Makassar (ANTARA) - Jarum jam menunjukkan pukul 02.15 WITA, tapi seorang nelayan yang biasanya sudah mulai beraktivitas mencari ikan, tak lantas berangkat. Dia masih berdiam diri di salah satu bilik yang berada di pinggir pantai. Alasannya, menunggu hujan angin agak reda.
Dia adalah Hamada Daeng Tangnga, seorang nelayan asal Desa Lanna Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Daeng Tangnga biasa berangkat menangkap ikan di laut lepas sekitar pukul 02.00 dan kembali pada pagi hari sekitar pukul 08.00 WITA.
Daeng Tangnga berharap angin kencang yang bertiup dini hari itu bisa lebih bersahabat sehingga ia tetap dapat melaut meski agak terlambat dari biasanya.
Asa ini terpatri dalam hatinya sebagai bentuk tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya yang tidak mengenal cuaca. Ikhtiar tulus sebagai seorang kepala rumah tangga menjadikannya harus menapaki risiko menerjang angin barat yang sudah dikenalnya setiap tahun.
Angin muson barat adalah angin yang bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia. Angin muson barat biasanya berhembus sekitar bulan Oktober hingga April. Pada periode ini, Indonesia akan mengalami musim hujan yang tidak jarang disertai angin kencang.
Sejam lebih ia menunggu, angin kencang tampak mereda, berhembus seperti subuh biasanya, tak lagi riak. Dia lantas menaiki perahu kecilnya untuk menemukan hasil di balik usahanya. Kendati terbilang lambat beroperasi, namun tidak lantas menyurutkan semangatnya mengais rezeki yang diyakini pasti ditemukan, sebab Tuhan Maha Mengasihi.
Peristiwa ini tidak selalu serupa, ada juga yang tidak membuahkan hasil. "Sering juga, kita menunggu sampai subuh, tapi angin makin kencang, padahal semuanya sudah siap. Jadi kita terpaksa kembali pulang ke rumah," ujar pria beranak tiga itu.
Musim hujan di akhir tahun hingga awal tahun, tak lantas membuatnya putus asa. Sebagai seorang yang hidup dari hasil laut sejak puluhan tahun lalu itu tetap mengais rezeki, mencari ikan, tentu tetap berdasar info prakiraan cuaca pemerintah dan pengalamannya selama ini.
Keberaniannya melaut di tengah cuaca ekstrem seperti saat ini, bukan tanpa dasar. Dia telah mempelajari kondisi cuaca, ada beberapa tanda-tanda alam yang telah dipelajarinya selama puluhan tahun melaut. Namun begitu, dia tidak lantas mengabaikan seruan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang sering kali diperoleh dari teman-teman seprofesinya.

Mengambil celah
Musim paceklik di musim barat bagi nelayan seperti Daeng Tangnga tidak menghentikan aktivitasnya. Dalam sepekan, di musim angin barat seperti sekarang, Daeng Tangnga hanya mengambil celah dari kondisi cuaca ekstrem, dua hari melaut dan lima hari harus berdiam diri di rumah.
Terkadang, dia pun kerap ingin memberanikan diri, tapi sang istri juga melarang, merasa takut dan khawatir atas keselamatannya.
Karena tidak bisa melaut setiap hari, sehingga tidak sedikit dari para nelayan yang harus merelakan harta bendanya dijual untuk memenuhi kebutuhan di musim hujan.
Baco Daeng Ngago misalnya, teman sesama nelayan seperti Daeng Tangnga, harus meminjam beras dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga biasanya. Jika Harga beras di pasaran Rp11 ribu per liter, harga pinjaman bisa mencapai Rp15 ribu per liter di musim paceklik bagi para nelayan.
Hal ini pun tetap disyukuri, sebab masih ada yang memberi pinjaman saja merupakan rezeki dari Tuhan. "Untung masih ada yang kasi (beri) pinjam, kalau sudah tidak ada, kita tidak ada yang dimakan," kata dia.
