Penyidikan 205 ton pupuk ilegal dinilai lambat
Makassar (Antaranews Sulsel) - Penyidikan kasus pupuk ilegal sebanyak 205 ton berbahan batu kapur yang ditangani Sub Direktorat 1 Industri dan Perdagangan pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan dinilai lambat.
"Sudah setahun kasus ini berjalan, tapi penyidikannya kami nilai tidak berjalan sesuai aturan. Padahal pembuatan pupuk ilegal itu jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum," ungkap Wakil Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun di Makassar, Rabu.
Pihaknya menilai penanganan kasus ini terkesan lambat, bahkan sengaja ditutupi dan didiamkan sampai publik benar-benar lupa akan kasus itu.
Padahal pengungkapan kasus tersebut telah dirilis langsung oleh Subdit I Indag Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel dari pabrik pembuatan pupuk ilegal pada September 2017.
"Kami sayangkan, kok penyidikannya menghilang dan sampai sekarang tidak ada kabar, padahal mereka (Polda) sendiri merilis kasus ditemukan kegiatan pembuatan pupuk berbahan tunggal batu kapur," kata dia.
Dia berharap Kapolda Sulsel Irjen Pol Umar Septono ikut mengawasi ketat penanganan kasus-kasus yang dijalankan bawahannya, mengingat kasus pembuatan pupuk ilegal yang berbahan tunggal dari batu kapur tersebut telah menyalahi aturan dan merugikan petani.
Sebelumnya, Subdit 1 Indag Dit Reskrimsus Polda Sulsel menggerebek langsung pabrik pembuatan pupuk ilegal berbahan tunggal dari batu kapur di Dusun Tamangesang, Desa Bontolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulsel.
Pemilik pabrik pupuk ini diketahui berinisial RM. Selain ditemukan di pabrik setempat, pupuk ilegal ini juga ditemukan diperjualbelikan di jalan Poros Kariango, Desa Tenrigangkae, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sulsel.
Dalam penggerebekan itu, ditemukan sejumlah mesin penghancur batu kapur, dari situ ratusan karung dengan total sebanyak 205 ton pupuk ilegal di bungkus dalam karung, masing-masing karung memiliki berat 25 kilogram.
"Batu kapur dihaluskan menggunakan mesin penghancur ini selanjutnya dimasukan ke dalam karung untuk dikemas. Beratnya 25 kilogram per karung, barang ini siap dipasarkan ke beberapa kabupaten di Sulsel dengan harga Rp 35.000 per karung," kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani di lokasi pabrik, Kamis 14 September 2017 lalu.
Selama beroperasi empat tahun, kata dia, pemilik usaha pupuk ilegal tersebut tidak pernah mengurus atau memiliki izin edar dan tidak terdaftar di Kementerian Pertanian.
"Usaha pembuatan pupuk ilegal ini baru tercium sekarang. Bayangkan sudah berapa banyak yang telah diedarkan di wilayah Sulawesi Selatan," katanya saat itu.
Batu kapur yang merupakan bahan baku tunggal dalam pembuatan pupuk pembenah tanah ilegal tersebut sangat berdampak pada gangguan kesehatan serta dapat merusak unsur hara tanah.
Atas perbuatan pelaku RM, melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Dalam aturan tersebut kata Dicky, ditekankan bahwa formula pupuk hayati atau formula pembenah tanah yang akan diproduksi dan diedarkan untuk keperluan sektor pertanian harus memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya serta kegiatannya terdaftar di kementerian.
"Tapi pada kenyataannya tidak, pupuk yang diproduksi pelaku tidak memiliki izin edar dan tidak terdaftar di Kementerian Pertanian, sehingga jelas tidak dijamin standar mutunya, efektivitas bahkan tidak ada label izin pada kemasannya. Ini tentu berdampak pada kerugian bagi petani selaku konsumen," katanya.
Dari perbuatan pelaku akan dijerat pasal 62 ayat 1 juncto pasal 8 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana paling lama lima tahun penjara atau pidana denda sebanyak Rp2 miliar
Pasal 60 ayat 1 huruf f juncto pasal 37 ayat 1, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda sebesar Rp250 Juta.
