Presiden Jokowi sampaikan tiga pandangan dalam pengelolaan hutan di Indonesia
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga pandangan dalam pengelolaan hutan di Indonesia sebagai aksi mengatasi perubahan iklim.
"Pertama, perhatian kita harus mencakup seluruh jenis ekosistem hutan, tidak hanya hutan tropis, tapi juga hutan iklim sedang dan boreal," kata Presiden Jokowi saat menjadi salah satu pembicara pada "World Leaders Summit on Forest and Land Use" di Scotish Event Campus, Glasgow, Skotlandia pada Selasa.
Kebakaran hutan, menurut Presiden Jokowi, berdampak pada emisi gas rumah kaca dan keanekaragaman hayati apapun jenis ekosistemnya. Kebakaran dahsyat di benua Amerika, Eropa, dan Australia juga menjadi kekhawatiran bersama.
"Indonesia siap berbagi pengalaman tentang keberhasilannya mengatasi kebakaran hutan dan lahan dengan negara-negara itu," tambah Presiden.
Selanjutnya Presiden Jokowi menjelaskan bahwa terkait pengelolaan hutan, Indonesia juga telah mengubah paradigmanya dari manajemen produk hutan menjadi manajemen lanskap hutan. Hal tersebut menjadikan pengelolaan area hutan menjadi lebih menyeluruh.
Selain itu, Indonesia juga melakukan restorasi ekosistem mangrove yang berperan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Indonesia memiliki lebih 20 persen total area mangrove dunia, terbesar di dunia.
"Indonesia juga akan mendirikan Pusat Mangrove Dunia di Indonesia," ungkap Presiden.
Kedua, Presiden Jokowi menilai bahwa mekanisme insentif harus diberikan bagi pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
"Sertifikasi dan standar produksi harus disertai 'market incentives' sehingga berfungsi mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan, bukan menjadi hambatan perdagangan," tambah Presiden.
Presiden juga menegaskan bahwa sertifikasi, metodologi, dan standar tersebut harus didasarkan pada parameter yang diakui secara multilateral, tidak dipaksakan secara unilateral dan berubah-ubah. Sertifikasi juga harus berkeadilan sehingga berdampak pada kesejahteraan, khususnya petani kecil.
"Sertifikasi juga harus pertimbangkan semua aspek Sustainable Development Goals (SDGs) sehingga pengelolaan hutan sejalan dengan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat," kata Presiden.
Ketiga, Presiden Jokowi memandang perlunya mobilisasi dukungan pendanaan dan teknologi bagi negara berkembang. Menurutnya, komitmen harus dilakukan melalui aksi nyata, bukan retorika.
Presiden mengatakan bahwa memberi bantuan bukan berarti dapat mendikte, apalagi melanggar hak kedaulatan suatu negara atas wilayahnya. Dukungan harus "country-driven", didasarkan pada kebutuhan riil negara berkembang pemilik hutan.
"Bagi Indonesia, dengan atau tanpa dukungan, kami akan terus melangkah maju. Kami kembangkan sumber-sumber pendanaan inovatif, di antaranya pendirian Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, penerbitan 'green bond' dan 'green' sukuk, serta mengembangkan mekanisme Nilai Ekonomi Karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi," jelas Presiden.
Sementara itu, turut mendampingi Presiden saat menghadiri acara tersebut yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar.
"Pertama, perhatian kita harus mencakup seluruh jenis ekosistem hutan, tidak hanya hutan tropis, tapi juga hutan iklim sedang dan boreal," kata Presiden Jokowi saat menjadi salah satu pembicara pada "World Leaders Summit on Forest and Land Use" di Scotish Event Campus, Glasgow, Skotlandia pada Selasa.
Kebakaran hutan, menurut Presiden Jokowi, berdampak pada emisi gas rumah kaca dan keanekaragaman hayati apapun jenis ekosistemnya. Kebakaran dahsyat di benua Amerika, Eropa, dan Australia juga menjadi kekhawatiran bersama.
"Indonesia siap berbagi pengalaman tentang keberhasilannya mengatasi kebakaran hutan dan lahan dengan negara-negara itu," tambah Presiden.
Selanjutnya Presiden Jokowi menjelaskan bahwa terkait pengelolaan hutan, Indonesia juga telah mengubah paradigmanya dari manajemen produk hutan menjadi manajemen lanskap hutan. Hal tersebut menjadikan pengelolaan area hutan menjadi lebih menyeluruh.
Selain itu, Indonesia juga melakukan restorasi ekosistem mangrove yang berperan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Indonesia memiliki lebih 20 persen total area mangrove dunia, terbesar di dunia.
"Indonesia juga akan mendirikan Pusat Mangrove Dunia di Indonesia," ungkap Presiden.
Kedua, Presiden Jokowi menilai bahwa mekanisme insentif harus diberikan bagi pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
"Sertifikasi dan standar produksi harus disertai 'market incentives' sehingga berfungsi mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan, bukan menjadi hambatan perdagangan," tambah Presiden.
Presiden juga menegaskan bahwa sertifikasi, metodologi, dan standar tersebut harus didasarkan pada parameter yang diakui secara multilateral, tidak dipaksakan secara unilateral dan berubah-ubah. Sertifikasi juga harus berkeadilan sehingga berdampak pada kesejahteraan, khususnya petani kecil.
"Sertifikasi juga harus pertimbangkan semua aspek Sustainable Development Goals (SDGs) sehingga pengelolaan hutan sejalan dengan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat," kata Presiden.
Ketiga, Presiden Jokowi memandang perlunya mobilisasi dukungan pendanaan dan teknologi bagi negara berkembang. Menurutnya, komitmen harus dilakukan melalui aksi nyata, bukan retorika.
Presiden mengatakan bahwa memberi bantuan bukan berarti dapat mendikte, apalagi melanggar hak kedaulatan suatu negara atas wilayahnya. Dukungan harus "country-driven", didasarkan pada kebutuhan riil negara berkembang pemilik hutan.
"Bagi Indonesia, dengan atau tanpa dukungan, kami akan terus melangkah maju. Kami kembangkan sumber-sumber pendanaan inovatif, di antaranya pendirian Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup, penerbitan 'green bond' dan 'green' sukuk, serta mengembangkan mekanisme Nilai Ekonomi Karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi," jelas Presiden.
Sementara itu, turut mendampingi Presiden saat menghadiri acara tersebut yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar.