Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan antara lain terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin, sejak 17 Maret 2023.
Perintah penangkapan tersebut dikeluarkan oleh ICC terkait dengan tuduhan bahwa Putin melakukan kejahatan perang setelah mendeportasi paksa anak-anak Ukraina.
Seperti diketahui, Rusia tidak menutup-nutupi program membawa ribuan anak-anak Ukraina ke Rusia, tetapi berkilah bahwa program itu dilakukan demi melindungi anak-anak yatim piatu dan telantar di zona perang.
Selain itu, Rusia juga menegaskan bahwa perintah penangkapan itu tidak berlaku secara hukum karena Rusia bukan bagian ICC.
Dengan perintah itu, berbagai negara yang telah menjadi bagian dari ICC (salah satunya adalah Afrika Selatan), wajib melakukan penangkapan bila Putin masuk ke daerah kedaulatan dari negara tersebut.
Hal ini berarti bahwa secara teori, bila Putin memasuki wilayah Afrika Selatan (Afsel), otoritas keamanan setempat dari Afsel bisa melakukan penangkapan terhadap kepala negara Rusia tersebut.
Putin sendiri sempat diisukan akan menghadiri KTT kelompok negara-negara BRICS --Brasil, Rusia, India, China, dan Afsel-- yang bakal digelar di Afsel pada 22-24 Agustus.
Karenanya, Afsel, sebagai bagian dari ICC, diwajibkan untuk menangkap Putin bila Presiden Rusia itu ternyata hadir di KTT BRICS.
Minta izin
Kantor berita Reuters melaporkan bahwa Presiden Afsel Cyril Ramaphosa telah meminta izin kepada ICC untuk membebaskan kewajiban menangkap Presiden Rusia Vladimir Putin, karena melakukan hal itu sama dengan menyatakan perang.
Pernyataan tersebut tercantum dalam dokumen pengajuan pengadilan setempat di Afsel yang diterbitkan sehingga terbuka untuk publik pada Selasa (18/7).
Ramaphosa membuat pernyataan tersebut dalam tanggapan hukum terhadap kasus pengadilan yang diajukan oleh oposisi Partai Aliansi Demokratis. Pihak oposisi memaksa pemerintah untuk melakukan penangkapan bila Putin tiba di Afsel.
Di dalamnya, dia mengemukakan telah mengajukan permintaan kepada ICC berdasarkan Pasal 97, di mana negara dapat memohon untuk tidak melakukan penangkapan karena terdapat permasalahan yang mencegahnya untuk melakukan hal tersebut.
"Afrika Selatan memiliki permasalahan jelas dalam melaksanakan permintaan untuk menangkap dan menyerahkan Presiden Putin... Rusia telah memperjelas bahwa menangkap presidennya yang sedang berkuasa sama saja dengan pernyataan perang," kata Ramaphosa dalam pernyataan tertulisnya.
Selain itu, dalam pengajuannya kepada pengadilan, Ramaphosa menyebutkan bahwa upaya mencari perdamaian itu mungkin akan dapat terancam.
Sebelumnya Afsel sudah mengancam untuk mengundurkan diri dari ICC setelah gagal menangkap mantan Presiden Sudan Omar al-Bashir ketika dia menghadiri KTT Uni Afrika di Johannesburg pada 2015.
Dalam acara PBB untuk memperingati 25 tahun ICC pada Senin (17/7), Menteri Kehakiman Afsel Ronald Lamola mengingatkan bahwa ICC harus menjaga diri agar tidak menjadi instrumen pertikaian kekuasaan global.
Putin absen
Setelah berbagai kontroversi terkait hal tersebut, Putin ternyata memutuskan untuk absen atau tidak menghadiri KTT BRICS, dan tempatnya akan digantikan oleh Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov.
Pernyataan dari istana kepresidenan Afsel itu disampaikan setelah Presiden Afsel Cyril Ramaphosa menggelar konsultasi dengan para pemimpin partai politik seluruh BRICS, Selasa (18/7).
Kremlin menyatakan Putin akan mengikuti KTT BRICS itu melalui sambungan video.
Dengan demikian, dilema yang dihadapi Afsel terkait dengan kewajiban untuk penangkapan Putin untuk sementara berhasil diselesaikan.
