Makassar (ANTARA) - Seratusan warga pulau Lae-Lae dan perempuan pesisir bersama aktivis lingkungan tergabung dalam Koalisi Lawan Reklamasi (Kawal) Pesisir mengelar aksi penolakan kelanjutan reklamasi yang akan dilakukan oleh PT Yasmin karena dinilai berdampak buruk bagi warga di pulau setempat.
"Secara jelas dan tegas warga menolak adanya upaya mereklamasi (penimbunan) di Pulau Lae-Lae karena akan berdampak besar bagi warga sekitar," ujar pendamping hukum warga Lae-lae Ady Anugrah saat aksi di depan kantor DPRD Sulawesi Selatan, Makassar, Rabu.
Menurut dia, pada tahun 2014 lalu proyek reklamasi mulai berjalan di pesisir Makassar untuk pembangunan Center Poin Of Indonesia (CPI). Proyek tersebut diduga melanggar HAM karena merampas ruang hidup wilayah tangkap nelayan. Tercatat, ada 43 kepala keluarga dan perempuan pesisir ikut terdampak.
Reklamasi pun berlanjut, menyusul Surat Edaran Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan nomor 180/1428/B.Hukum terkait perluasan reklamasi hingga ke Pulau Lae-lae untuk menimbun wilayah tangkap nelayan itu diperkirakan mencapai 12,11 hektare. Dampaknya, sebanyak 1.700 jiwa penghuni pulau terancam akan digusur.
Reklamasi tersebut dilakukan sebagai lahan pengganti akibat kekurangan lahan di objek reklamasi CPI sebelumnya. Sesuai kesepakatan Pemerintah Provinsi Sulsel dengan pihak pengembang dalam hal ini PT Ciputra KSO PT Yasmin bahwa akan mengganti kekurangan lahan yang diperuntukkan bagi Pemprov.
Sebab, kesepakatan awal lahan yang direklamasi seluas 157,23 hektare, 50,47 hektare harus diserahkan ke Pemprov, namun belakangan saat diserahkan ternyata kurang 12,11 hektare, sehingga tanah tumbuh dan Pulau Lae-lae menjadi penggantinya, padahal dalam Perjanjian awal Pulau Lae-Lae tidak masuk reklamasi.
Menurut dia, sejauh ini berbagai upaya penolakan warga pulau Lae-Lae terhadap rencana reklamasi tersebut. Seperti penolakan menghadiri sosialisasi Amdal, penolakan tim pekerja dari PT Yasmin untuk pelaksanaan reklamasi, sampai aksi parade perahu nelayan tolak reklamasi pulau Lae-Lae.
Rencana reklamasi pulau Lae-Lae, didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) nomor 3 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Provinsi Sulsel dan Peraturan Gubernur nomor 14 tahun 2021 tentang Pembangunan Destinasi Wisata Bahari di Pulau Lae-Lae.
"Hingga hari ini, tidak ada hasil kajian lingkungan soal dampak reklamasi. Rencana reklamasi itu bahkan ditolak dan tidak pernah disetujui warga, kalaupun ada izin yang terbit, itu dipaksakan dan kami nilai cacat administrasi," paparnya menegaskan.
Pihaknya pun meminta pemerintah mengakui dan melindungi wilayah tangkap nelayan dengan menyatakan sikap cabut Pergub wisata bahari , revisi Perda RT/RW, mengakui identitas perempuan nelayan, pulihkan hak masyarakat pesisir dan nelayan. Batalkan reklamasi Pulau Lae-Lae, hentikan perluasan pembangunan pelabuhan MNP serta pulihkan hal perempuan pesisir dan nelayan tradisional.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulsel Syaharuddin Alrif saat menerima aspirasi warga tersebut menjelaskan akan mengawal persoalan itu. Dan untuk kajian Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) di wilayah pesisir Pulau Lae-Lae, kata dia, belum berjalan. Ia pun menegaskan tidak ada penggusuran warga di pulau setempat.
"Setelah kami melihat, mendengar, dan mempelajari, maka dari DPRD meminta kepada Pemprov tidak ada penggusuran warga. Untuk proses reklamasi juga belum jalan sebab masih ada proses kajian Amdal, dan itu masih berjalan. Ini berarti prosesnya (reklamasi) belum jalan. Tentu kami akan mengawal aspirasi ini," tuturnya menekankan.