Mungkinkah perpanjangan masa jabatan kades untuk kemakmuran rakyat?
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Ribuan kepala desa dari berbagai daerah di Indonesia berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada 17 Januari 2022 dengan tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dengan berbagai pertimbangan.
Masa jabatan kepala desa diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya pasal 39 yang menyebutkan bahwa masa jabatan kepala desa selama enam tahun terhitung sejak pelantikan.
Kemudian petahana kades dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Para kades tersebut menilai bahwa waktu enam tahun belum cukup untuk membangun desa, sehingga butuh waktu lebih lama lagi, yakni sembilan tahun untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jember Nur Kholis mengatakan tuntutan kepala desa seluruh Indonesia tersebut sudah melalui tahapan yang panjang untuk membangun negara yang dimulai dari desa, sehingga bukan hanya untuk kepentingan pribadi para kades.
Menurutnya banyak dampak positif ketika masa jabatan kepala desa tersebut diperpanjang menjadi 9 tahun, di antaranya biaya pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) lebih efisien dan pembangunan desa bisa lebih maksimal untuk kesejahteraan rakyat.
Waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk membangun desa dengan maksimal karena penyesuaian birokrasi di desa setelah ketegangan pilkades membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat suasana kondusif.
Minimal butuh waktu dua tahun pertama untuk mengondisikan kembali suasana masyarakat yang sempat terbelah saat kontestasi pilkades, kemudian juga perlu menyinkronkan visi, misi, dan program kerja dengan seluruh perangkat desa.
Selanjutnya empat tahun berikutnya juga belum cukup untuk memaksimalkan pembangunan desa dengan banyaknya persoalan yang terjadi, sehingga totalitas kades untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih belum cukup dan membutuhkan waktu lebih lama.
Selain itu, anggaran pelaksanaan pilkades juga lebih efisien dengan masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun karena anggaran pemerintah untuk membiaya pilkades bisa hemat.
Tuntutan para kepala desa bak gayung bersambut karena mendapat respon positif dari pemerintah dan DPR yang memberikan sinyalemen untuk menyetujuinya.
Badan legislasi dan seluruh fraksi di DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait perpanjangan masa jabatan kades. Bahkan, Komisi II DPR telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024.
DPR hanya perlu menunggu keputusan dari pemerintah agar UU tentang Desa dapat direvisi, sehingga masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun dapat terwujud.
Sementara Presiden Joko Widodo juga menyetujui usulan perubahan periodisasi jabatan kades yang diatur dalam UU No.6 tahun 2014 untuk mencegah terjadinya konflik sosial yang dapat mengganggu pembangunan desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan bahwa masa jabatan kades sembilan tahun akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat desa.
Kades akan punya lebih banyak waktu untuk menyejahterakan warganya dan pembangunan desa dapat lebih efektif tidak terpengaruh oleh dinamika politik akibat pilkades, sehingga yang diuntungkan adalah warga desa.
Masyarakat juga bisa mengevaluasi apabila kinerja kades buruk karena Kementerian Dalam Negeri punya kewenangan memberhentikan kepala desa yang kinerjanya sangat buruk, sehingga warga desa tidak perlu menunggu sembilan tahun untuk mengganti kades yang kinerjanya buruk.
Perpanjangan masa jabatan kades tidak hanya serta merta diamini saja, tentu ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar kepala desa bekerja semakin baik untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) seorang kades juga harus mendapat prioritas yang penting dari pemerintah karena bagaimana mereka bisa membangun desa secara baik melalui inovasi ber-kearifan lokal, apabila kualitas SDM kades masih rendah.
Pembangunan desa dan korupsi
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Jember Hermanto Rohman menilai bahwa alasan stabilitas dan keberlanjutan pembangunan, serta politik di desa dengan biaya politik yang lebih efisien memang menjadi kelebihan dengan usulan memperpanjang jabatan kades menjadi sembilan tahun.
Namun waktu yang dirasa pendek (6 tahun) dan dirasa kurang menjadi 9 tahun sama saja tidak akan memiliki makna karena sejatinya keberhasilan, kestabilan dan kesuksesan pembangunan desa justru yang penting bukan hanya masalah waktu.
Pembangunan desa harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan gagasan terobosan inovasi dari sosok kepala desa yang kemudian di implementasikan dengan ketaatan aturan dan eksekusi yang matang.
