Bareskrim Polri mengungkap modus baru TPPO lewat program magang mahasiswa ke Jepang
Jakarta (ANTARA) - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri berhasil mengungkap kasus perdagangan manusia (TPPO) dengan metode pengiriman mahasiswa magang ke Jepang.
"Pengungkapan selanjutnya adalah TPPO dengan modus program magang di luar negeri yang mengakibatkan korban sebagai mahasiswa dieksploitasi," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro saat ditemui wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa.
Djuhanhani mengatakan, kasus ini berawal dari laporan korban berinisial ZS dan FY ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo. Berdasarkan pengakuan kedua wartawan tersebut, mereka bersama sembilan mahasiswa lainnya diutus oleh salah satu politeknik di Sumatera untuk mengikuti program magang.
"Namun, para korban dipekerjakan sebagai buruh," katanya.
Menurut Djuhandhani, minat para korban untuk kuliah di Politeknik tersebut, karena tersangka berinisial G yang menjabat sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 itu menjelaskan keunggulan politeknik tersebut, yakni beberapa program magang ke Jepang. Beberapa jurusan yang dimaksud adalah teknologi pangan, pengelolaan air pertanian, mesin pertanian, hortikultura dan perkebunan.
Selama satu tahun mengikuti program magang ke Jepang, para korban dipekerjakan sebagai buruh dengan syarat bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 hingga 22.00. Pekerjaan dilakukan setiap hari selama tujuh hari tanpa libur dan hanya diberi waktu istirahat 10 sampai 15 menit untuk makan.
Pengorbanan juga tidak diperbolehkan untuk ibadah.Padahal, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 19, ditegaskan bahwa pembelajaran 1 SKS dalam proses pembelajaran berupa jam, seharusnya 170 menit per minggu per semester.
Ia menyebutkan, para korban diberi upah sebesar 50,00 yen atau Rp 5 juta per bulan. Tak hanya itu, mereka harus memberikan dana sumbangan ke kampus sebesar 17.500 yen atau setara Rp2 juta per bulan.
Selain itu, lanjut Djuhandhani, korban dikirim ke Jepang dengan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah masa berlakunya diperpanjang oleh perusahaan menjadi visa kerja selama enam bulan.
“Setelah mengetahui hal itu, korban menghubungi pihak politeknik untuk dikembalikan, namun korban justru diancam pihak politeknik jika kerjasama politeknik dengan perusahaan Jepang putus, maka korban akan dikeluarkan,” jelasnya .
Berdasarkan hasil investigasi, ditemukan bahwa politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses magang di luar negeri. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: per.08/men/v/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri.
Adapun politeknik dalam melaksanakan program magang juga belum memiliki kurikulum magang di luar negeri. Kemudian menjalin kerjasama dengan pihak asing dalam hal ini perusahaan di Tokyo, Jepang, tanpa sepengetahuan KBRI Tokyo.
Ia juga mengatakan, ada sejumlah keuntungan yang didapat dari kejahatan yang dilakukan G dan EH, yakni dua program dari akreditasi B menjadi akreditasi A. Kemudian, untuk salah satu politeknik di Sumatera yang mendapatkan akreditasi B. “Semakin banyak. mahasiswa baru
masuk salah satu politeknik di Sumatera karena program magang ke Jepang yang sebelumnya untuk supporter di bawah 1.000 orang, tetapi ketika dipimpin oleh G menjadi 1.200 menjadi 1.400 orang,” ujar Djuhandhani.
Manfaat lainnya, G pergi ke Jepang untuk melihat perusahaan tempat mahasiswa magang menggunakan dana sumbangan mahasiswa. Dana iuran yang dibebankan kepada mahasiswa magang asing juga digunakan untuk membayar biaya lainnya.
Djuhandhani detail, dana iuran digunakan untuk supervisi ke Jepang, biaya pengurusan visa Jepang di Medan, seleksi mahasiswa, pengiriman surat dari mahasiswa yang telah lulus ke Jepang, transportasi untuk penandatanganan MoU dan LoA dengan pimpinan perusahaan di Jakarta 1 kali pada tahun 2017.
Selanjutnya biaya pelatihan traktor sebagai bekal, dan biaya kursus bahasa Jepang tahun 2013-2018, biaya konsumsi untuk kedatangan pimpinan perusahaan Shimota, dan biaya transport siswa ke bandara Padang , serta menjemput mereka saat kembali ke Indonesia.
“Hingga Januari 2021 masih terdapat saldo penerimaan dana iuran sebesar Rp238.676.000,00, namun pembebanan dana iuran kepada mahasiswa magang asing belum memiliki landasan hukum,” ujarnya.
Tindak pidana perdagangan manusia dengan mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang telah dilakukan sejak tahun 2012. Dua mantan direktur politeknik G dan EH telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka terjerat dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara dan denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Kemudian, Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara dan denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp .600 juta
Berita inii jjuga telah tayang di Antaranews . com dengan judul: Polri Ungkap Modus BaruTPPO Melalui Program Magang Mahasiswa ke Jepang
"Pengungkapan selanjutnya adalah TPPO dengan modus program magang di luar negeri yang mengakibatkan korban sebagai mahasiswa dieksploitasi," kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro saat ditemui wartawan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa.