Namun, dia memastikan selalu ada jeda dalam sebulan untuk keluar mencari ikan. Dia pun dengan telaten mencari informasi terkait kondisi cuaca setiap harinya.
Musim paceklik ini mengharuskan Daeng Ngago bersama keluarganya lebih sabar, mengkondisikan mata pencaharian sebagai nelayan sesuai dengan keramahan musim angin barat.
Emas sang istri pun harus menjadi penopang, digadaikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tujuan beli emas dari awal juga agar bisa membantu di saat dibutuhkan, seperti saat ini.
Nelayan Takalar
Data Pemerintah Kabupaten Takalar pada Januari 2024 mencatat total nelayan di daerah ini sebanyak 9.772 orang dengan jumlah armada kapal penangkap ikan sebanyak 4.269 unit.
Ada beberapa ragam nelayan dengan masing-masing jenis perahu di daerah ini, seperti nelayan tangkap harian (papekang) menggunakan kapal lepa-lepa, nelayan pencari telur ikan terbang (patorani) menggunakan kapal cantrang dan nelayan yang berlayar selama sepekan (parawe/parengge) menggunakan kapal bubu.
Setiap nelayan dengan masing-masing cara tangkap itu memiliki waktu berlayar yang berbeda-beda. Seperti nelayan patorani yang melaut tidak hanya di Selat Makassar, tetapi hingga ke laut Maluku. Mereka mulai mempersiapkan aktifitas berlayar sejak Maret hingga September. Nelayan patorani kerap disebut pelaut ulung, karena mereka bisa bertahan di laut lepas hingga empat minggu.
Nelayan tangkap di Takalar kebanyakan memasarkan hasil tangkapannya di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Beba yang berada di Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar, dan ada pula nelayan yang memasarkan hasil tangkapannya ke sejumlah rumah makan yang berada di pesisir pantai Galesong, tepatnya di Desa Galesong Kota.
Data Dinas Perikanan Takalar menunjukkan rata-rata pendaratan kapal ikan sebanyak 40 hingga 90 armada per hari. Daya tampung armada bersandar di TPI Beba mencapai 23.400 kapal/tahun di kawasan 1,15 hektare.
Nilai produksi perikanan tangkap dari daerah yang memiliki garis pantai 74 kilometer ini pada tahun lalu mencapai Rp687 miliar lebih dengan produksi tangkap sebesar 25.165 ton.
Selain nelayan, ada pula berbagai pelaku usaha bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Takalar, seperti pembudi daya ikan sebanyak 9.136 orang, petambak garam 522 orang, pengolah ikan 139 dan pemasar ikan 83 orang.
Bantuan pemerintah
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Takalar Baso Sau mengakui bahwa tidak ada bantuan khusus bagi nelayan di musim barat, yakni musim paceklik bagi kebanyakan nelayan.
Namun demikian, pemerintah tetap menyiapkan berbagai uluran tangan bagi nelayan seperti sarana dan prasarana berupa alat tangkap, perahu, mesin dan lainnya. Program ini rutin direncanakan sekali setahun.
Pemerintah Kabupaten Takalar juga terus memberikan dukungan kepada nelayan dengan memfasilitasi rekomendasi solar bersubsidi, memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada pelaku usaha perikanan tangkap serta penanganan kemiskinan ekstrem dan stunting di kalangan keluarga nelayan.
Contohnya, 12 nelayan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Assamaturu di Desa Galesong Baru, Kabupaten Takalar, baru saja memperoleh bantuan perahu fiber yang dilengkapi mesin hingga alat tangkap. Para penerima bantuan merupakan awak kapal yang selama ini hanya mengandalkan kapal orang lain untuk mengais rezeki.
Dengan berbagai peralatan tersebut diharapkan dapat membantu menumbuhkan harapan bagi penerima manfaat (nelayan) dalam memutar roda perekonomiannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kegigihan nelayan Takalar menyiasati paceklik di musim barat