Jakarta (ANTARA) - Kasus pelaporan guru ke polisi oleh orang tua murid dalam beberapa bulan terakhir kembali mengemuka di ruang publik. Kasus yang menjadi momok bagi para guru di Indonesia ini sepatutnya dijadikan bahan evaluasi untuk meningkatkan sinergi antara guru dan orang tua siswa.
Meskipun tidak ada data jelas mengenai jumlah pelaporan guru oleh orang tua ke kepolisian, kasus semacam ini selalu mencuri perhatian dan viral di media sosial. Ada banyak konten media sosial yang menampilkan parodi guru-guru yang mengabaikan ketidakdisiplinan siswa karena takut dilaporkan oleh orang tua siswa.
Perbincangan publik terhadap kasus serupa juga menarik untuk disimak. Berbagai kritik terus menderas terhadap kasus pelaporan guru, karena mayoritas guru mulai khawatir jika tindakan pendisplinan dan pembinaan siswa yang mereka lakukan akan menyeret mereka ke meja hijau.
Peristiwa terbaru adalah kasus Supriyani, seorang guru honorer yang dituduh melakukan kekerasan, kemudian dilaporkan oleh orang tua siswa ke polisi. Supriyani menjadi tersangka dan melewati proses peradilan di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga ia akhirnya divonis bebas pada 25 November 2024.
Terlepas dari itu, tugas kita ke depan adalah membangun suasana sekolah yang aman dan nyaman. Sekolah tak ubahnya seperti rumah kedua bagi siswa. Guru sebagai orang tua yang punya amanah mendidik, ketika ada masalah dengan siswa, maka sebagaimana di rumah, solusinya diselesaikan secara kekeluargaan.
Hal ini juga menjadi perhatian serius dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti. Ia mengambil langkah konkret dengan menjalin kerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk membahas penanganan kasus pelaporan guru yang serupa di kemudian hari.
Program yang ditawarkan dalam kerja sama Kemendikdasmen dan Mabes Polri adalah pendekatan resolusi konflik lewat jalur mediasi. Konflik yang terjadi diselesaikan, tidak semata-mata dengan KUHP, namun perlu ruang mediasi yang mempertemukan kedua pihak dengan melibatkan polisi sebagai mediator.
Dalam proses mediasi, masing-masing pihak bertemu, bermusyawarah, menyampaikan aspirasi dan informasi yang akurat, menganalisis masalah, kemudian mencari titik temu dan win-win solution dengan mengutamakan restorative justice.
Restorative justice sebagai pilihan tepat bagi pelanggaran antara guru dan siswa, mengingat keduanya berada dalam relasi sosial yang saling membutuhkan. Restorative justice sebagai sistem peradilan yang bertujuan untuk pemulihan hubungan dan tindakan saling memaafkan antara guru dan siswa atau orang tua siswa.
Tumbuh kembang anak
Tugas lain yang tak kalah penting untuk mencegah pelaporan guru adalah mengembalikan peran orang tua dan guru sebagaimana mestinya, tidak saling bertentangan, meski berbeda pendekatan dalam mendidik anak.
Dalam perspektif psikologi perkembangan, orang tua memiliki andil besar dalam mendidik anak, ada korelasi aktif antara kecenderungan karakter, bakat, dan kecerdasan anak dengan pola asuh orang tua. Orang tua adalah fasilitator utama yang mendorong tumbuh kembang anak secara optimal.
Ada banyak ilmuwan psikologi yang mengemukakan kajiannya tentang bagaimana peran orang tua terhadap tumbuh kembang anak. John Bowlby menjelaskan pentingnya kelekatan antara orang tua dan anak, dengan kelekatan yang aman dan nyaman, anak akan memiliki kepercayaan diri tinggi, kemampuan mengelola emosi, dan membina hubungan baik dengan orang lain.
Lev Vygotsky, pakar psikologi kognitif, menyebut bahwa orang tua berperan besar membimbing anak untuk berpikir kompleks dalam menyelesaikan masalah sehari-hari.
Dalam teori pembelajaran sosial Albert Bandura, orang tua adalah role model pertama anak. Anak belajar dan meniru nilai, norma, dan keterampilan sosial dari orang tua mereka.
Jika kita mencermati pendapat para ilmuwan psikologi di atas, orang tua punya porsi yang paling dominan dalam mendidik anak, orang tua juga harus mengerti bahwa ia tak bisa seorang diri mendidik anak, peran guru di sekolah menjadi penting dalam mengorkestrasi tumbuh kembang anak.
Peran guru di sekolah lebih menekankan perkembangan akademik, pembentukan karakter dan nilai, perkembangan emosional siswa dengan teman dan guru, penguasaan lingkungan, dan pembentukan orientasi masa depan siswa.
Dengan mengetahui peran guru dan orang tua dalam mendidik siswa, kita bisa membangun sinergitas yang ideal antara rumah dan sekolah. Dalam penelitian Sri Astuti, dkk (2021), sinergi guru dan orang tua bisa dilakukan dengan memperhatikan tiga indikator, yaitu bimbingan karakter, penilaian karakter, dan komunikasi antara orang tua dan anak.
Bimbingan karakter bisa dilakukan dengan pembelajaran langsung, orang tua maupun guru memberi contoh keteladanan bagi anak. Bimbingan juga bisa berupa penguatan melalui reward dan punishment. Anak terlebih dulu mendapat arahan, kemudian ketika ia berbuat sesuai harapan ia mendapat hadiah, namun ketika melanggar akan mendapat hukuman.
Pada indikator penilaian karakter, guru dan orang tua harus memiliki kemampuan dalam asesmen anak, hal sederhana yang bisa dilakukan yaitu dengan bertanya dan wawancara, mengamati aktivitas anak sehari-hari. Selain itu, kita bisa melibatkan pihak yang kompeten, seperti psikolog atau guru BK untuk menilai karakter anak menggunakan instrumen tes psikologi dan instrumen pendukung lainnya.
Indikator ketiga, yaitu komunikasi. Setelah membimbing dan menilai karakter anak, guru dan orang tua harus terus berkomunikasi, pola komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi yang efektif, informatif, dan interaktif. Dengan ketiga unsur ini bisa memperkecil kesalahpahaman dan sikap saling menyalahkan.
Dengan terbentuknya sinergi guru dan orang tua siswa, kita bisa mencapai tujuan bersama dalam mendidik anak, terbentuknya rasa saling percaya, sekaligus menciptakan atmosfer positif yang jauh dari pelanggaran dan pelaporan guru lewat jalur hukum.
*) Agung Iranda adalah Dosen Universitas Jambi dan Koordinator Rumah Progresif
Editor: Masuki M Astro
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mencegah pelaporan guru, meningkatkan sinergi dengan orang tua siswa