Tak sedikit pun mereka merasa menggigil, tak acuh akan dinginnya lima level udara di bawah nol itu. Keceriaan mereka mencairkan kebekuan pagi hari di pinggiran kota oasis yang membentengi daratan Tiongkok di perbatasan Kirgizstan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan itu. Demikian pula dengan air muka mereka yang tidak sedikit pun memancarkan kegundahan layaknya tawanan atau pesakitan kejahatan lain,seperti ramai dibicarakan orang-orang di luar dinding sana.
Tujuan memperoleh penghidupan yang lebih menjanjikan ditambah fasilitas-fasilitas yang lebih memadai membuat mereka abai akan apa yang diperbincangkan dunia. Mereka tidak ingin berlama-lama hidup di bawah garis kemiskinan tanpa jelas arah dan tujuan masa depan.
Ekstremisme, radikalisme, dan terorisme yang mereka alami selama 23 tahun lebih masih terus menghantui pikiran sehingga mereka butuh pelarian. Amat sayang, kalau hanya kekuatan fisik mereka yang lebih mirip ras Asia Tengah ketimbang Asia Timur itu tidak dikembangkan dan tidak diberdayakan.
.Sementara di bagian dalam, kawan-kawan mereka menirukan ucapan guru yang mengeja karakter demi karakter Hanzi. Melihat dari usia mereka yang rata-rata 20 tahun hingga 30 tahun tidak seharusnya duduk di ruang kelas untuk melafalkan kata demi kata layaknya murid sekolah dasar. Tapi itulah kenyataan bahwa mayoritas yang ada di kamp itu tidak bisa berbicara dengan menggunakan bahasa nasional mereka sendiri.
Hal ini yang menjadi alasan utama perlunya pemerintah China membangun tempat belajar bagi mereka agar bisa berbahasa Mandarin, meningkatkan kemampuan individu sesuai peminatan dan keahlian yang sekaligus mempertebal nasionalisme dengan memahami konstitusi negaranya secara utuh.
Jarum jam telah menunjuk angka 7 waktu Kota Moyu, wilayah barat China, tapi suasananya masih sangat gelap. Jangankan mentari, fajar pun masih belum menyingsing. Namun, bayangan beberapa orang berbaris terlihat samar-samar. Lamat-lamat mereka menaiki bus satu-persatu.Meskipun tidak sama persis dengan mobil tahanan seperti di Inodnesia, teralis baja yang melapisi kaca jendela dan membatasi ruang kemudi, menjadikan bus itu tidak seperti biasanya. Satu bus penuh penumpang lebih dulu keluar dari areal kamp pendidikan vokasi di salah satu daerah tertinggal di Daerah Otomomi Xinjiang, itu, Sabtu (5/1/2019) pagi.
Namun wartawan Antara masih bisa mencegat satu bus lainnya yang bersiap mengantarkan penghuni kamp pulang ke rumahnya di perdesaan yang berbatasan dengan Pakistan dan India itu.
Sementara di dalam kamp, beberapa siswa-siswi sibuk dengan urusannya sendiri. Ada yang menari sambil bernyanyi, ada yang memainkan alat musik tradisional Uighur untuk mengiringi nyanyian berbahasa lokal yang mirip dengan bahasa Turki. Dan, ada pula yang sibuk mencorat-coret kanvas dengan kuas beraneka warna.
Beberapa lagi sibuk dengan urusan masak-memasak karena memang mereka sedang mempelajari ilmu tata boga. Sebagian dari mereka sudah berdandan cantik layaknya pelayan hotel bintang lima dengan pakaian rapi dan formal. "Sebelum ke sini, saya tidak bisa apa-apa," kata Adilla, siswi berusia 20 tahun, di sela-sela kesibukannya menata aneka penganan yang sebagian besar mengandung daging kambing dan daging sapi itu di ruang kelas memasak Kamp Moyu.
Di belakang dia, sekelompok pria mengenakan baju koki (chef) sibuk memasak. Ada yang membuat kue, ada yang mengiris sayur, dan ada yang mengaduk-aduk nasi di atas penggorengan besar. Pokoknya pada saat itu tidak ada yang kelihatan menganggur. Sekilas, aktivitas di pagi buta itu terkesan horor. Tapi kalau menurut jadwal, mereka sudah harus memulai kegiatan setiap hari pada pukul 06.00 waktu setempat (05.00 WIB) dan berakhir pada pukul 18.00.
Apalagi kalau melihat matahari di Moyu baru terbit pada pukul 09.00 (08.00 WIB), maka aktivitas mereka mulai pagi buta bukan hal yang aneh, meskipun situasi jalanan di luar kamp masih sangat sepi. Belum sempat mencicipi masakan para peserta didik kamp, wartawan Antara sudah harus bergeser menuju Kota Hotan untuk mengunjungi kamp yang sama.
Hari mulai terang ketika sebagian siswa-siswi berpakaian olahraga melakukan aktivitas di lapangan basket depan ruang kelas utama kamp pendidikan vokasi di kota penghasil kurma itu. Selain menari, di kamp ini juga terdapat kelas keterampilan memangkas rambut dan pedikur-manikur.
