Makassar (ANTARA) - The Westminster Foundation for Democracy (WDF) mengandeng The Centre for Human Rights, Multiculturalism and Migration,
Universitas Jember (CHRM2-UNEJ) mengelar pelatihan Pemantauan, Peninjauan dan pengawasan pelaksanaan produk hukum daerah di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa.
Kegiatan ini di fasilitasi LBH Pers Makassar juga mendapat dukungan program CLFI dari Kementerian Perdagangan dan Luar Negeri (DFAT) Canada. Pelatihan itu mengangkat tema 'Pemantauan, Peninjauan dan Pengawasan Peraturan Daerah (Perda) oleh DPRD Sebagai Upaya Mengurangi Perda atau Perkada Bermasalah'
Peserta yang mengikuti kegiatan tersebut di hotel Swiss Bel In dari perwakilan anggota DPRD kabupaten kota, perwakilan Sekertariat DPRD kabupaten kota dan pengiat hukum, LSM, Tokoh Masyarakat serta jurnalis.
Perwakilan WDF Country Representative Indonesia, Agus Wijayanto mengatakan, di Indonesia, WFD memprioritaskan untuk mendorong peningkatan kapasitas DPR-RI, DPD-RI dan DPRD dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran agar lebih berkualitas, akuntabel, partisipatoris dan inklusif.
"Prosesnya adalah bagaimana kemudian Perda yang kita gunakan melalui prespektif inklusif dan tidka diskriminatif. Sudah semestinya Perda bisa dievaluasi, Bamperda DPRD pun bisa melakukan itu," katanya.
Salah satu permasalahan yang saat ini menjadi perhatian masyarakat luas, kata dia, banyaknya Perda yang dinilai bermasalah, baik karena bertentangan dengan peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi maupun karena dinilai diskriminatif terhadap perempuan, penyandang disabilitas dan kelompok minoritas lain.
Ia menjelaskan, dampak dari adanya Perda-perda yang sebenarnya tidak diperlukan ini telah menghambat pembangunan ekonomi, pengarusutamaan hak-hak dasar dan fundamental masyarakat serta berpotensi mengurangi pendapatan daerah.
Hingga tahun 2016, Pemerintah Pusat telah membatalkan 3.153 Perda yang dinilai menghambat investasi. Hasil kajian beberapa lembaga menemukan 431 Perda diskriminatif terhadap perempuan dan 53 Perda diskriminatif terhadap kelompok agama tertentu.
Kondisi tersebut merupakan bukti bahwa proses harmonisasi dan evaluasi rancangan Perda oleh DPRD, pemerintah provinsi dan Kementerian Dalam Negeri masih memiliki celah bagi lolosnya Perda bermasalah.
Jika sebelumnya, Kemendagri masih memiliki kewenangan untuk mengevaluasi Perda yang telah disahkan dan membatalkan Perda yang terbukti bermasalah, akan tetapi sejak terbitnya Putusan MK nomor 137/PUU-XIII/2015 dan nomor 56/PUU-XIV/2016 pada bulan April dan Juni 2017, kewenangan Kemendagri tersebut tidak ada lagi.
Pengujian dan pembatalan perda bermasalah kini hanya dapat dilakukan melalui mekanisme Judicial Review di Mahkamah Agung. Sebagai solusinya Kementerian Dalam Negeri mendorong DPRD untuk menjalankan fungsi sebagaimana dilakukan Badan Legislasi (Baleg) dan Komisi di DPR-RI.
Sementara Perwakilan Canada Fund for Local Initiatives Coordinator, Embassy of Canada for Indonesia dan Timor Leste, Hellay Mojadidi, pada kesempatan itu menambahkan, Kanada telah belajar bahwa memahami keberagaman adalah sumber kekuatan dan ketahanan sehingga Kanada menjadi negara kaya.
"Menjadi inklusif bukan jalan mudah, tapi ketika pemerintah memilih cara inklusif maka keunggulan ekonomi, sosial hingga bisa menjadi negara demokratis. Membangun sistem inklusif tentu sulit, dibutuhkan waktu. Kanada bisa sebaik sekarang ini karena berkolaborasi dengan negara lain menciptakan sistem inklusif tersebut," tambahnya.