Jakarta (ANTARA) - Komisi Yudisial (KY) RI berharap calon hakim agung dan hakim ad hoc hak asasi manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) yang lolos seleksi agar selalu menjaga integritas.
KY juga berpesan kepada 12 calon hakim yang dinyatakan lolos dan diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri.
“Karena harapan ini yang kemudian bisa mewujudkan keadilan yang seutuhnya yang memang harus didukung oleh dua hal tersebut,” ucap Anggota dan Juru Bicara KY Mukti Fajar Nur Dewata dalam konferensi pers daring yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Mukti mengatakan, setiap calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM di MA telah membacakan pakta integritas di akhir seleksi wawancara terbuka.
Pakta integritas tersebut, kata dia, berisi janji para calon hakim untuk bekerja dengan profesional, berintegritas, dan berupaya meningkatkan kapasitas.
Di samping itu, Mukti memastikan bahwa nama-nama yang dinyatakan lolos oleh KY telah memenuhi syarat integritas dan kapasitas yang baik.
“Apa yang telah kami putuskan ini setidaknya secara metodologis dalam proses rekrutmen, kita memang menggunakan pedoman, sehingga kita bisa sampaikan bahwa ini adalah calon-calon terbaik yang mendaftarkan ke Komisi Yudisial, yang lolos untuk maju ke DPR,” imbuh Mukti.
Lebih lanjut, ia berharap para calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM di MA yang diusulkan KY dapat menunjukkan performa terbaik, sehingga mendapat persetujuan DPR.
“Kami berharap bahwa untuk tes-tes selanjutnya di DPR, para calon yang lolos dari Komisi Yudisial ini bisa perform (tampil) dengan baik di forumnya DPR, sehingga mendapatkan persetujuan DPR, dan bisa mengisi kekosongan atau kebutuhan dari hakim agung di Mahkamah Agung,” katanya.
Pada konferensi pers tersebut, KY secara resmi menetapkan sembilan orang calon hakim agung dan tiga orang calon hakim ad hoc HAM di MA tahun 2024 untuk diusulkan ke DPR.
Nama-nama yang lolos telah menjalani serangkaian tahapan seleksi, meliputi seleksi administrasi, kualitas, kesehatan dan kepribadian, serta wawancara terbuka.
“Proses ini selanjutnya menjadi kewenangan penuh dari DPR yang biasanya DPR akan menyelenggarakan fit and proper (uji kepatutan dan kelayakan, red.), dan hal itu biasanya juga terbuka,” ucap Mukti.