Makassar (Antara Sulsel) - Ketika pertama kali manusia menghirup udara di Bumi hingga mengembuskan
napas terakhirnya, tentunya akan berurusan dengan "rupiah" karena
peranan mata uang Indonesia ini tidak saja berpengaruh di skala terkecil
perorangan, tetapi juga dapat memengaruhi persoalan bangsa dan negara
dalam skala besar.
Dalam, skala besar, urusan uang rupiah atau keuangan (moneter),
pemerintah telah memandatkan pada Bank Indonesia (BI) dalam mengatur
kebijakan moneter, termasuk melakukan survei di lapangan untuk
mengetahui daya beli masyarakat dalam kaitannya mengukur perekonomian.
Untuk mencermati dan memahami persoalan mata rantai tersebut di
lapangan, BI pada tanggal 20 s.d. 21 November 2017 menggelar pelatihan
wartawan daerah dengan mengakomodasi 580 wartawan dari seluruh Kantor
Cabang BI.
Media merupakan salah satu pilar demokrasi yang turut membantu
menyebarkan kebijakan otoritas moneter yang dalam hal ini Bank
Indonesia, kata Ketua Penyelenggara Pelatihan Agusman di Jakarta.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai bentuk manifestasi kepada
para informan itu, BI membantu mengedukasi dan menyebarkan informasi
terkait dengan peran dan tugas BI dalam mengawal kebijakan pemerintah.
Adapun lima topik bahasan pada pelatihan ini adalah pengedalian
inflasi daerah, perkembangan dan kebijakan sistem pembayaran BI, program
"BI Jangkau", dedikasi BI dalam mencukupi kebutuhan uang rupiah di
Indonesia.
Selain itu, kebijakan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan perekonomian daerah juga menjadi topik bahasan.
Asisten Gubernur BI D.M.S.T. Dyah Nastiti mengatakan bahwa peran
dan tugas BI sangatlah penting sehingga perlu disebarluaskan kepada
masyarakat. Medialah yang dinilai paling tepat dalam menjalankan tugas
itu.
Namun, dalam perkembangan teknologi informasi, kini media sosial
juga dapat melakukan fungsi itu sehingga menjadi tantangan bagi BI
maupun media "mainstream" agar informasi yang berkembang di masyarakat
dapat dipertanggungjawabkan, bukan informasi bohong (hoaks).
"Dalam perkembangannya, saat ini informasi yang diperoleh melibatkan
media sosial sehingga menjadi pemikiran kita dan media saat ini adalah
siapa dan bagaimana yang akan menjadi target komunikasi kita?" ujar
Dyah.
Hal itu menyikapi perkembangan di tengah masyarakat bahwa
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016 diketahui bahwa usia
rata-rata penduduk Indonesia adalah 28 tahun dan 65 persen di antara
total jiwa penduduk Indonesia di bawah 39 tahun.
Mereka yang berada pada usia 28 tahun itu, lanjut dia, merupakan
"digital natives" atau masyarakat digital dari hasil survei peneliti
asing Marc Prensky yang melansir bahwa fenomena simpton generasi itu
kecerdasannya meningkat, tetapi nilai-nilai pendidikannya menurun.
Oleh karena itu, lanjut dia, BI bersama media selaku mitranya, kini
harus menghadapi "digital natives" yang menjadi penerima informasi.
Apalagi, diakui bahwsa generasi muda saat ini makin cerdas-cerdas.
Dari hasil penelitian diketahui generasi "digital natives" ini lahir dan
dibesarkan pada era digital tentunya cara memahami informasi dan
berkomunikasinya berbeda dengan generasi sebelumnya.
Dyah mengatakan bahwa kondisi itu mau tidak mau harus dihadapi semua
pihak, termasuk BI yang mengawal kebijakan moneter dan advokasi
keuangan di kalangan masyarakat. Kondisi serupa juga dialami media
selaku mitra BI.
Alasannya, "digital natives" tersebut yang memiliki ciri-ciri
terbiasa "multitasking" setidaknya telah memengaruhi penurunan
konsentrasi otaknya menurun sekitar 50 persen dibanding kondisi normal.
"Tantangannya saat ini, bagaimana menginfomasikan kepada para
`mulitasking` ini agar kebijakan menyangkut keuangan dan kondisi ekonomi
dapat diterima dengan baik," katanya.
