Surabaya bisa menjadi teladan bagi kota-kota lain dalam menyediakan buku bacaan lewat taman-taman bacaan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama anak-anak dan remaja dari keluarga tak mampu.
Bagi anak-anak orang berduit, membangun perpustakaan keluarga bukanlah hal yang sulit sehingga mereka tak perlu mendatangi taman-taman bacaan untuk menikmati cerita-cerita yang dituangkan dalam bentuk tulisan.
Di Surabaya para pengelola taman-taman bacaan pekan ini diajak berperan dalam meningkatkan budaya baca masyarakat dengan membuat program kreatif yang bisa menarik masyarakat mengunjungi taman bacaan.
Di Surabaya ada sekitar 1.400 tempat layanan baca yang tersebar di jenjang wilayah rukun warga dan di ruang-ruang publik. Semua taman bacaan itu di bawah naungan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Surabaya.
Di tengah banjir informasi baik yang instan seperti berita lempang, maupun yang tak instan seperti teks fiksi, para pengelola taman bacaan dituntut untuk semakin kreatif dalam merancang program-program yang bisa menarik minat anak-anak maupun remaja untuk mengunjungi taman bacaan dan menikmati koleksi buku-buku yang ada.
Program yang bisa dirancang dan diselenggarakan oleh para pengelola taman bacaan antara lain menghadirkan pendongeng, penyair dan penulis untuk mengisi acara semacam pembacaan cerita, puisi atau diskusi dengan penulis buku.
Tentu tak harus dengan menghadirkan pendongeng, penyair, penulis terkemuka. Syukur-syukur pangelola itu punya relasi dengan pendongeng, penyair dan penulis yang sudah punya nama, yang bisa menyumbangkan tenaganya selama sejam dua jam dengan sukarela tanpa meminta honor.
Taman bacaan yang bertujuan untuk membangun budaya baca masyarakat, terutama generasi muda dan anak-anak, saat ini jelas menghadapi tantangan yang berat dalam menarik minat para pengunjung.
Persoalan krusial saat ini budaya baca harus berhadapan alias bersaing dengan budaya tonton, yang menurut berbagai riset peringkatnya jauh lebih tinggi.
Ketika sarana untuk menonton sudah tersedia, cenderungan rata-rata individu untuk meninggalkan kegemaran bacanya sangat tinggi. Bagi keluarga yang tak memiliki televisi, satu hal yang sangat langka saat ini, waktu untuk membaca bagi anggota keluarga itu boleh dibilang cukup banyak. Namun, begitu mereka memiliki televisi, apalagi bila tiap kamar tersedia perangkat elektronik itu, hasrat membaca akan turun drastis.
Daripada membaca Gone with the Wind, novel berlatar sejarah perang saudara di Amerika, yang bisa menghabiskan waktu hingga berhari-hari, demikian pikir kebanyakan orang, lebih baik menikmatinya dalam bentuk filmnya yang hanya berkisar dua jam tonton itu.
Namun, bagi mereka yang punya budaya baca cukup mengakar dan sanggup menikmati indahnya untaian kata-kata dalam bentuk kisah yang dituturkan secara elok, membaca tetaplah tak tergantikan oleh kenikmatan menonton.
Harus diakui bahwa banyak taman bacaan untuk masyarakat umum yang dikelola pemerintah daerah yang sepi dari pengunjung sehingga akhirnya ruang baca publik itu ditutup dan digunakan sebagai gudang penyimpan arsip atau dokumen pemerintah daerah.
Namun, fakta itu tidak mesti dimaknai bahwa taman bacaan publik tidak diperlukan lagi. Di era yang ditandai dengan banyaknya komunitas yang memiliki kegemaran atau hobi tertentu yang serupa saat ini, komunitas pecinta buku dan peminat budaya baca bisa dibentuk.
Komunitas semacam ini bisa berperan sebagai salah satu bagian dari berbagai komunitas yang ada, yang menopang kultur keutamaan dalam hidup.
Semakin banyak komunitas yang menghidupkan kultur semacam itu akan semakin tangguhlah tatanan masyarakat dalam menghadapi komunitas yang merupakan antitesis terhadap kultur itu, misalnya komunitas genk motor, komunitas disktotik.
Taman bacaan publik yang dikelola secara kreatif perlu juga mengagendakan program-program penulisan kreatif, yang instrukturnya bisa didatangkan dari kalangan penulis yang punya kepedulian terhadap anak bangsa.
Memberikan pelatihan menulis kreatif bagi anggota atau pengunjung tetap taman bacaan masyarakat juga merupakan salah satu program yang dapat menarik minat masyarakat sekitar.
Yang tak boleh dilupakan oleh pengelola taman bacaan publik, yang menjadi keniscayaan sebagai sarana perpustakaan, adalah tak henti-hentinya menambah koleksi buku-buku yang baru dan menarik.
Pengelola perlu menjalin relasi dengan berbagai lembaga filantropi yang punya program untuk menyumbangkan dananya dalam bentuk voucher pembelian buku. Kerja sama dengan perusahaan yang memiliki program tanggung jawab sosial korporasi juga penting untuk diikhtiarkan.
Dari kerja sama-kerja sama itulah pengelola dapat menambah koleksi buku-buku baru yang dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung.
Pengalaman pahit perpustakaan umum yang kehilangan pengunjung antara lain karena pengelola tak lagi sanggup memperbarui dan menambah koleksi buku-buku.
Pengertian buku baru tak harus baru dalam arti edisi mutakhir tapi bisa juga buku-buku lama atau karya-karya klasik yang belum pernah dimiliki oleh taman-taman bacaan atau perpustakaan umum bersangkutan.
Berburu buku-buku klasik yang bernilai sastra atau pengetahuan sejarah perlu dilakukan oleh pengelola taman-taman bacaan publik. Sebab, tak sedikit pengunjung taman bacaan yang menyukai karya-karya klasik yang sulit didapat secara individual.
Pengelola taman bacaan publik juga tak boleh mengabaikan penambahan buku-buku cerita baru untuk konsumsi anak-anak, terutama mereka yang berasal dari golongan ekonomi lemah.