Sejauh ini, pemerintahan desa masih di bawah kendali sosok kepala desa yang kuat, dan parahnya juga tidak sebanding dengan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang mampu menjadi penyeimbang dan kontrol bagi pembangunan desa.
Menguatkan kontrol BPD, masyarakat dan juga kewajiban transparan akuntabilitas pembangunan desa justru menjadi penting diperhatikan karena hakekat pengaturan materi perpanjangan jabatan itu dalam UU juga tidak boleh lepas dari substansi dari materi UUD 1945.
Artinya masa jabatan kepala desa juga semangatnya tidak boleh menghambat demokratisasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Ia menilai bahwa perpanjangan masa jabatan kades tidak akan menjamin atas kesuksesan dan keberhasilan kades dalam membangun desanya lebih baik.
Alasan mengajukan perpanjangan 9 tahun juga harus juga dipotret apakah demokratisasi desa sudah berjalan dengan baik atau tidak di desa yang ukuran sederhananya adalah berfungsinya peran BPD sebagai kontrol pembangunan apakah sudah bagus dan masyarakat juga kritis.
Sementara pakar hukum tata negara Universitas Jember Dr Adam Muhshi menilai secara substansi dalam tata hukum negara diperlukan pembatasan kekuasaan untuk mencegah absolutisme atau tindakan kesewenang-wenangan.
"Semakin panjangnya masa jabatan dapat berpotensi terjadinya tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan, dominan untuk mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta tuntutan itu dominan untuk kepentingan pribadi kades, bukan rakyat," katanya.
Data KPK RI dari tahun 2012 hingga 2021 tercatat sebanyak 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia dan dari jumlah kasus tersebut telah menjerat sebanyak 686 kades di seluruh tanah air.
Masyarakat tentu berharap perpanjangan jabatan kepala desa nantinya apabila disetujui memiliki dampak yang positif untuk kemakmuran rakyat di desa, namun potensi dampak negatif juga dapat ditekan semaksimal mungkin agar tidak berpeluang menjadi ladang korupsi.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Efektifkah perpanjangan masa jabatan kades untuk kemakmuran rakyat?
Masa jabatan kepala desa diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya pasal 39 yang menyebutkan bahwa masa jabatan kepala desa selama enam tahun terhitung sejak pelantikan.
Kemudian petahana kades dapat menjabat lagi paling banyak tiga kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Para kades tersebut menilai bahwa waktu enam tahun belum cukup untuk membangun desa, sehingga butuh waktu lebih lama lagi, yakni sembilan tahun untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Jember Nur Kholis mengatakan tuntutan kepala desa seluruh Indonesia tersebut sudah melalui tahapan yang panjang untuk membangun negara yang dimulai dari desa, sehingga bukan hanya untuk kepentingan pribadi para kades.
Menurutnya banyak dampak positif ketika masa jabatan kepala desa tersebut diperpanjang menjadi 9 tahun, di antaranya biaya pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) lebih efisien dan pembangunan desa bisa lebih maksimal untuk kesejahteraan rakyat.
Waktu enam tahun dinilai belum cukup untuk membangun desa dengan maksimal karena penyesuaian birokrasi di desa setelah ketegangan pilkades membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat suasana kondusif.
Minimal butuh waktu dua tahun pertama untuk mengondisikan kembali suasana masyarakat yang sempat terbelah saat kontestasi pilkades, kemudian juga perlu menyinkronkan visi, misi, dan program kerja dengan seluruh perangkat desa.
Selanjutnya empat tahun berikutnya juga belum cukup untuk memaksimalkan pembangunan desa dengan banyaknya persoalan yang terjadi, sehingga totalitas kades untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih belum cukup dan membutuhkan waktu lebih lama.
Selain itu, anggaran pelaksanaan pilkades juga lebih efisien dengan masa jabatan diperpanjang menjadi sembilan tahun karena anggaran pemerintah untuk membiaya pilkades bisa hemat.
Tuntutan para kepala desa bak gayung bersambut karena mendapat respon positif dari pemerintah dan DPR yang memberikan sinyalemen untuk menyetujuinya.
Badan legislasi dan seluruh fraksi di DPR menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait perpanjangan masa jabatan kades. Bahkan, Komisi II DPR telah mengusulkan revisi UU tersebut untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI Periode 2019-2024.