Hal itu dinilai penting karena merekalah yang tren dari penduduk
yang akan menjadi objek dan subjek kebijakan BI. Berkaitan dengan hal
itu, perlu berpikir keras agar BI dan media bersama-sama membantu
penyebarluasan kebijakan pemerintah pada publik yang merupakan generasi
"digital natives".
Sebagai gambaran, "digital natives" ini rata-rata menghabiskan waktu
sebanyak 3 jam 44 menit per hari untuk menggunakan "smart phone",
sementara untuk membaca artikel panjang menjadi tantangan bagi media
karena kecenderung kelompok tersebut lebih memilih gambar.
Memahami gambar cuma butuh waktu 25 detik. Kalau baca paragraf yang
terdiri atas 20 s.d. 25 kata butuh waktu 6 menit. Jadi, dengan waktu
yang sama itu sudah bisa memahami 24 gambar, katanya.
Oleh karena itu, lanjut dia, kondisi itu digambarkan dengan
semboyan "a picture againts a thousand words" (satu gambar mewakili
seribu kata). Dengan demikian, patutlah berkomunikasi dengan generasi
muda atau generasi digital dengan lima kunci utama.
Kelima kunci komunikasi itu adalah short (singkat), concise (dalam
dan tajam), memiliki hyperlink, opini, dan menggunakan "keywords" yang
sangat tepat.
Dyah mengatakan bahwa menghadapi para "digital native" itu muncullah
infografis untuk membantu mempermudah media dalam menjelaskan suatu
tulisan. Hanya saja, itu diakui belum cukup untuk dapat berkomunikasi
dan membantu pemahaman kalangan muda yang menjadi bonus demografi masa
depan.
Siklus Ekonomi
Kebijakan moneter yang dikeluarkan pemerintah patut diketahui
masyarakat secara luas, termasuk mengetahui penyebabnya sehingga
masyarakat dapat berjaga-jaga.
Menurut ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Sulistyaningsih yang
menjadi salah seorang pemateri pada Pelatihan Wartawan Daerah 2017,
siklus ekonomi jangka pendek selalu mengandung tiga indikator, yakni
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan tingkat pengangguran terbuka.
Kondisi itu pula diakui, turut memengaruhi human development index (HDI)
atau indeks pembangunan manusia (IPM) yang posisi Indonesia terus
membaik meskipun belum sebaik negara tetangga, seperti Malaysia dan
Singapura.
Terbukti pada posisi 2016, HDI Indonesia tercatat 70,18 di bawah
target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sebesar 75,3,
kendati ini sudah masuk kategori tinggi.
Dari sisi inflasi, lanjut Lana, erat kaitannya dengan daya beli yang
dapat dijadikan sebagai indikator mengukur kesejahteraan masyarakat.
Khusus inflasi nasional pada periode Oktober 2017, tercatat 0,01
persen atau di bawah rata-rata Oktober sejak 2009. Inflasi rata-rata
2009 s.d. 2017 adalah 5,2 persen.
Fenomena lainnya adalah meningkatnya pekerja informal dibandingkan
formal. Sejak Februari 2016 hingga Agustus 2017, sektor informal terus
meningkat dengan capaian rata-rata di atas 55 persen.
Semua informasi terkait dengan keuangan itu, tentunya perlu dikemas
dan disampaikan dengan baik oleh media selaku pilar keempat demokrasi.
Sistem Pembayaran
Bank Indonesia yang memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang
yang diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 dan
telah diubah terakhir dengan UU No. 6/2009 memiliki peran penting dalam
mendorong sistem pembarayan di lapangan.
Salah satu dari tugas pokok BI, yakni menetakan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran,
dan menjaga stabilitas sistem keuangan, kata Kepala Grup Pengelolaan
Program Elektronifikasi, Keuangan Inklusif, dan Perizinan, Departemen
Kebijakan Sistem Pembayaran BI Pungky P. Wibowo.
Seiring dengan perkembangan zaman, kini masyarakat dihadapkan pada
era digitalisasi sehingga mau tidak mau sistem pembayaran
elektronifikasi juga secara bertahap mulai diberlakukan di lapangan.
Menurut Pungky, saat ini sudah atau paling tidak ada lima transaksi
masyarakat dari tunai ke nontunai melalui sistem elektronifikasi yang
disinergikan dengan program-program pemerintah.
