakaian yang lusuh saat berusaha lari dari kejaran pasukan Myanmar dan kelompok radikal.
Mereka menempuh perjalanan berhari-hari menembus hutan rimba maupun sawah, hingga sampai di perbatasan Bangladesh dan Myanmar, sebagian dari etnis Rohingya menaiki perahu menuju tempat lain yang lebih jauh yaitu ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Melihat penderitaan yang dialami oleh etnis Rohingya, Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara tidak tinggal diam.
Penekanan dari Indonesia untuk segera menyelesaikan permasalahan etnis terlihat dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan penasehat negara Republik Uni Myanmar Aung San Suu Kyi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-34 yang berlangsung di Bangkok, Thailand, pada 20-23 Juni 2019.
Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Suu Kyi menekankan tiga hal yang diperlukan untuk menciptakan perdamaian di Rakhine State.
Indonesia yang memiliki hubungan baik dengan Myanmar menekankan pentingnya situasi keamanan yang baik di Rakhine State agar repatriasi dapat terlaksana dengan sukarela, aman, dan bermartabat.
Jika situasi keamanan tidak membaik, Presiden mengatakan, maka sulit repatriasi yang sukarela, aman dan bermartabat dapat dijalankan.
Presiden Jokowi juga menekankan mengenai pentingnya menindaklanjuti rekomendasi Laporan Preliminary Needs Assesment (PNA) serta menyampaikan bahwa Indonesia siap untuk kembali berkontribusi dalam tindak lanjut tersebut.
Para Menteri Luar Negeri ASEAN pun menyampaikan kesepakatan semua negara anggota untuk menindaklanjuti Laporan PNA.
Kedua, Indonesia siap membantu masalah diseminasi informasi.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menuturkan bahwa Informasi mengenai situasi ini adalah masalah yang cukup penting bagi Myanmar, Bangladesh dan para pengungsi yang ada di Cox Bazar, karena itu ASEAN telah sepakat untuk memberikan bantuan dalam konteks diseminasi informasi.
Ketiga, Presiden Joko Widodo juga berbicara mengenai "Keterpaduan dalam pelayanan dasa", menyangkut pengadaan pelayanan dasar untuk bidang pendidikan, kesehatan, pengadaan air bersih dan sebagainya.
Ketiga aspek tersebut merupakan program jangka panjang dan kemungkinan besar akan melibatkan kerja sama negara-negara di luar ASEAN.
Di hadapan para pemimpin negara ASEAN, Presiden Jokowi kembali mengangkat isu Rakhine State dalam pertemuan retreat KTT ASEAN ke-34 dan mengingatkan bahwa Pemimpin ASEAN telah memberikan mandat ke AHA Centre untuk melakukan analisa kebutuhan guna membantu Myanmar mempersiapkan pemulangan secara sukarela, aman, dan bermartabat.
Mandat tersebut sudah dijalankan melalui pelaksanaan PNA oleh tim ke Rakhine State. PNA sudah menyampaikan laporan dari pelaksanaan mandatnya.
Joko Widodo menyampaikan pandangannya. Pertama, saran untuk segera menindaklanjuti rekomendasi laporan PNA. Komite Tinkat Tinggi harus segera membuat suatu rencana aksi dengan kerangka waktu yang jelas.
Tindak lanjut rekomendasi tersebut akan membantu menciptakan kemajuan dalam persiapan repatriasi.
Jokowi berharap Pemerintah dan otoritas Myanmar dapat terus secara maksimal mengupayakan pemulihan keamanan. Tanpa jaminan keamanan, tidak akan mungkin terjadi repatriasi.
Presiden Jokowi juga menyarankan ASEAN dapat membantu membangun komunikasi dengan Bangladesh dan pengungsi di Cox's Bazar
dengan tetap menghormati proses komunikasi bilateral Myanmar-Bangladesh.
Lebih lanjut Presiden menyampaikan bahwa komunikasi yang baik antara Myanmar, Bangladesh, dan para pengungsi menjadi bagian penting bagi kesuksesan persiapan repatriasi.
Menciptakan perdamaian abadi
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran (Unpad) Teuku Rezasyah mengatakan Indonesia berpotensi melakukan prakarsa demi menciptakan perdamaian yang adil dan langgeng di Rakhine State.
Pertama, lanjut Teuku, mempertahankan diplomasi bilateral dengan seluruh kekuatan di Myanmar. Dalam berbagai persidangan di tingkat ASEAN, terbukti pihak Myanmar amat memuji kebesaran hati dan konsistensi RI.
Di tingkat regional, perlu mengundang berbagai kalangan dari Myanmar untuk terlibat aktif dalam berbagai konsultasi dengan kalangan parlemen, media, bisnis, perguruan tinggi, lembaga riset, dan pegiat HAM di lingkungan Asean.
Teuku Rezasyah menjabarkan perlunya membuka mata mereka akan adanya potensi kerusakan nama baik ASEAN di tingkat global, jika urusan Rohingnya ini tidak kunjung tuntas.
Berpijak pada penyelesaian konflik di Aceh, Filipina Selatan, dan Thailand Selatan, maka ASEAN termasuk Myanmar diharapkan memprakarsai sebuah status otonomi khusus di Rakhine State, dengan tetap menghargai keutuhan wilayah Myanmar dan kepemimpinan pemerintah Myanmar.
Teuku Rezasyah mengatakan seluruh proses otonomi khusus ini agar dipimpin langsung oleh pemerintah Myanmar, dengan sepengetahuan ASEAN, namun dikhususkan pada pemberdayaan umum masyarakat di Rakhine State, dengan mengambil praktik pembangunan terbaik di tingkat ASEAN.
Adapun praktik terbaik tersebut antara lain adalah pelibatan dokter, perawat, dan rohaniawan asal Indonesia dan Malaysia, dalam membangun aspek kesehatan dan pendidilan umum di sepanjang perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Kemudian, pelibatan insinyur asal Singapura dalam pembangunan instalasi air minum dan kelistrikan di perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Untuk menyelesaikan status Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan, Indonesia perlu mendekati pemerintah Inggris, yang di masa lalu pernah menjajah Myanmar, dan menyimpan bukti kesejarahan masyarakat Rohingnya secara Antropologi, Sosial Budaya, Ekonomi, dan Kejuangan.
Sejarah mencatat bahwa mereka sudah ada sebelum negara Myanmar merdeka.
Selain itu, Undang-Undang (UU) Myanmar menjadi faktor pemberat bagi pemberian hak warga negara etnis Rohingya
Mengingat terdapat pelarangan pemberian hak warga negara bagi etnis Rohingya oleh Undang-Undang (UU) Myanmar, maka UU ini perlu ditinjau secara internasional.
RI dapat menggunakan keanggotaannya dalam DK PBB untuk melakukan penelusuran khusus, dan selanjutnya memberikan rekomendasi pada pemerintah Myanmar.
Teuku mengungkapkan bahwa pimpinan di Myanmar hanya dapat diajak berpikir keras dan melunak, oleh kepala negara di ASEAN yang terpilih secara demokratis, mampu menguasai birokrasi, memiliki basis birokrasi dan massa yang kuat, serta berhasil mempertahankan stabilitas nasional, disertai bukti kesinambungan pembangunan yang teruji secara internasional.
Negara-negara ASEAN perlu melakukan pendekatan khusus atas Myanmar dengan melibatkan tokoh nasional yang berkualifikasi negarawan, untuk secara khusus berdialog dengan pimpinan puncak di Myanmar.