Makassar (ANTARA) - Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A) Sulawesi Selatan mendorong orang tua meningkatkan cara pola asuh demi mencegah tindakan kekerasan terhadap anak yang belakangan sering terjadi.
"Kasus kekerasan terhadap anak, seperti fenomena gunung es, sehingga diperlukan langkah pencegahan, termasuk pelayanan pola pengasuhan anak," ujar Kepala DP3A Sulsel, Fitriah Zainuddin di Makassar, Minggu.
Kejadian fenomenal kekerasan anak oleh orang tuanya sendiri yang nyaris membuat korban buta, di Kabupaten Gowa, dampak dari penggunaan ilmu hitam atau dikenal dengan pesugihan, kata dia, merupakan salah satu bukti kurangnya pengetahuan pola pengasuhan anak yang benar.
Selain itu, proporsi jumlah anak adalah sepertiga orang dewasa. Bila dihitung jumlah orang dewasa di Sulsel lebih dari 7 juta jiwa, maka sepertiga diantaranya usia anak di bawah 18 tahun diperkirakan sekitar tiga jutaan jiwa yang membutuhkan pola asuh secara konsisten.
Sejauh ini, DPPA Sulsel, kata dia, telah menjalankan perlindungan anak dengan layanan gratis melalui program Pusat Pembelajaran Keluarga atau Pospayoga yang ada di setiap kabupaten kota. Bahkan forum anak juga sudah terbentuk di 24 kabupaten kota guna memberikan pelayanan kepada anak.
"Di tingkat desa juga terbentuk forum perlindungan anak. Bahkan sudah ada 15 kabupaten kota di Sulsel yang mendapatkan penghagaan layak anak, terkait perlindungan, dan partisipasi anak. Jika semua daerah mendapatkan penghargaan maka Provinsi tentu akan mendapat penghargaan itu," paparnya berharap.
Fitrah menambahkan, ada empat hak anak yang perlu diperhatikan setiap orang tua, yakni hak untuk hidup, hak untuk tumbuh, hak berkembang, dan hak berpartisipasi. Oleh karena itu, perlu koordinasi dengan berbagai sektor terkait.
Secara terpisah, aktivis perlindungan perempuan dan anak Sulsel, Lusia Palulungan, mengungkapkan, dampak kekerasan anak pada umumnya yang dialami secara jangka panjang adalah trauma psikologis. Bahkan ketika kasusnya dipublis akan menjadi jejak digital yang mudah ditelusuri orang di internet.
"Oleh karena itu, kita berharap jika ada kasus seperti ini, maka sebaiknya foto anak (berkasus) tidak boleh diunggah secara vulgar. Begitupun jika pengasuhan tidak ditangani dengan baik, maka bisa menjadi hal yang buruk bagi masa depan anak ," papar dia mengingatkan.
Bila merujuk kasus kekerasan anak di negara Australia, akan ditangani oleh negara dan anak tersebut akan dipisahkan dengan orang tuanya. Namun di Indonesia, belum ada mekanisme yang paten terkait hal ini.
"Inilah tantangan bagi Indonesia. Selanjutnya, jika anak putus sekolah, maka bisa berdampak pada kemiskinan dan sosial bagi masa depan anak tersebut," ucap Koordinator Program untuk MAMPU pada Yayasan BaKTI ini menjelaskan.
Hal senada disampaikan perwakilan tokoh agama Sulsel, M Ishaq Shamad. Ia mengemukakan mengapa seseorang bisa melakukan kekerasan kepada anaknya sendiri, karena pemahaman orang tua yang kurang tentang pengamalan ajaran agamanya.
Kasus kekerasan anak AP di Kabupaten Gowa yang nyaris mengalami kebutaan dilakukan ibunya beserta keluarga inti yang mendengarkan bisikan gaib jin, kerena menuntut pesugihan, adalah hal yang dilarang keras agama, kerena menyekutukan Tuhan.
Orang tua AP menganggap ada bisikan gaib yang menganggap ada jin dalam tubuh anaknya, sehingga AP mengalami kekerasan dari orang tuanya.
"Karena itu, perlu penanganan secara komprehensif dari berbagai pihak untuk menangani kasus kekerasan tersebut. Adalah kewajiban orang tua untuk mendidik dan merawat anaknya. Di akhirat nanti kalaupun orang tuanya masuk surga, anaknya masuk neraka, maka bisa protes kepada Tuhan, karena tidak pernah mendapat hak asuh dari kedua orang tuanya," ungkap Ishaq.