"Sudah setahun kasus ini berjalan, tapi penyidikannya kami nilai tidak berjalan sesuai aturan. Padahal pembuatan pupuk ilegal itu jelas memenuhi unsur perbuatan melawan hukum," ungkap Wakil Direktur Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, Kadir Wokanubun di Makassar, Rabu.
Pihaknya menilai penanganan kasus ini terkesan lambat, bahkan sengaja ditutupi dan didiamkan sampai publik benar-benar lupa akan kasus itu.
Padahal pengungkapan kasus tersebut telah dirilis langsung oleh Subdit I Indag Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel dari pabrik pembuatan pupuk ilegal pada September 2017.
"Kami sayangkan, kok penyidikannya menghilang dan sampai sekarang tidak ada kabar, padahal mereka (Polda) sendiri merilis kasus ditemukan kegiatan pembuatan pupuk berbahan tunggal batu kapur," kata dia.
Dia berharap Kapolda Sulsel Irjen Pol Umar Septono ikut mengawasi ketat penanganan kasus-kasus yang dijalankan bawahannya, mengingat kasus pembuatan pupuk ilegal yang berbahan tunggal dari batu kapur tersebut telah menyalahi aturan dan merugikan petani.
Sebelumnya, Subdit 1 Indag Dit Reskrimsus Polda Sulsel menggerebek langsung pabrik pembuatan pupuk ilegal berbahan tunggal dari batu kapur di Dusun Tamangesang, Desa Bontolempangan, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulsel.
Pemilik pabrik pupuk ini diketahui berinisial RM. Selain ditemukan di pabrik setempat, pupuk ilegal ini juga ditemukan diperjualbelikan di jalan Poros Kariango, Desa Tenrigangkae, Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, Sulsel.
Dalam penggerebekan itu, ditemukan sejumlah mesin penghancur batu kapur, dari situ ratusan karung dengan total sebanyak 205 ton pupuk ilegal di bungkus dalam karung, masing-masing karung memiliki berat 25 kilogram.
"Batu kapur dihaluskan menggunakan mesin penghancur ini selanjutnya dimasukan ke dalam karung untuk dikemas. Beratnya 25 kilogram per karung, barang ini siap dipasarkan ke beberapa kabupaten di Sulsel dengan harga Rp 35.000 per karung," kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani di lokasi pabrik, Kamis 14 September 2017 lalu.
Selama beroperasi empat tahun, kata dia, pemilik usaha pupuk ilegal tersebut tidak pernah mengurus atau memiliki izin edar dan tidak terdaftar di Kementerian Pertanian.
"Usaha pembuatan pupuk ilegal ini baru tercium sekarang. Bayangkan sudah berapa banyak yang telah diedarkan di wilayah Sulawesi Selatan," katanya saat itu.
Batu kapur yang merupakan bahan baku tunggal dalam pembuatan pupuk pembenah tanah ilegal tersebut sangat berdampak pada gangguan kesehatan serta dapat merusak unsur hara tanah.
Atas perbuatan pelaku RM, melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70 Tahun 2011 tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah.
Dalam aturan tersebut kata Dicky, ditekankan bahwa formula pupuk hayati atau formula pembenah tanah yang akan diproduksi dan diedarkan untuk keperluan sektor pertanian harus memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya serta kegiatannya terdaftar di kementerian.
"Tapi pada kenyataannya tidak, pupuk yang diproduksi pelaku tidak memiliki izin edar dan tidak terdaftar di Kementerian Pertanian, sehingga jelas tidak dijamin standar mutunya, efektivitas bahkan tidak ada label izin pada kemasannya. Ini tentu berdampak pada kerugian bagi petani selaku konsumen," katanya.
Dari perbuatan pelaku akan dijerat pasal 62 ayat 1 juncto pasal 8 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana paling lama lima tahun penjara atau pidana denda sebanyak Rp2 miliar
Pasal 60 ayat 1 huruf f juncto pasal 37 ayat 1, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, dengan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda sebesar Rp250 Juta.