Dalam konflik yang berkobar sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, Afsel secara resmi menyatakan kenetralannya dalam perang tersebut, yang ditandai antara lain dengan memilih untuk abstain dalam pemungutan suara resolusi PBB.
Namun, negara-negara Barat menilai Afsel merupakan salah satu negara yang menjadi sekutu terdekat dari pemerintahan Rusia di benua Afrika.
Dugaan itu diperkuat dengan latihan bersama antara Angkatan Laut Rusia, China, dan Afrika Selatan yang digelar pada Februari 2023.
Presiden Afsel Cyril Ramaphosa juga menegaskan bahwa negaranya akan tetap teguh berpegang kepada kebijakan luar negeri yang independen.
Dalam pidato Hari Afrika di Johannesburg, 25 Mei 2023, sebagaimana dikutip kantor berita Anadolu, Ramaphosa menegaskan bahwa Afrika tidak akan terseret dalam kontes antara kekuatan global, dan mempertahankan posisi untuk penyelesaian konflik secara damai.
Ramaphosa mengungkapkan bahwa dengan pecahnya konflik Ukraina-Rusia, ada tekanan luar biasa kepada sejumlah negara untuk meninggalkan posisi netral sehingga agar dapat memihak dalam kontes antara Rusia dan Barat.
Ketegasan untuk tidak memihak tersebut, ujar dia, juga didasari atas warisan brutal dan kenangan menyakitkan tentang sejumlah negara Barat yang telah melakukan kolonialisasi dan perang proksi di Afrika.
Hubungan lama
Sebenarnya, hubungan akrab antara Afrika Selatan antara Rusia telah berlangsung lama, sejak Rusia dahulu masih menjadi bagian dari negara adidaya Uni Soviet pada abad ke-20.
Partai yang berkuasa di Afsel saat ini, yaitu Kongres Nasional Afrika (ANC), dahulu berasal dari pergerakan yang terbentuk sejak 1912 untuk melawan kekuasaan minoritas kulit putih Afsel yang menerapkan sistem politik apartheid di negara tersebut.
Pada masa Perang Dingin, ANC sangat bergantung kepada dukungan dari Uni Soviet, baik berupa bantuan finansial maupun pelatihan kemiliteran.
Berdasarkan data dalam laman South African History Online (sahistory.org.za), Uni Soviet adalah penyokong terpenting bagi ANC memberikan dukungan militer dalam bentuk berbagai peralatan serta pelatihan terhadap sekitar 2.000 kadernya.
Selama perang melawan apartheid, Uni Soviet memberikan uang, pelatihan militer, dan dukungan lainnya sehingga ANC bisa berubah menjadi organisasi perlawanan menjadi partai yang berkuasa di Afsel.
Menurut laman tersebut, Pemerintah Amerika Serikat sendiri pada abad ke-20, melabeli ANC sebagai organisasi teroris dan tidak secara resmi mendukung sanksi terhadap rezim apartheid sampai 1986.
Kajian yang diterbitkan dari South African Institute of International Affairs pada 2019 menyebutkan bahwa intensifikasi hubungan Afsel-Rusia semakin menguat sejak Afsel memutuskan bergabung dengan BRICS secara formal pada 2010.
Selama masa Presiden Jacob Zuma, Afsel menegaskan kemitraan dengan Rusia antara lain melalui penandatanganan Kemitraan Strategis pada 2013.
Sembilan kesepakatan lainnya juga ditandatangani termasuk dalam bidang pertanian, seni dan kebudayaan, pertahanan, pendidikan, energi, perikanan, pertambangan, sains dan teknologi, serta transportasi.
Dalam pandangan Afsel, tampaknya kedekatan dengan Rusia (termasuk dengan China) adalah sebagai bentuk penolakan terhadap hegemoni yang dilakukan oleh Barat, terutama oleh Amerika Serikat.
Kekuatan keseimbangan, atau bahasa lainnya adalah sistem multipolar global, sepertinya merupakan hal yang dikehendaki dalam hubungan yang erat antara Afsel dan Rusia.
Dengan demikian, tidak mengherankan bila pemerintah Afsel saat ini memiliki sikap keengganan dalam menangkap Vladimir Putin, pemimpin negara Rusia.