Jayapura (ANTARA Sulsel) - Teknik bertani dengan sistem ladang berpindah berpotensi merusak ekosistem maupun struktur tanah karena lahan yang ditinggalkan akan tererosi akibat hujan.
Demikian dikatakan Yunus Paelo, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Jayapura, di Jayapura, Kamis.
Ia menjelaskan, sistem bertani dan ladang seperti ini banyak dipakai petani di Kota Jayapura dan sekitarnya, terbukti dari banyak perbukitan di seputaran kota Jayapura yang sudah habis dibuka sebagai lahan bertani oleh petani, tetapi kemudian ditinggalkan begitu saja.
"Ini sangat merugikan lingkungan, pohon yang ditebang saat membuka lahan akan sangat sulit tumbuh kembali. Kalau kondisi ini terus berlanjut kemampuan tanah menahan laju debit air sangat sedikit yang berakibat pada banjir dan erosi saat hujan," jelas Yunus.
Menurut dia, bertani yang efisien adalah bagaimana menggunakan lahan pertanian semaksimal mungkin dengan penganekaragaman komoditas dan pemupukan yang berimbang.
"Ini menjadi penting tatkala seorang petani berencana membuka lahan dan merencanakan tanaman yang akan dibudidayakan," terangnya.
Selain itu tambahnya, dampak lain yang terjadi dari sistem perladangan berpindah, adalah pada penurunan debit air tanah yang ada di Kota Jayapura.
"Artinya kalau mata air menjadi cepat kering, bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat," ungkapnya.
Lebih lanjut Yunus juga mengharapkan tindakan nyata dari pihak terkait guna menekan dan mencegah oknum yang sering membuka lahan di perbukitan sebagai ladang.
"Saya pikir harus ada tindakan tegas, kalau hanya sekedar imbauan, maka hal ini sulit teratasi," lanjutnya.
(T.PSO-126/B013)

