Banda Aceh (ANTARA) - Tubuh Jailani (61) bergetar ketika berjalan mendekati di kompleks Rumoh Geudong. Hari itu, tempat tersebut riuh dan banyak dipadati orang. Sepetak lahan terbengkalai di tengah gampong yang dipenuhi ilalang dan pohon kelapa itu, disulap untuk sehari menjadi lokasi acara seperti pesta perkawinan.
Anggota Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan aparat keamanan berjaga-jaga di sejumlah titik. Jailani terus berjalan pelan, mendekat ke lokasi acara. Setiba di pintu masuk, ia mengangkat kedua tangan ke atas, saat menjalani pemeriksaan Paspampres sebelum masuk.
Isi kepala Jailani berkecamuk. Trauma masih terus terasa. Momen pemeriksaan di pintu masuk mengingatkannya saat konflik Aceh. Kala itu, ia menyebutkan dibawa ke Rumoh Geudong oleh pasukan Kopassus, dalam suasana berbeda. Bukan untuk hadiri sebuah “pesta”, melainkan untuk mendapat penyiksaan.
“Walaupun dihias seperti apa pun, sehebat apa pun, ingatan saya tetap Rumoh Geudong yang dulu, (yaitu) orang nangis, menjerit. Makanan pun saat disajikan di situ tidak ada rasa apa-apa,” kata Jailani, bercerita di kediamannya, Desa Didoh, Kecamatan Mutiara Timur, Pidie, Aceh.
Jailani merupakan salah seorang dari sekian banyak korban Rumoh Geudong yang masih hidup, selama peristiwa itu sejak 1989-1998. Ia dibawa tentara ke rumah yang terletak di Desa Bilie, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie itu karena dituduh membantu Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Terakhir, Jailani mendapat berbagai bentuk penyiksaan oleh aparat militer di Rumoh Geudong pada 1998, sebelum akhirnya mereka meninggalkan rumah itu dan bangunan itu dibakar masyarakat.
“Saya dibawa (Rumoh Geudong) bukan sekali, melainkan berulang kali. Dilepas, dijemput lagi, dipukul lagi, disetrum lagi, macam-macam,” ujarnya.
Hingga sekarang, Jailani masih merasa sakit di bagian tulang rusuk, dada, tulang belakang, dan kepala, akibat penyiksaan yang dialami. Ia harus menopang hidup dengan bermacam obat dari rumah sakit.
Hal yang sama juga dirasakan istri Jailani, Ainon Mardiah (48). Sang istri juga masuk dalam daftar korban penyiksaan Rumoh Geudong yang masih hidup. Berbeda dengan Jailani, Ainon hanya dibawa sekali ke Rumoh Geudong, namun juga menerima penyiksaan, dipukul hingga disetrum oleh aparat.
Masa depan
Saat ini, lahan dengan luas sekitar 150 x 180 meter persegi itu sudah rata dengan tanah. Sisa tembok bangunan Rumoh Geudong usai dibakar warga pada 1998, telah dihancurkan. Hanya tersisa tangga. Pemerintah berencana membangun masjid dan living park di area itu.
Akhir Juni lalu, Presiden Joko Widodo secara resmi meluncurkan implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu di lokasi Rumoh Geudong. Maka pemerintah mulai merealisasi pemulihan hak-hak korban sebanyak 12 pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara.
Dari 12 kasus itu, tiga di antaranya berada di daerah Tanah Rencong, yaitu Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Pidie tahun 1989, Peristiwa Simpang KKA Aceh Utara tahun 1999, serta Peristiwa Jambo Keupok Aceh Selatan tahun 2003.
Bagi pribadi Jailani, dirinya sudah menutup buku untuk berbicara peristiwa puluhan tahun silam itu. Ia mengaku tak dendam terhadap pelaku. Tak lagi berharap pelaku kejahatan masa lalu itu harus dihukum.
Sepenuhnya, Jailani menyerahkan kepada Pemerintah untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial.
Saat ini, baginya adalah melanjutkan hidup dan masa depan lima orang anaknya. Ia berharap pemulihan hak-hak korban melalui penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial dapat dituntaskan secara maksimal.
Bantuan bagi korban, keluarga korban, dan ahli warisnya diberikan secara berkelanjutan.
"Apa yang sudah terjadi, ke depan semoga ke depan tidak terulang lagi," ujar Jailani.
