Jakarta (ANTARA) - Sudah seminggu sejak serangan rudal dan pesawat nirawak (drone) Iran menghantam Israel, eskalasi konflik di front Timur Tengah masih tetap dihantui ketidakpastian. Kendatipun berbagai sumber media luar mengklaim bahwa Israel telah melakukan serangan balasan ke wilayah Isfahan, Iran, aksi saling berbalas itu masih belum tampak jelas akan berujung pada perang terbuka atau tidak.
Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menyampaikan bahwa serangan Iran ke Israel pada Sabtu (13/4) sebenarnya merupakan ofensi yang dapat diprediksi. Sebab, aksi tersebut merupakan balasan atas serangan Israel terhadap Konsulat Iran di Damaskus pada 1 April 2024.
Dalam teori permainan (game theory), langkah Iran disebut sebagai strategi tit-for-tat atau aksi saling balas antarnegara. Walaupun Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sendiri telah menandaskan tidak akan ikut campur, masing-masing pihak, Iran dan Israel, tetap melontarkan ancaman serangan satu sama lain apabila ingin membawa konflik lebih jauh lagi.
Di tengah memanasnya situasi geopolitik, kekhawatiran global kembali muncul akan dampak ekonomi yang timbul. Indonesia menjadi salah satu negara yang perlu mewaspadai adanya rambatan dampak ekonomi akibat konflik terbuka antara Iran dan Israel.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) sekaligus dosen Universitas Bakrie Asmiati Malik menilai bahwa sebenarnya konflik Iran-Israel tidak akan berdampak secara langsung terhadap Indonesia, namun tetap terdapat dampak ekonomi yang perlu diperhitungkan.
Indonesia memang memiliki hubungan diplomatik dan kerja sama ekonomi dengan Iran, namun nilainya tidak terlalu signifikan. Sebagai informasi, pada 2023 investasi langsung Iran di Indonesia mencapai 712 ribu dolar AS yang tersebar di 17 proyek.
Kekhawatiran kenaikan harga BBM dan inflasi
Perang antarnegara di wilayah yang krusial seperti Timur Tengah melahirkan satu konsekuensi pahit yang dipastikan akan selalu terjadi, yakni naiknya harga minyak dunia.
Per Sabtu (20/4), harga minyak mentah Brent tercatat mengalami kenaikan 0,21 persen menjadi 87,29 dolar AS per barel, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) juga naik 0,5 persen menjadi 83,14 dolar AS per barel. Kedua harga minyak acuan tersebut melonjak lebih dari 3 dolar AS per barel di awal sesi setelah adanya ledakan di kota Isfahan, Iran yang diklaim sebagai serangan balasan Israel.
Tak berhenti di situ, harga minyak dunia diprediksi akan terus mengalami kenaikan hingga mampu menembus 100 dolar AS per barel apabila tidak segera terjadi deeskalasi konflik.
Bagi Indonesia, naiknya harga minyak dunia memiliki arti Pemerintah perlu memutar otak untuk menahan harga bahan bakar minyak (BBM) agar tetap terjangkau bagi masyarakat.
Sebagai tanggapan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sendiri sudah memastikan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM hingga Juni mendatang. Walaupun Ia mengakui bahwa konflik Iran-Israel memang berpotensi mengganggu pasokan sekaligus meningkatkan harga minyak dunia.
Kendatipun saat ini Indonesia relatif tidak terlalu bergantung pada pasokan BBM dari Timur Tengah, konflik Iran-Israel secara tak langsung tetap berdampak karena serangan antara dua negara itu terjadi di dekat Selat Hormuz yang merupakan salah satu jalur logistik yang krusial.
Konflik ini kemungkinan akan menghadapkan Pemerintah Indonesia pada dua pilihan dilematis, yakni antara terpaksa menaikkan harga BBM atau menyesuaikan anggaran subsidi BBM guna menahan lonjakan harga.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji sebelumnya telah melakukan kalkulasi dengan asumsi kenaikan harga jual minyak mentah di Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) 100 dolar AS per barel, dengan kurs Rp15.900 per dolar AS.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa anggaran subsidi dan kompensasi BBM dapat naik menjadi Rp249,86 triliun dari asumsi APBN 2024 yang sekitar Rp160,91 triliun apabila harga minyak mentah menembus 100 dolar AS per barel. Hal ini menjadi gambaran skenario terburuk imbas dari konflik Iran-Israel.
Senada, ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky juga memproyeksikan akan terjadi penyesuaian subsidi BBM dalam negeri.
Kalau konfliknya cukup besar, maka beban subsidi kian besar pula, bahkan mungkin perlu adanya tambahan atau penyesuaian lebih lanjut dari subsidi BBM.
