Makassar (ANTARA) - Di tengah gegap gempita dunia digital, dimana trend berganti lebih cepat, budaya lokal justru perlahan kehilangan suaranya. Di era ketika konten lebih penting dari “konten hati”, bahasa daerah kita kian tenggelam tak bersuara, tak dibaca, bahkan tak diingat.
Namun, di luar ruang seminar dan pidato formal, realita berbicara keras. Banyak anak muda Makassar kini lebih luwes menulis caption "What's up bro/sis" di Instagram daripada "Aga kareba?" Satu kalimat utuh dalam Bahasa Bugis atau Makassar. Bahasa daerah dianggap kurang estetik untuk feed. Padahal di sanalah identitas itu bernafas.
Ironisnya, budaya kini sering hanya menjadi properti visual. Kain tenun, tarian, dan bahasa lokal sekadar ornamen estetika cantik di kamera, kosong di makna. Generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Alpha, begitu sibuk memperindah timeline, tapi abai menjaga akar.
"Bahasa adalah napas kebudayaan. Ketika ia berhenti digunakan, maka kebudayaan itu sekarat," tulis Rosyad & Zulfikar (2021) dalam Raheema Journal, menegaskan pentingnya revitalisasi bahasa daerah sebagai basis identitas kolektif.
Kondisi ini menjadi alasan utama digelarnya kegiatan Bimbingan Teknis Penulisan Kreatif Berbasis Budaya Lokal oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan pada akhir Oktober 2025. Kegiatan ini bukan sekadar pelatihan menulis, tapi sebuah perlawanan terhadap kepunahan simbolik melawan lupa, melawan bisu.
Menurut Prof. Dr Hj Kembong Daeng, M.Hum, Guru Besar Universitas Negeri Makassar, kegiatan ini adalah alarm kultural. "Banyak anak muda kini tidak lagi mengenal bahasa daerahnya sendiri. Padahal, di situ letak marwah kita sebagai orang Sulawesi Selatan," ujarnya.
Kalimatnya terasa seperti tamparan halus bagi generasi yang bangga ber-‘hello guys’ tapi gagap ketika diajak berbahasa Bugis atau Makassar. Seolah budaya lokal harus di-translate dulu agar bisa trending.
Dalam konteks sosiolinguistik, Pratisiya et al. (2023) dalam Yinyang Journal juga menyoroti bahwa modernisasi yang tidak diimbangi literasi budaya dapat mengikis kesadaran linguistik dan menimbulkan “alienasi identitas” generasi yang lahir di tanah Bugis, tapi berbahasa seolah tak punya tanah air budaya.
Maka, kegiatan ini sejatinya adalah ajakan sadar bahwa budaya tak akan bertahan hanya difoto, tapi harus ditulis, diceritakan, dan dihidupkan kembali lewat pena, bukan sekadar kamera.
Kegiatan Bimtek Penulisan Berbasis Konten Budaya Lokal ini menjadi penanda bahwa pelestarian budaya tidak cukup dengan seremoni atau unggahan visual semata. Budaya harus ditulis, dipahami, dan dihidupkan kembali melalui literasi.
Dalam konteks ini, peran generasi muda menjadi krusial. Ketika bahasa daerah makin jarang digunakan, sesungguhnya yang hilang bukan sekadar kata, tetapi identitas. Seperti disampaikan oleh Ristawati et al. (2025) dalam Sriwijaya Law Review, perlindungan terhadap warisan budaya merupakan bagian dari tanggung jawab konstitusional untuk menjaga jati diri bangsa.
Demikian pula menurut Fauzan (2025) dalam The Journal of Asian Studies, modernisasi yang tidak diimbangi kesadaran budaya akan menciptakan generasi yang terputus dari akar tradisinya.
Namun, di tengah semangat pelestarian yang digaungkan lewat seminar dan pelatihan, realitas di lapangan tetap bicara keras. Banyak anak muda Sulawesi Selatan kini lebih sibuk memperhalus aksen bahasa Inggris ketimbang sekadar mengucap “Salama’ ki” dengan bangga. Bahasa daerah dianggap kampungan, padahal di situlah harga diri budaya bertumpu.
Generasi yang dulu dikenal berani menjaga siri’ (kehormatan), kini malah sibuk menjaga feed Instagram.
Mereka bisa menulis healing dan self reward dengan indah, tapi lupa bahwa kata “pacce” sudah lebih dulu mengajarkan empati dan rasa malu yang luhur.
Seperti disampaikan Budiono (2023) dalam Jurnal Arbitrer, hilangnya bahasa daerah berarti perlahan terkikis pula cara berpikir dan jiwa budayanya. Karena itu, melestarikan bahasa ibu bukan sekadar romantisme masa lalu, tapi tanggung jawab generasi kini untuk tidak jadi orang Makassar yang hanya lahir di Makassar, tapi tak tahu cara bicara seperti orang Makassar.
Sulawesi Selatan memiliki kekayaan budaya yang besar, namun tanpa partisipasi aktif masyarakat, terutama kalangan muda, semua itu hanya akan menjadi arsip yang diam di rak sejarah.
Melalui kegiatan ini, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan mengajak masyarakat untuk menulis, bukan hanya mengingat. Karena budaya tidak akan lestari bila hanya dipamerkan. Ia akan bertahan jika dituturkan dan diwariskan.
Kondisi seperti ini pada umumnya bisa terjadi di mana saja di belahan bumi Nusantara mengingat perkembangan dunia media sosial kian melesat seolah tanpa permisi.
Untuk mengatasinya dibutuhkan kerja sama semua pihak di berbagai lini. Di sisi lain, pemerintah melalui instansi terkait terus menggalakkan kegiatan budaya daerah yang dikemas secara kekinian. Tentu saja hal itu melibatkan pemimpin daerah, pemuda ataupun pemengaruh media sosial agar gemanya lebih luas.
Dalam lingkup keluarga, peran orang tua untuk menularkan kemampuan bahasa daerah kepada buah hatinya juga sangat besar.
Tak bisa dipungkiri, budaya atau bahasa adalah landasan sebuah daerah yang memiliki ciri khas masing-masing. Turis asing ataupun wisatawan dalam negeri akan tertarik dengan keberagaman budaya dan bahasa tersebut.
Bahkan, beberapa waktu lalu sempat viral di media sosial ada seorang bule Eropa yang lancar berbahasa Bugis karena berniat dengan sungguh untuk mempelajari bahasa tersebut.
Sudah saatnya, kita kembali bangga dengan bahasa daerah masing-masing tanpa mengesampingkan penguasaan bahasa asing di tengah era globalisasi saat ini.
Jangan sampai orang asing sungguh-sungguh mempelajari budaya dan bahasa daerah kita, hingga akhirnya mereka bisa “lebih Bugis” atau “lebih Makassar” daripada warga setempat.

