Makassar (ANTARA) - Secercah harapan tumbuh dari Pulau Sabutung, Desa Mattiro Kanja, Kecamatan Liukang Tupabiring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Pulau itu adalah salah satu dari 115 pulau, dengan 73 pulau di antaranya berpenghuni. Warga di Pulau Sabutung hidup berdampingan langsung dengan dampak perubahan iklim.
Cuaca kian sulit ditebak, gelombang makin tinggi, dan hasil laut tak lagi menentu. Namun di ratusan pulau yang tersebar di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan itu, perempuan tidak berdiam diri. Mereka belajar beradaptasi dengan kondisi yang serba sulit, meski diakui itu tidaklah mudah. Semangat untuk bangkit, seusai pandemi COVID-19 dan harus berhadapan dengan dampak perubahan iklim, lambat laun terus bertumbuh.
Apalagi dengan masuknya pendampingan dari Yayasan Kajian Pemberdayaan Masyarakat (YKPM) bersama Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, para perempuan di 10 pulau, diantaranya Pulau Sabutung, Saugi, Layya, dan Kulambing, muncul kepercayaan diri untuk berdaya membantu para suami yang melaut dengan hasil yang tak menentu.
Menurut Tim Advokasi dan Pengorganisasian YKPM Nurhayati, yang dihadapi perempuan dan anak-anak di pulau sangat kompleks, mulai dari persoalan stunting, kemiskinan berkepanjangan, putus sekolah dan pernikahan anak.
Kondisi itu kerap memicu angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, bahkan juga angka perceraian yang membuat semua persoalan itu seperti "lingkaran setan".
Persoalan internal itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri, ditambah dengan persoalan eksternal, berupa dampak perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan permukaan air laut yang memicu terjadinya banjir rob.
Hal itu diakui salah seorang warga Pulau Sabutung, Sabariah (42). Dia mengatakan, ibu-ibu di pulau membuat tanggul-tanggul darurat dari pasir yang dimasukkan di karung, kemudian disusun di pinggir pulau, tepat di belakang rumahnya.
Saat kondisi cuaca ekstrem, dengan gelombang tinggi yang dipicu angin kencang, air laut bisa masuk hingga dapur warga. Bahkan, ketika bersamaan dengan bulan purnama, banjir rob akan menjadi ancaman bagi masyarakat pulau di Pangkajene Kepulauan.
Tahun lalu, saat musim hujan, lanjut dia, banjir sampai ke tengah pulau, yang sebelumnya hanya rumah-rumah di pinggir pulau saja yang banjir.
Kabid Pembangunan Kawasan Perdesaan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Iqra mengatakan, mitigasi bencana di desa, termasuk kepulauan, menjadi prioritas dari program desa yang menggunakan Anggaran Dana Desa (ADD). Pada 2025 terdapat Rp25 miliar ADD yang sebagian besar dialokasikan untuk program PKK dan mitigasi perubahan iklim.
Karena itu, DPMD bersama dinas atau instansi terkait di Pangkajene dan Kepulauan bersama-sama melakukan pendampingan di lapangan, mulai dari mitigasi bencana, hingga program pemberdayaan masyarakat, dengan menyasar warga pulau, khususnya kalangan ibu-ibu nelayan.
Selain itu, juga mendorong desa-desa kepulauan untuk mandiri. Setidaknya dari 65 desa di Pangkajene dan Kepulauan sudah ada 18 desa yang berstatus Desa Mandiri.

Buktikan ketangguhan
Meskipun selalu didera persoalan sosial dan ancaman ekologis yang terus meningkat, perempuan di Pulau Sabutung dan pulau-pulau di sekitarnya mencoba membangun ketangguhan dengan bergotong-royong menghadapi banjir rob.
Selain itu, memastikan anak-anak tetap bersekolah saat cuaca buruk, mengatur pangan di tengah menipisnya hasil laut dan mengambil alih peran ketika pendapatan nelayan menurun.
Seperti Sahariah Daeng Kerra (41), selain memiliki warung kelontong, dia juga membuat ikan asin dari sisa ikan yang tidak terjual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan atau Kota Makassar.
Ikan bete-bete yang sudah diasinkan dan dijemur itu, kemudian dijual di pasar atau kepada pengunjung pulau seharga Rp25 ribu per ember kecil atau setara 1,5 kilogram.
Dari hasil penjualan ikan asin dan warung kelontongnya, Sahariah yang juga orang tua tunggal ini dapat menyekolahkan ketiga anaknya dan seorang di antaranya sudah sarjana.
Sementara anak-anaknya bersama anak-anak nelayan lainnya tumbuh sebagai generasi yang mewarisi kearifan adaptasi. Mereka belajar membaca angin, gelombang, dan tanda-tanda cuaca lebih peka dibanding anak-anak di daratan. Secara tidak langsung anak-anak pulau menjadi generasi yang dipaksa matang oleh krisis iklim.
Bupati Pangkajene dan Kepulauan H Muhammad Yusran Lalogau menjelaskan intervensi pada masyarakat di kepulauan sudah dilakukan, hanya saja karena keterbatasan anggaran belum semua dapat terpenuhi, seperti pembangunan tanggul pemecah ombak, sarana sanitasi dan listrik yang memadai.
Meskipun demikian, setidaknya sudah ada bentuk bantuan sarana air bersih, misalnya pengadaan air siap minum (arsinum) yang dibantu oleh Pemprov Sulsel, layanan puskesmas terapung dari pemkab dan sebagainya.
Hanya saja, rasio bantuan tersebut masih jauh dari jumlah ratusan pulau di Pangkajene dan Kepulauan yang dihuni separuh dari total 360.004 jiwa, berdasarkan data BPS Sulsel 2024. .
Potret kondisi perempuan dan anak-anak di Pulau Sabutung tersebut, mewakili kondisi warga pulau pada umumnya di Indonesia. Perempuan dan anak berdiri di garis depan perubahan iklim. Sementara kaum lelaki juga bertaruh nyawa di laut lepas yang semakin ganas, sebagai dampak perubahan iklim.
Itu semua bukan pilihan, tetapi mereka harus memastikan keluarganya tetap bisa bertahan hidup.
Mencermati fenomena itu, wajar jika Indonesia ingin menang melawan perubahan iklim, maka suara perempuan di pesisir dan kepulauan harus menjadi pusat kebijakan.
Alasannya, karena ketangguhan iklim Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari tangan-tangan perempuan yang berperan penting memperjuangkan masa depan anak-anak pulau yang merupakan generasi penerus bangsa.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bertahan di garis depan perubahan iklim

