DPRD Makassar tindak lanjuti polemik PPTI di KIMA
Makassar (ANTARA) - DPRD Kota Makassar Sulawesi Selatan melalui Komisi B yang membidangi Keuangan dan Perekonomian menindaklanjuti polemik pembayaran biaya Perpanjangan Pemanfaatan Tanah Industri (PPTI) yang tidak rasional dan dibebankan pihak pengelola Kawasan Industri Makassar (KIMA) kepada investor dan pengusaha setempat.
"Kita mendapat aduan dari pengusaha serta investor di KIMA kalau penetapan biaya PPTI, dianggap tinggi, apalagi katanya ada intimidasi dari pihak pengelola, makanya dipantau mau dipastikan," ujar Ketua Komisi B DPRD Makassar Erick Horas, di Makassar, Selasa.
Menurut dia, peninjauan ini untuk mencari informasi tersebut karena dinilai bila polemik ini terus berlanjut akan mengganggu ketenangan berusaha bagi para pemilik modal dan pengusaha lainnya.
Rombongan dewan ini juga mendatangi perusahaan PT Pyramid Mega Sakti guna mendengar aspirasi dari pemilik perusahaan tersebut.
Pemilik perusahaan Adnan Widjaja pada kesempatan itu mengungkapkan, pihaknya terpaksa mengurangi karyawan dampak dari kebijakan pengelola KIMA.
"Pekerja kami kurangi, atas kebijakan yang tidak pro terhadap pengusaha. Bahan baku kini juga semakin sulit, ditambah kepercayaan bank ikut turun. bahkan ada bentuk intimidasi. Terus terang kami kesulitan dengan biaya PPTI itu," ungkapnya kepada wartawan.
Sebagai investor pertama di KIMA, sejak awal ia tidak tahu apa itu PPTI. Apalagi dengan adanya aturan biaya perpanjangan PPTI sebesar 30 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tidak pernah disampaikan dalam perjanjian, yang ada hanya perjanjian jual beli.
"Pengurangan karyawan telah kami lakukan, karena kebijakan pengelola KIMA yang tidak pro terhadap kami. Bahan baku sulit kami masukkan, kepercayaan bank juga turun. Kami alami kesulitan dengan biaya PPTI ini," tutur Adnan di hadapan awak media.
Ketua Paguyuban Perusahaan KIMAMakassar (PPKM) Jemmy Gautama, pada kesempatan itu mengemukakan, sebagai perusahaan di bawah naungan BUMN, pengelola seharusnya tidak sepihak memainkan harga PPTI. Sebab, bila dibandingkan Kawasan Industri Jakarta hanya 10 persen dan Kawasan Industri Surabaya yang merupakan kawasan terbesar kedua di Indonesia, hanya 4,8 persen.
"Sementara KIMA Makassar menetapkan biaya PPTI hingga 30 persen, dan menjadi kawasan industri kelima di Indonesia, tentu ini tidak masuk akal. Kesanggupan kami hanya 1-3 persen, apalagi kami baru bangkit usai dilanda badai Covid lebih dari dua tahun," ungkapnya.
Pihaknya juga sudah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo perihal permasalahan ini, meminta perlindungan dan kepastian berusaha, mengingat ada 30 pengusaha di bawah naungan paguyuban KIMA.
Sebelumnya, Direktur Utama PT KIMA Zainuddin Mappa saat dikonfirmasi perihal keberatan investor yang tergabung dalam PPKM soal PPTI malah menyerang balik dengan nada tinggi dan menegaskan organisasi PPKM tidak terdaftar.
"Apa haknya mereka mempertanyakan. Itu tenan-tenan kami. Soal tarif (PPTI) tidak ada perubahan dari tahun 2014. Dasarnya, ada perhitungannya dan kami tidak harus ungkapkan. Ini sudah diaudit BPK. Kalau dijual lebih murah, maka berbahaya bisa dikatakan penjualan tanah negara," katanya.
"Kita mendapat aduan dari pengusaha serta investor di KIMA kalau penetapan biaya PPTI, dianggap tinggi, apalagi katanya ada intimidasi dari pihak pengelola, makanya dipantau mau dipastikan," ujar Ketua Komisi B DPRD Makassar Erick Horas, di Makassar, Selasa.
Menurut dia, peninjauan ini untuk mencari informasi tersebut karena dinilai bila polemik ini terus berlanjut akan mengganggu ketenangan berusaha bagi para pemilik modal dan pengusaha lainnya.
Rombongan dewan ini juga mendatangi perusahaan PT Pyramid Mega Sakti guna mendengar aspirasi dari pemilik perusahaan tersebut.
Pemilik perusahaan Adnan Widjaja pada kesempatan itu mengungkapkan, pihaknya terpaksa mengurangi karyawan dampak dari kebijakan pengelola KIMA.
"Pekerja kami kurangi, atas kebijakan yang tidak pro terhadap pengusaha. Bahan baku kini juga semakin sulit, ditambah kepercayaan bank ikut turun. bahkan ada bentuk intimidasi. Terus terang kami kesulitan dengan biaya PPTI itu," ungkapnya kepada wartawan.
Sebagai investor pertama di KIMA, sejak awal ia tidak tahu apa itu PPTI. Apalagi dengan adanya aturan biaya perpanjangan PPTI sebesar 30 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), tidak pernah disampaikan dalam perjanjian, yang ada hanya perjanjian jual beli.
"Pengurangan karyawan telah kami lakukan, karena kebijakan pengelola KIMA yang tidak pro terhadap kami. Bahan baku sulit kami masukkan, kepercayaan bank juga turun. Kami alami kesulitan dengan biaya PPTI ini," tutur Adnan di hadapan awak media.
Ketua Paguyuban Perusahaan KIMAMakassar (PPKM) Jemmy Gautama, pada kesempatan itu mengemukakan, sebagai perusahaan di bawah naungan BUMN, pengelola seharusnya tidak sepihak memainkan harga PPTI. Sebab, bila dibandingkan Kawasan Industri Jakarta hanya 10 persen dan Kawasan Industri Surabaya yang merupakan kawasan terbesar kedua di Indonesia, hanya 4,8 persen.
"Sementara KIMA Makassar menetapkan biaya PPTI hingga 30 persen, dan menjadi kawasan industri kelima di Indonesia, tentu ini tidak masuk akal. Kesanggupan kami hanya 1-3 persen, apalagi kami baru bangkit usai dilanda badai Covid lebih dari dua tahun," ungkapnya.
Pihaknya juga sudah melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo perihal permasalahan ini, meminta perlindungan dan kepastian berusaha, mengingat ada 30 pengusaha di bawah naungan paguyuban KIMA.
Sebelumnya, Direktur Utama PT KIMA Zainuddin Mappa saat dikonfirmasi perihal keberatan investor yang tergabung dalam PPKM soal PPTI malah menyerang balik dengan nada tinggi dan menegaskan organisasi PPKM tidak terdaftar.
"Apa haknya mereka mempertanyakan. Itu tenan-tenan kami. Soal tarif (PPTI) tidak ada perubahan dari tahun 2014. Dasarnya, ada perhitungannya dan kami tidak harus ungkapkan. Ini sudah diaudit BPK. Kalau dijual lebih murah, maka berbahaya bisa dikatakan penjualan tanah negara," katanya.