Maros (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten, Sulawesi Selatan, mensosialisasikan ancaman sanksi pidana money politic atau politik uang pada tahapan Pilkada 2024 yang dinilai berbeda dengan Pemilu
"Dalam penerapan sanksi terkait praktik politik uang antara pemilu dan pilkada itu ada perbedaan, lebih berat yang pilkada," kata Anggota Bawaslu Maros Saiyed Mahmuddin Assaqqaf di Maros, Kamis.
Sosialisasi tersebut, kata dia, telah dikemukakan saat menggelar rapat koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Maros membahas persiapan kampanye dan pelaporan dana kampanye untuk Pilkada 2024.
Dia menjelaskan norma aturan dalam menangani politik uang pada pemilu hanya pemberi uang yang dikenakan sanksi pidana, sementara dalam pilkada, baik pemberi maupun penerima uang dapat dikenakan hukuman pidana.
"Oleh karena itu, siapa pun yang menjanjikan atau memberikan uang akan dijerat pidana, begitu juga dengan mereka yang menerima uang dalam konteks politik uang pada pilkada, sanksi yang dikenakan lebih berat dibandingkan sanksi pada saat pemilu," ujar Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Maros ini.
Selain aturan tersebut, kata dia, dalam kampanye pilkada terdapat larangan terhadap keterlibatan pejabat tertentu, apalagi calon dalam pilkada tidak diperbolehkan melibatkan pejabat.
Sebagai gambaran menyertakan pejabat badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, aparatur sipil negara (ASN), anggota Polri, anggota TNI, serta kepala desa/lurah dan perangkat desa/kelurahan pada saat kampanye.
Adapun sanksi bagi calon yang melanggar ketentuan ini meliputi pidana penjara selama 1 - 6 bulan dan/atau denda antara Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Oleh karena itu, Saiyed Mahmuddin mengingatkan bagi para calon yang ikut kontestasi pilkada untuk mematuhi aturan tersebut yang telah ditetapkan oleh undang-undang Pilkada karena ketidakpatuhan akan dianggap sebagai pelanggaran pidana.