Djuhanhani mengatakan, kasus ini berawal dari laporan korban berinisial ZS dan FY ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo. Berdasarkan pengakuan kedua wartawan tersebut, mereka bersama sembilan mahasiswa lainnya diutus oleh salah satu politeknik di Sumatera untuk mengikuti program magang.
"Namun, para korban dipekerjakan sebagai buruh," katanya.
Menurut Djuhandhani, minat para korban untuk kuliah di Politeknik tersebut, karena tersangka berinisial G yang menjabat sebagai Direktur Politeknik periode 2013-2018 itu menjelaskan keunggulan politeknik tersebut, yakni beberapa program magang ke Jepang. Beberapa jurusan yang dimaksud adalah teknologi pangan, pengelolaan air pertanian, mesin pertanian, hortikultura dan perkebunan.
Selama satu tahun mengikuti program magang ke Jepang, para korban dipekerjakan sebagai buruh dengan syarat bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 hingga 22.00. Pekerjaan dilakukan setiap hari selama tujuh hari tanpa libur dan hanya diberi waktu istirahat 10 sampai 15 menit untuk makan.
Pengorbanan juga tidak diperbolehkan untuk ibadah.Padahal, dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 19, ditegaskan bahwa pembelajaran 1 SKS dalam proses pembelajaran berupa jam, seharusnya 170 menit per minggu per semester.
Ia menyebutkan, para korban diberi upah sebesar 50,00 yen atau Rp 5 juta per bulan. Tak hanya itu, mereka harus memberikan dana sumbangan ke kampus sebesar 17.500 yen atau setara Rp2 juta per bulan.
Selain itu, lanjut Djuhandhani, korban dikirim ke Jepang dengan menggunakan visa pelajar yang berlaku selama satu tahun. Namun, setelah masa berlakunya diperpanjang oleh perusahaan menjadi visa kerja selama enam bulan.
“Setelah mengetahui hal itu, korban menghubungi pihak politeknik untuk dikembalikan, namun korban justru diancam pihak politeknik jika kerjasama politeknik dengan perusahaan Jepang putus, maka korban akan dikeluarkan,” jelasnya .
Berdasarkan hasil investigasi, ditemukan bahwa politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses magang di luar negeri. Sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: per.08/men/v/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri.
Adapun politeknik dalam melaksanakan program magang juga belum memiliki kurikulum magang di luar negeri. Kemudian menjalin kerjasama dengan pihak asing dalam hal ini perusahaan di Tokyo, Jepang, tanpa sepengetahuan KBRI Tokyo.
Ia juga mengatakan, ada sejumlah keuntungan yang didapat dari kejahatan yang dilakukan G dan EH, yakni dua program dari akreditasi B menjadi akreditasi A. Kemudian, untuk salah satu politeknik di Sumatera yang mendapatkan akreditasi B. “Semakin banyak. mahasiswa baru
masuk salah satu politeknik di Sumatera karena program magang ke Jepang yang sebelumnya untuk supporter di bawah 1.000 orang, tetapi ketika dipimpin oleh G menjadi 1.200 menjadi 1.400 orang,” ujar Djuhandhani.
Manfaat lainnya, G pergi ke Jepang untuk melihat perusahaan tempat mahasiswa magang menggunakan dana sumbangan mahasiswa. Dana iuran yang dibebankan kepada mahasiswa magang asing juga digunakan untuk membayar biaya lainnya.
Djuhandhani detail, dana iuran digunakan untuk supervisi ke Jepang, biaya pengurusan visa Jepang di Medan, seleksi mahasiswa, pengiriman surat dari mahasiswa yang telah lulus ke Jepang, transportasi untuk penandatanganan MoU dan LoA dengan pimpinan perusahaan di Jakarta 1 kali pada tahun 2017.
Selanjutnya biaya pelatihan traktor sebagai bekal, dan biaya kursus bahasa Jepang tahun 2013-2018, biaya konsumsi untuk kedatangan pimpinan perusahaan Shimota, dan biaya transport siswa ke bandara Padang , serta menjemput mereka saat kembali ke Indonesia.
“Hingga Januari 2021 masih terdapat saldo penerimaan dana iuran sebesar Rp238.676.000,00, namun pembebanan dana iuran kepada mahasiswa magang asing belum memiliki landasan hukum,” ujarnya.
Tindak pidana perdagangan manusia dengan mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang telah dilakukan sejak tahun 2012. Dua mantan direktur politeknik G dan EH telah ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka terjerat dalam Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara dan denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Kemudian, Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, minimal 3 tahun penjara dan denda minimal Rp 120 juta dan maksimal Rp .600 juta
Berita inii jjuga telah tayang di Antaranews . com dengan judul: Polri Ungkap Modus BaruTPPO Melalui Program Magang Mahasiswa ke Jepang