Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Departemen Mikorbiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof Amin Soebandrio, mengatakan data genom yang dimiliki Indonesia untuk COVID-19 masih belum memadai karena adanya berbagai keterbatasan.
“Masih jauh dari memadai. Artinya selama ini kan baru belakangan saja (data genom dikenal), baru setelah ada COVID-19, kemudian studi genom itu mendapatkan perhatian dan banyak yang melakukan penelitian,” kata Amin saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Amin menuturkan sebelum pandemi COVID-19 terjadi di seluruh dunia, tidak banyak laboratorium yang mempelajari soal data genom, khususnya untuk genom terkait manusia.
Data genom sendiri, katanya, merupakan kumpulan data yang dapat menjadi cetak biru (blue print) kehidupan karena mampu menceritakan informasi tentang suatu makhluk dari yang mudah dilihat mata (fenotip), seperti warna kulit, sampai yang tidak terlihat (genotip), yakni DNA/RNA dalam tubuh secara detail.
Bila dikaitkan dengan virus, Amin mengatakan data genom tidak hanya menceritakan mengenai gejala atau sifat-sifat virusnya, tetapi akan menciptakan informasi genetik yang dibawa oleh virus itu sendiri, sehingga pergerakan mutasi dapat diamati.
Di Indonesia, Amin membeberkan bila negara sudah memiliki banyak sampel yang mewakili berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sampel-sampel itu disimpan di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes).
“Sebetulnya sampelnya sebagian ada di sana, lab-lab lain yang melakukan pemeriksaan PCR itu kan harus mengirimkan sampelnya, ada koleksinya yang mewakili berbagai daerah. Tapi kita masih punya keterbatasan, sehingga belum bisa melakukan semuanya di sequence,” ucap Amin.
Hanya saja, menurut dia, data genom yang dikumpulkan belum dapat memadai penelitian. Sebab, untuk melakukan tes pada satu virus saja perlu mengeluarkan dana sekitar Rp5 juta hingga Rp10 juta.
Menurut dia, data genom juga belum memadai karena kurangnya tenaga ahli yang dapat menganalisis data tersebut. Padahal data harus dianalisis oleh orang yang dapat membaca suatu kode data tertentu bersamaan dengan penggunaan teknologi yang canggih dan server berkapasitas besar.
Kondisi data genom di Indonesia, kata Amin, juga berbeda dengan negara maju, seperti Inggris yang sudah lebih banyak menyusun data genom hingga 10 kali lipat lebih banyak.
Inggris dapat menyusun data genom lebih banyak karena keadaan ekonomi yang lebih baik serta setiap negara bagiannya bersedia mengirimkan sampel dari data-data tersebut.
Sementara karena wilayah Indonesia yang terlalu luas, Amin mengatakan data genom yang dimiliki negara saat ini paling banyak berasal dari Pulau Jawa, meski sedikit data juga berasal dari provinsi lain, seperti Sumatera dan Kalimantan.
“Kalau Inggris bisa 10 kali lipat dari kita karena persentasenya lebih tinggi. Boleh dikatakan seluruh negaranya sudah ada perwakilan. Artinya ada virus-virus yang berasal dari daerahnya, kalau Indonesia kan terlalu luas,” kata dia.