Kelima transaksi itu adalah bantuan sosial, jalan tol (e-toll), moda
transportasi, cash management system (bantuan dana desa, bantuan
operasional sekolah), dan LKD dan remitansi pada kantong Tenaga Kerja
Indonesia (TKI).
Berkaitan dengan hal tersebut, peran media dalam penyampaian
informasi mengenai elektronifikasi itu sangat penting, kata Pungky.
Alasannya, media dapat menjadi penghubung antara regulator dan
masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, menjadi sumber
informasi yang dipercaya oleh masyarakat untuk menyampaiakn kebijakan
baru.
Oleh karena itu, BI bersinergi dengan media yang memiliki keunggulan
sebagai "influencer" masyarakat untuk mendorong elektronifikasi
transaksi nontunai.
Sementara itu, di balik gencarnya sosialisasi Gerakan Non-Tunai
(GNT), BI masih harus menghadapi tantangan penggunaan mata uang rupiah
yang baru sekitar 82 persen di Tanah Air.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang BI Suhaedi mengatakan
bahwa uang rupiah yang beredar saat ini mencapai Rp600 triliun melalui
45 kantor BI yang tersebar di Indonesia. Untuk membantu kelancaran
peredaran uang rupiah di lapangan, terdapat 107 bank kas titipan untuk
membantu BI sehingga terdapat 152 titik distribusi pada tahun 2017 untuk
menjangkau 515 kabupaten/kota di Indonesia.
Suhaedi merasa optimistis di akhir 2017 semua daerah sudah dapat
terjangkau uang rupiah sehingga tidak lagi menggunakan mata uang negara
tetangga, khususnya di wilayah perbatasan antarnegara.
Hal ini terkait pula dengan upaya pihak BI dalam menyukseskan
program "BI Jangkau" yang kini tengah digencarkan, baik melalui bank
pemerintah, kantor pegadaian, maupun melalui kantor pos setempat. Hal
ini agar semua sudah dapat uang rupiah emisi 2016 sehingga uang yang
beredah tidak lusuh lagi.
Khusus di wilayah perbatasan antarnegara, sudah ada lima pos lintas
batas negara, "money changer" dan anjungan tunai mandiri (ATM), yakni di
NTT, Papua, Kalimantan Barat dua unit, dan menyusul dua unit di NTT.
Dari penduduk Indonesia yang 55 persen berada di Pulau Jawa, diakui
peredaran uang rupiah juga sekitar 58 s.d. 60 persen juga berada di
Pulau Jawa.
Uang rupiah selain sebagai alat transaksi, juga adalah simbol
kedaulatan negara sehingga uang rupiah harus digunakan oleh masyarakat
Indonesia di dalam negeri, tidak lagi menggunakan mata uang negara lain
seperti yang ditemukan di wilayah perbatasan.
Apabila menggunakan mata uang negara lain, selain melanggar hukum,
juga tidak mengindahkan kedaulatan negara. Untuk membantu informasi ini
tersosialisasi dengan baik, BI dan media patut bersinergi baik dalam
menghadapi masyarakat digital (digital natives) maupun yang masih
terbelakang dari segala fasilitas seperti yang berada di wilayah
tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Berita Terkait
Menpora meyakini Garuda Muda mampu tumbangkan Guinea
Rabu, 8 Mei 2024 11:18 Wib
BMKG: Hujan angin disertai petir berpotensi terjang mayoritas wilayah Indonesia
Rabu, 8 Mei 2024 11:16 Wib
Hujan lebatberpotensi landa sejumlah kota besar Indonesia
Rabu, 8 Mei 2024 7:10 Wib
BLK Maritim kerja sama Indonesia dan Austria hadir di Makassar
Rabu, 8 Mei 2024 0:19 Wib
BMKG prakirakan mayoritas kota besar Indonesia diguyur hujan hari ini
Selasa, 7 Mei 2024 7:13 Wib
Roberto Mancini menilai empat pemain Garuda Muda layak bermain di Serie B Liga Italia
Senin, 6 Mei 2024 11:50 Wib
Timnas Indonesia U-23 sudah berlatih di Prancis untuk hadapi Guinea
Senin, 6 Mei 2024 9:59 Wib
Bali fasilitasi pertarungan delapan tim di Piala Asia Putri U17 2024
Senin, 6 Mei 2024 9:56 Wib