DPR hanya perlu menunggu keputusan dari pemerintah agar UU tentang Desa dapat direvisi, sehingga masa jabatan kades dari enam tahun menjadi sembilan tahun dapat terwujud.
Sementara Presiden Joko Widodo juga menyetujui usulan perubahan periodisasi jabatan kades yang diatur dalam UU No.6 tahun 2014 untuk mencegah terjadinya konflik sosial yang dapat mengganggu pembangunan desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan bahwa masa jabatan kades sembilan tahun akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat desa.
Kades akan punya lebih banyak waktu untuk menyejahterakan warganya dan pembangunan desa dapat lebih efektif tidak terpengaruh oleh dinamika politik akibat pilkades, sehingga yang diuntungkan adalah warga desa.
Masyarakat juga bisa mengevaluasi apabila kinerja kades buruk karena Kementerian Dalam Negeri punya kewenangan memberhentikan kepala desa yang kinerjanya sangat buruk, sehingga warga desa tidak perlu menunggu sembilan tahun untuk mengganti kades yang kinerjanya buruk.
Perpanjangan masa jabatan kades tidak hanya serta merta diamini saja, tentu ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar kepala desa bekerja semakin baik untuk membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) seorang kades juga harus mendapat prioritas yang penting dari pemerintah karena bagaimana mereka bisa membangun desa secara baik melalui inovasi ber-kearifan lokal, apabila kualitas SDM kades masih rendah.
Pembangunan desa dan korupsi
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Jember Hermanto Rohman menilai bahwa alasan stabilitas dan keberlanjutan pembangunan, serta politik di desa dengan biaya politik yang lebih efisien memang menjadi kelebihan dengan usulan memperpanjang jabatan kades menjadi sembilan tahun.
Namun waktu yang dirasa pendek (6 tahun) dan dirasa kurang menjadi 9 tahun sama saja tidak akan memiliki makna karena sejatinya keberhasilan, kestabilan dan kesuksesan pembangunan desa justru yang penting bukan hanya masalah waktu.
Pembangunan desa harus dilakukan dengan perencanaan yang matang dan gagasan terobosan inovasi dari sosok kepala desa yang kemudian di implementasikan dengan ketaatan aturan dan eksekusi yang matang.
Sejauh ini, pemerintahan desa masih di bawah kendali sosok kepala desa yang kuat, dan parahnya juga tidak sebanding dengan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang mampu menjadi penyeimbang dan kontrol bagi pembangunan desa.
Menguatkan kontrol BPD, masyarakat dan juga kewajiban transparan akuntabilitas pembangunan desa justru menjadi penting diperhatikan karena hakekat pengaturan materi perpanjangan jabatan itu dalam UU juga tidak boleh lepas dari substansi dari materi UUD 1945.
Artinya masa jabatan kepala desa juga semangatnya tidak boleh menghambat demokratisasi sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
Ia menilai bahwa perpanjangan masa jabatan kades tidak akan menjamin atas kesuksesan dan keberhasilan kades dalam membangun desanya lebih baik.
Alasan mengajukan perpanjangan 9 tahun juga harus juga dipotret apakah demokratisasi desa sudah berjalan dengan baik atau tidak di desa yang ukuran sederhananya adalah berfungsinya peran BPD sebagai kontrol pembangunan apakah sudah bagus dan masyarakat juga kritis.
Sementara pakar hukum tata negara Universitas Jember Dr Adam Muhshi menilai secara substansi dalam tata hukum negara diperlukan pembatasan kekuasaan untuk mencegah absolutisme atau tindakan kesewenang-wenangan.
"Semakin panjangnya masa jabatan dapat berpotensi terjadinya tindakan korupsi dan kesewenang-wenangan, dominan untuk mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta tuntutan itu dominan untuk kepentingan pribadi kades, bukan rakyat," katanya.
Data KPK RI dari tahun 2012 hingga 2021 tercatat sebanyak 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia dan dari jumlah kasus tersebut telah menjerat sebanyak 686 kades di seluruh tanah air.
Masyarakat tentu berharap perpanjangan jabatan kepala desa nantinya apabila disetujui memiliki dampak yang positif untuk kemakmuran rakyat di desa, namun potensi dampak negatif juga dapat ditekan semaksimal mungkin agar tidak berpeluang menjadi ladang korupsi.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Efektifkah perpanjangan masa jabatan kades untuk kemakmuran rakyat?