Semarang (ANTARA) - Pegiat pemilu yang notabene anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini memandang perlu memaksimalkan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) baik peserta pemilihan umum, penyelenggara pemilu, maupun pemilih pada Pemilu 2024.
"Ini terkait dengan agenda pemilu serentak legislatif dan presiden, serta pemilihan kepala daerah dalam tahun yang sama meski berbeda bulan," kata Titi Anggraini melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Rabu.
Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah ini mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Koordinator Subkomisi Penegakan Hak Asasi Manusia Komnas HAM RI Hairansyah pada Diskusi HAM dalam Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024 secara daring, Selasa (2/11).
Hairansyah mengemukakan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memandang bahwa pelaksanaan pemilu tidak sekadar memberi legitimasi bagi kekuasaan politik maupun prosedur rutin yang harus dipenuhi dalam negara demokratis, tetapi mekanisme terpenting untuk pelaksanaan hak konstitusional warga negara sebagai bagian dari HAM dan pengejewantahan pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Hairansyah mengutarakan bahwa hasil pemilu juga untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak-hak asasi manusia. Pasalnya, pihak yang paling bertanggung jawab atas kondisi HAM adalah Negara, terutama pemerintah, seperti termaktub dalam Pasal 28 I UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Lebih lanjut Titi Anggraini mengatakan bahwa pengaturan sistem pemilu, aktor, manajemen, dan penegakan hukum yang tidak berubah seiring dengan tidak berubahnya UU Pemilu dan UU Pilkada, beban berat pemilih, peserta, dan penyelenggara sebagai konsekuensi kompleksitas pemilu lima surat suara.
Ia memperkirakan polarisasi disintegratif ala Pemilu 2019 berpotensial kembali berulang, ditambah lagi pemilu di tengah disrupsi teknologi dan post truth era. Dalam situasi seperti ini, fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik karena lebih kuat emosi dan keyakinan pribadi.
"Distorsi, hambatan, dan gangguan untuk mendapatkan informasi yang memadai dan valid sebagai bekal untuk memilih dan menggunakan hak pilih akibat hoaks dan fitnah pemilu," ujarnya.
Selain itu, ketidakpahaman pada prosedur memilih membuat banyak suara yang tidak bisa dihitung karena masuk kategori tidak sah (invalid votes). Belum lagi serangan terhadap hak pilih disabilitas mental melalui pemelintiran isu sebagai ekses kontestasi yang membelah.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian penyelenggara pemilu, kata Titi, adalah pemilih akan sulit menjaga kemurnian suaranya karena serangan dan tekanan politik uang yang tidak terbendung yang melibatkan orang kuat di sekitarnya.
Berita Terkait
Timnas Indonesia gagal amankan tiket ke Olimpiade Paris 2024
Kamis, 9 Mei 2024 23:23 Wib
Trofi bola emas Diego Maradona di Piala Dunia 1986 akan dilelang 6 Juni 2024
Kamis, 9 Mei 2024 17:08 Wib
Pratinjau Indonesia vs Guinea dalam memperebutkan tiket ke Olimpiade 2024
Kamis, 9 Mei 2024 17:04 Wib
Tuan rumah Piala Dunia Putri 2027 akan diumumkan pada 17 Mei 2024
Kamis, 9 Mei 2024 17:01 Wib
Perkiraan pemain play-off Indonesia U23 vs Guinea U23
Kamis, 9 Mei 2024 15:31 Wib
MotoGP 2024 - Bagnaia ingin pertahankan performa di Sirkuit Le Mans Prancis
Kamis, 9 Mei 2024 14:03 Wib
MotoGP - Quartararo tidak sabar lakoni balapan kandang di Prancis
Kamis, 9 Mei 2024 11:24 Wib
MotoGP - Statistik Sirkuit Le Mans Prancis
Kamis, 9 Mei 2024 10:47 Wib