Seorang siswi berusia 30 tahun menuturkan pengalamannya tinggal di desa yang terpengaruh oleh radikalisme dan ekstremisme. "Saya dipaksa pakai cadar dan dipengaruhi pikiran saya sebelum akhirnya ada beberapa orang yang menyelamatkan saya ke tempat ini," kata Pazilet Wubur, sambil sejenak menghentikan praktik riasnya.
Perempuan berambut keriting warna emas itu mengaku bisa menengok anaknya di desa setiap Sabtu selepas kelas praktik dan kembali ke kamp pada malam keesokan harinya. Sama dengan para penghuni kamp lainnya, dia juga berharap dapat pekerjaan selesai menjalani program pendidikan bahasa Mandarin, konstitusi nasional, dan keterampilan.
Menurut dia, berbagai fasilitas yang tersedia di kamp vokasi Kota Hotan jauh berbeda dengan di desanya. Apalagi di kamp itu ada beberapa bilik telepon yang bisa digunakan secara cuma-cuma untuk menghubungi keluarganya.
Miskin
Sejauh ini model pembinaan di dalam kamp tersebut masih menimbulkan pro dan kontra. Aktivis internasional menyorotinya dengan berbagai dalih pelanggaran HAM karena ada indikasi model pelatihan dan pendidikan kejuruan di dalam kamp itu ada indikasi pengekangan dan pengebirian.
Berkali-kali China membantah tuduhan itu dengan menyatakan bahwa lembaga itu didirikan sebagai upaya untuk membekali rakyatnya dari kelompok etnis minoritas Uighur yang sampai saat ini masih banyak hidup di garis kemiskinan.
Upaya memutus rantai paham ekstrem yang memicu serangkan konflik berdarah sepanjang 1992-2015 akan efektif jika dibarengi dengan peningkatan kapasitas diri, papar Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir.
Masyarakat Uighur yang mendiami kawasan gurun di wilayah selatan Xinjiang hanya berpenghasilan 300 RMB hingga 600 RMB (Rp630.000 - Rp1.260.000) per bulan. Hal itu tidak saja menjadikan Xinjiang selatan jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah lainnya di China, melainkan juga sangat sulit bagi Etnis Uighur untuk terentaskan dari jurang kemiskinan.
Sebagian masyarakat yang lulus dari kamp vokasi sudah bisa merasakan penghasilan 1.600 RMB hingga 2.000 RMB (Rp3.360.000 - Rp4.400.000) per bulan dengan bekal keterampilan yang didapatnya selama beberapa bulan. Oleh karenanya, pemerintah China masih akan terus membangun lembaga-lembaga sejenis. Bahkan Shohrat menargetkan setiap kabupaten/kota di wilayah selatan harus punya satu lembaga sejenis.
Untuk kamp terkecil diproyeksikan menampung 300 hingga 700 orang, sedangkan terbesar 1.000 orang. Sampai saat ini di wilayah selatan terdapat sedikitnya 19 kamp sejenis.
Menanggapi pihak-pihak yang menyinyirinya, Shohrat justru mengundangnya untuk datang ke Xinjiang, asalkan didasari niatan yang baik dengan memberikan penilaian objektif sesuai dengan kenyataan di lapangan.
"Kami menyambut baik berbagai komunitas di dunia untuk melihat situasi yang sebenarnya. Kami juga berharap siapa saja yang datang tidak mencampuri urusan dalam negeri China dan persatuan nasional karena kami ingin membahagiakan masyarakat kami," katanya dalam pertemuan eksklusif dengan lima kantor berita asing, termasuk Antara, di Urumqi, Sabtu (5/1/2019).
Sebenarnya, hal yang tidak kalah penting dari pro dan kontra seputar isu kemanusiaan adalah kamp itu langkah konkret dari strategi China memperkuat perekonomian domestik dalam menghadapi perekonomian global, terutama di tengah rivalitas menghadapi dominasi Amerika Serikat.
Mereka tidak sekadar membangun kamp. Kawasan dan sentra industri di sekitar kamp sudah dipersiapkan sangat cermat dan prospektif bisnis. Pabrik garmen di Desa Gazong, Kecamatan Xiaoerbage, tidak jauh dari kamp vokasi Kota Hotan salah satu contohnya.
Mereka mempekerjakan hampir seratus perempuan terampil menjahit berbagai jenis dan model baju sesuai pesanan vendor. Sangat mungkin, jika sebagaian dari pekerja itu adalah jebolan kamp vokasi. Namun hal yang lebih penting lainnya terkait pemenuhan spiritual para penghuni yang mayoritas etnis Muslim Uighur karena di dalam kamp tersebut tidak ada sarana pendukung.
Sayang sekali Shohrat yang juga dari kalangan etnis Muslim Uighur tidak memberikan jawaban secara spesifik pertanyaan Antara mengenai kekurangan fasilitas di dalam kamp dalam memberikan hak penghuni memenuhi kewajiban rohaninya. "Mereka sudah mendapatkan gratis tempat tinggal dan makan. Setelah lulus, kami tidak pernah menahan atau melarang mereka kembali ke masyarakat," ujar Shohrat yang juga menjabat Deputi Sekretaris Partai Komunis China (PKC) Komite Xinjiang itu.