Makassar (ANTARA) - Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Makassar, Kemenkumham Sulsel menggelar diseminasi dan implikasi pernikahan antara pengungsi luar negeri dengan Warga Negara Indonesia (WNI).
Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulsel, Jaya Saputra di Makassar, Rabu, mengatakan, menikah dan berketurunan merupakan salah satu hak dari sepuluh hak dasar yang dijamin oleh Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
"Oleh karena itu kegiatan diseminasi ini bukan bertujuan melarang perkawinan antara pengungsi luar negeri dengan WNI, namun melakukan edukasi ke masyarakat terkait dampak dari perkawinan itu," ujarnya.
Jaya Saputra mengatakan masyarakat perlu diberikan pemahaman akan dampak dari perkawinan beda kewarganegaraan tersebut.
Ia menyatakan perkawinan antara WNI dengan pengungsi hanya sah secara agama, namun tidak secara hukum, karena perkawinan tersebut tidak tercatat dan konsekuensinya adalah perkawinan tersebut dianggap tidak ada secara hukum.
"Menjadi dosa bagi kita apabila tidak mengingatkan masyarakat terkait konsekuensi dari pernikahan tersebut, karena itu menjadi tanggung jawab kita untuk memberikan edukasi ke masyarakat," katanya.
Kepala Rudenim Makassar Atang Kuswana dalam paparannya mengatakan saat ini dari 986 pengungsi luar negeri yang bermukim di Kota Makassar, tercatat 15 pengungsi yang melakukan perkawinan dan memiliki keturunan dengan masyarakat lokal.
"Dalam diseminasi ini pesertanya terdiri dari unsur kecamatan dan kelurahan yang wilayah kerjanya meliputi tempat penampungan pengungsi agar dapat memberikan edukasi ke masyarakat, karena apabila terjadi perkawinan beda kewarganegaraan," ujar Atang.
Ketua Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Satgas PPLN) Kota Makassar yang juga Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Makassar Bukti Djufrie mengapresiasi kegiatan yang dilakukan oleh Rudenim Makassar.
Ia berharap respons positif dari semua instansi, utamanya dari pihak yang bersentuhan langsung dengan masyarakat lokal.