Efek domino lain yang berpotensi mengikuti yaitu inflasi yang kian meningkat seiring naiknya harga BBM dalam negeri. Harga barang yang diatur pemerintah seperti BBM dan elpiji (LPG) menjadi salah satu penyumbang inflasi.
Untuk saat ini, inflasi tahunan Indonesia masih tercatat di level yang aman, yakni 3,05 persen per Maret 2024. Apabila terjadi kenaikan harga BBM, hal ini berpotensi meningkatkan tekanan terhadap inflasi Indonesia.
Suku bunga yang tertahan
Sebelum terjadi serangan balasan Iran ke Israel, beberapa pidato Ketua Bank Sentral AS atau The Fed Jerome Powell tersirat sinyal langkah bank sentral ini untuk menurunkan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate/FFR). Namun hal itu kian sirna dengan adanya serangan mendadak Iran ke Israel yang berbuntut pada aksi saling berbalas.
Saat ini, suku bunga The Fed masih tertahan di level 5,25-5,50 persen, dan diprediksi akan tetap di level yang sama bahkan berpotensi naik. Hal ini merupakan imbas lain dari eskalasi konflik yang terjadi di Timur Tengah.
Suku bunga acuan The Fed perlu diwaspadai oleh negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia. Apalagi mengingat dolar AS saat ini yang terus menguat hingga melemahkan nilai tukar lainnya, termasuk rupiah. Suku bunga acuan yang tinggi menyebabkan tekanan lebih bagi nilai tukar rupiah.
Ekonom sekaligus mantan Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019 -2021 Bambang Brodjonegoro menilai, sebagai langkah antisipasi dampak suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan tetap melakukan intervensi, namun tidak menggunakan cadangan dolar AS karena akan berakibat fatal.
"Kalau misal BI menaikkan suku bunga barangkali efeknya tidak terlalu kuat karena memang yang kejadian adalah dolar AS menguat terhadap semua mata uang akibat tingkat bunga yang tinggi. Ditambah sekarang gara-gara Iran-Israel, investor akan mencari safe haven. Tempat paling aman itu selalu dua, satu US dollar, satu US treasury bond," jelasnya.
Bahkan, eskalasi konflik kedua antar dua negara dapat berdampak terhadap perubahan target pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 5,2 persen menjadi 4,6-4,8 persen.
Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menyiapkan strategi untuk menjaga nilai tukar rupiah.
“Stabilitas ekonomi makro akan senantiasa dijaga, baik dari sisi moneter maupun fiskal. Koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) terus dilakukan untuk beradaptasi dengan tekanan yang ada. Dari sisi fiskal, kita memastikan APBN berperan menjadi shock absorber yang efektif dan kredibel,” ujar Sri Mulyani.
Di sisi ekspor, penerimaan akan jauh lebih baik dengan nilai tukar dolar AS yang menguat. Namun, di sisi impor, konversi harga terhadap rupiah akan lebih tinggi dan bisa berdampak pada inflasi.
Saat ini Indonesia juga dinilai masih resilien serta tangguh di tengah maraknya tekanan eksternal.
Sementara itu, sebagai langkah antisipasi lain, BI selalu memastikan stabilitas rupiah tetap terjaga dengan melakukan intervensi terhadap valuta asing (valas) serta pengelolaan aliran portfolio asing yang ramah pasar, termasuk operasi moneter yang pro-pasar dan terintegrasi dengan pendalaman pasar uang guna mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia.
Bagaimanapun, selama belum terjadi de-eskalasi konflik antara Iran-Israel, perekonomian global masih akan terus dihantui ketidakpastian. Dunia seakan belum cukup dengan konflik Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas yang sudah memakan korban ratusan hingga ribuan rakyat sipil.
Oleh karena itu, drama saling balas antara Iran dan Israel sepatutnya menjadi konflik yang tidak perlu meluas hingga berakhir di perang terbuka karena perekonomian global selalu menjadi satu hal yang dipertaruhkan dalam suatu perang antarkepentingan pemimpin tinggi tersebut.
Di satu sisi, Ketua FPCI Dino Patti Djalal menilai Indonesia sendiri belum memiliki peran diplomasi yang cukup kuat untuk menjadi mediator konflik antar dua negara itu. Hal ini mengingat tidak adanya hubungan diplomatik Indonesia-Israel, serta kerja sama Indonesia-Iran yang terbatas pada beberapa sektor tertentu.
Walakin, Indonesia masih mempunyai kesempatan untuk berkontribusi meredakan konflik dengan menitikberatkan diplomasi kepada Iran, dengan pertimbangan masih adanya kerja sama ekonomi dan diplomatik antara Indonesia dan Iran.