Semarang (ANTARA) - Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menyosialisasikan KUHP baru kepada masyarakat luas sebelum undang-undang ini berlaku pada tahun 2025.
Sebelum pada hari-H sidang maupun setelah Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (6/12), dengan agenda persetujuan bersama antara DPR RI dan Pemerintah mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang, mengundang respons tidak saja dari dalam, tetapi juga dari sejumlah negara.
Misalnya, pernyataan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Sung Kim yang mengatakan bahwa RUU KUHP yang mengatur soal ranah privat bisa memicu investor lari. Pendapat Dubes AS ini pun langsung direspons Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Dhahana Putra di Jakarta, Selasa (6/12).
Sebagaimana pemberitaan ANTARA, Dhahana Putra menegaskan tidak benar jika dikatakan bahwa pasal-pasal dalam RUU KUHP terkait dengan ranah privat atau moralitas berpotensi membuat investor dan wisatawan asing lari dari Indonesia.
Wujud perlindungan dari ruang privat masyarakat tersebut adalah dengan diaturnya dua jenis delik itu sebagai delik aduan. Artinya, tidak pernah ada proses hukum tanpa ada pengaduan yang sah dari mereka yang berhak mengadu karena dirugikan secara langsung.
Secara a contrario (menurut pengingkaran), masih kata Dhahana, pengaturan tersebut juga berarti menutup ruang dari masyarakat atau pihak ketiga lainnya untuk melaporkan adanya dugaan terjadinya tindak pidana tersebut, sekaligus mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri.
Dengan demikian, para investor dan wisatawan asing tidak perlu khawatir untuk berinvestasi dan berwisata di Indonesia. Hal ini karena ruang privat masyarakat tetap dijamin undang-undang tanpa mengurangi penghormatan terhadap nilai-nilai keindonesiaan.
Keesokan harinya atau setelah pembentuk undang-undang menyetujui pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang, Rabu (7/12), Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menjelaskan kepada ANTARA duduk persoalan terkait dengan aturan pasal perzinaan dalam KUHP baru.
Pasal perzinaan dalam KUHP baru adalah delik aduan absolut. Artinya, kata Dini Purwono, hanya suami atau istri (bagi yang terikat perkawinan) atau orang tua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan) yang bisa membuat pengaduan.
Sebenarnya, menurut Dini, tidak ada perubahan substantif terkait dengan pasal tersebut jika dibandingkan dengan Pasal 284 KUHP lama. Perbedaannya hanya terletak pada penambahan pihak yang berhak mengadu.
Sementara itu, berdasarkan draf final RUU KUHP, 6 Desember 2022, pasal kohabitasi (hidup bersama tanpa pernikahan) dan perzinaan diatur pada Bagian Keempat tentang Perzinaan, yakni Pasal 411, Pasal 412, dan Pasal 413.
Adapun ketiga pasal tersebut memuat ketentuan sebagai berikut.
Pasal 411
(1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II (Rp10 juta).
(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.
b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Pasal 412
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Pasal 413
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya (orang seisi rumah yang menjadi tanggungan seseorang), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam Penjelasan atas RUU KUHP menjelaskan Pasal 412 yang menyebutkan ketentuan mengenai hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dikenal dengan istilah kohabitasi. Ketentuan ini sekaligus mengesampingkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang mengatur mengenai hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, sepanjang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus atau istimewa.
Substansi pada pasal kohabitasi dan perzinaan KUHP baru tersebut hampir sama dengan isi Pasal 284 KUHP lama, yang kini masih berlaku. Namun, dalam pasal-pasal baru tidak dikaitkan secara langsung dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW).
Dalam KUHP lama, Pasal 284 terdiri atas lima ayat:
Ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya,
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.
Ayat (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
Ayat (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
Ayat (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
Ayat (5) Jika bagi suami istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Dalam Pasal 27 KUH Perdata menyebutkan pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Perbedaan lain dengan pasal kohabitasi dan perzinaan dalam KUHP baru adalah penambahan pihak yang berhak mengadu. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh para investor karena pasal-pasal ini baru bisa dipidana setelah ada aduan.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kohabitasi tidak bisa dipidana jika tanpa aduan
Berita Terkait
Mencegah pelaporan terhadap guru, tingkatkan sinergi dengan orang tua siswa
Kamis, 12 Desember 2024 14:57 Wib
Di balik tumbangnya dinasti Al-Assad dan nasib Suriah selanjutnya
Rabu, 11 Desember 2024 10:02 Wib
Strategi pembangunan infrastruktur demi percepatan swasembada pangan
Sabtu, 7 Desember 2024 13:40 Wib
Songsong ketahanan pangan melalui transformasi Bulog
Selasa, 3 Desember 2024 10:54 Wib
Polri dalam arsitektur negara demokrasi di era modern
Selasa, 3 Desember 2024 10:48 Wib
Potret kinerja ekonomi Indonesia pada 2024
Minggu, 1 Desember 2024 17:51 Wib
Citra pemimpin, di antara obsesi, realitas dan utopia
Minggu, 1 Desember 2024 13:15 Wib
Memperkuat industri, percepat Indonesia jadi negara maju
Minggu, 1 Desember 2024 13:14 Wib