Keluarga Jailani terdaftar sebagai penerima bantuan rehab sebagian bangunan rumah, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam program itu. Semua bantuan atas nama sang istri, sebagai korban. Namun, ia juga kecewa karena namanya tak terdaftar sebagai penerima bantuan.
"Saya tidak dapat lagi karena dianggap satu KK. Mana bisa seorang korban dianggap satu KK, misalnya,1 sepuluh orang korban, ya harusnya kesepuluhnya dikasih, bukan hitungan KK," kata Jailani.
Heri Mafrizal (26) anak dari M Yusuf Hasan, korban Rumoh Geudong yang hilang sampai sekarang, juga mengharapkan hal yang sama. Pemulihan korban dan para keluarganya melalui non-yudisial dapat dipenuhi dengan baik oleh pemerintah.
Heri kehilangan sang ayah saat usia tujuh bulan dalam kandungan sang ibu, Nurmala. Setelah menamatkan sekolah menengah atas (SMA), ia tak lagi melanjutkan kuliah karena terbentur kondisi ekonomi yang pas-pasan.
“Saya cita-cita ingin kuliah, cuma ekonomi sulit. Karena pendapatan kerja sangat minim, untuk hari-hari tidak cukup. Di sini saya bantu orang tua karena sudah tinggal sendiri,” ujarnya.
Sudah tujuh tahun Heri bekerja sebagai satuan pengamanan (satpam) dengan status tenaga kontrak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tgk Abdullah Syafi’i, Pidie.
Dalam program pemulihan korban ini, keluarganya mendapat bantuan modal usaha untuk kios warung, KIS, dan juga PKH. Di samping itu, ia berharap pemerintah juga memberi kesempatan kepadanya sebagai anak korban konflik untuk diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Harapan kami kalau boleh, bisa diangkat menjadi PNS, untuk membahagiakan orang tua kami,” kata Heri.
Harapan untuk hidup lebih baik juga disampaikan Nurhayati Sulaiman (53), istri Zainal Abidin, salah seorang korban tragedi Simpang KKA, Aceh Utara pada 1999.
Sang suami tewas dalam tragedi di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Korban meninggalkan empat orang anak, dan dua di antaranya kembar, yang saat ini sedang menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kabupaten Bireuen, Aceh.
Ia bersyukur negara akhirnya mengakui tragedi Simpang KKA sebagai pelanggaran HAM berat. Dengan begitu, tentu pemerintah akan merealisasikan berbagai program pemulihan korban dan keluarga korban.
“Harapan kepada Pemerintah, anak saya yang kuliah bisa diberi pekerjaan,” ujarnya.
Hal senada juga diutarakan Sarbunis (34), korban yang masih hidup dari tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan, pada 2003. Peristiwa itu menewaskan 16 warga sipil, dengan cara dibakar hidup-hidup oleh aparat dalam satu rumah.
Tragedi itu terjadi saat Sarbunis usia 16 tahun, masih duduk kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP). Ia dijemput aparat dan dibawa ke Jambo Keupok saat hendak pergi ke sekolah.
Ia bersama warga lainnya juga mengalami berbagai macam penyiksaan. “Akhirnya saya selamat karena saya masih kecil, jadi dilepas,” ujarnya.
Harapan Sarbunis, program pemulihan hak korban pelanggaran HAM besar dari pemerintah tersebut dapat dirasakan secara merata oleh seluruh korban, ahli waris korban di Aceh Selatan.
Setiap korban dan ahli waris korban di Aceh Selatan mendapatkan bantuan yang berbeda-beda. Ia mendapatkan bantuan modal usaha untuk membuat kue.
"Kami ingin bantuan ini terus berlanjut setiap tahun. Karena kami dari pihak korban berharap ada jaminan ekonomi untuk masa akan datang," ujarnya.
Komitmen Presiden
Presiden Indonesia Joko Widodo menyebutkan bahwa Pemerintah memiliki niat tulus untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM).
Menurutnya, Indonesia sebagai sebuah negara besar tidak luput dari berbagai peristiwa. Kepala Negara berterima kasih kepada para korban dan atau ahli waris korban yang telah berbesar hati menjalani proses panjang dalam menerima pemulihan hak sebagai upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden meyakini bahwa semua proses panjang itu tidak akan sia-sia dan berharap dapat menjadi pembuka jalan untuk berbagai pemulihan.
"Semoga proses yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada, awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan," ujar Presiden Jokowi.