(Telaah) - Anak jalanan di "Kota Ramah Anak"
Makassar (Antaranews Sulsel) - Kota Makassar sebagai pintu gerbang Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan menjadi salah satu dari lima kota besar di Indonesia, kini dihadapkan dengan status "Kota Ramah Anak" yang bertentangan dengan fenomena anak turun ke jalan yang terus bertambah.
Persoalan anak jalanan ini, hanya satu dari sekian banyak persoalan yang menyangkut kehidupan anak di kota berjulukan "Anging Mammiri" ini, namun yang dapat terangkat ke ruang publik dan diselesaikan secara kelembagaan masih sangat kecil dan jauh dari harapan.
Anak jalanan yang berusia tiga hingga 17 tahun muncul dari masalah turunan ekonomi dan kemiskinan. Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat masyarakat miskin, semakin terpinggirkan dan terjepit, akhirnya mereka mencari solusi sendiri untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
Salah satu solusi itu adalah membiarkan anak-anak mereka untuk mengais rezeki di jalanan dengan mengamen, mengemis, menjual koran, menjadi polisi pak ogah ataupun dibuatkan drama tidur di pinggir jalan beralaskan karton bekas untuk mendapatkan belas kasihan.
Persoalan anak ini bukan hal sepele, ini terbukti dengan penerbitan Peraturan daerah (Perda) Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di Kota Makassar pada masa pemerintahan Wali Kota Makassar H Ilham Arief Sirajuddin.
Ketika itu dilakukan untuk menyikapi dampak dari krisis ekonomi tahun 1998 dan krisis ekonomi II pada 2008 yang melanda Indonesia dan berdampak ke seluruh daerah.
Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Sulsel, jumlah anak jalanan di Kota Makassar pada periode 1997 - 1998 tercatat 500 orang lalu meningkat menjadi 2.300 orang pada 2005.
Sementara data Dinas Sosial Kota Makassar pada 2009 mencatat 870 anak jalanan dan pada 2011 jumlahnya naik menjadi 918 orang.
Keberadaaan anak jalanan yang semakin bertambah dari tahun ke tahun tentu menjadi problem pemerintah kota. Terlebih lagi pada momen menjelang Hari Raya Idul Fitri, jumlah anak jalan dan pengemis mengalami peningkatan sekitar 60 persen dari kondisi normal.
Kendati kini Dinas Sosial Kota Makassar mengklaim jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), khususnya anak jalanan dan gelandangan pengemis mengalami penurunan drastis 2018, namun Pemerintah Kota Makassar yang dinakhodai H Ramdhan Pomanto tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi persoalan anak jalanan itu karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM).
Menurut Kepala Dinas Sosial Makassar Muchtar Tahir, penurunan anak jalanan ini karena peran Tim Reaksi Cepat (TRC) Saribattang yang secara intens menggelar patroli dan razia di sejumlah titik yang menjadi tempat komunitas anak jalanan.
Data Dinas Sosial Kota Makassar melansir sejak Januari hingga Agustus 2018 terdapat 236 orang anak jalanan yang terjaring TRC Saribattang. Dari jumlah tersebut terdapat 163 orang anak jalanan dan 72 Gepeng.
Kondisi itu jauh berbeda pada 2017 yang dibawah koordinasi Dinas Sosial Kota Makassar menjaring 579 orang yang 332 orang diantaranya adalah anak jalanan.
Jumlah anak yang terjaring di jalanan ini kemudian dikembalikan ke orang tuanya, tidak ada jaminan bahwa anak tersebut tidak turun ke jalan lagi atau dapat kembali bersekolah dan hidup seperti anak-anak lainnya yang mendapatkan pendidikan dan hidup berkecukupan.
Pasalnya, selain keterbatasan SDM di lapangan, juga dana yang tersedia untuk menangani masalah anak jalanan, hanya sekitar dua persen atau sekitar Rp500 juta per tahun dari total dana yang dibutuhkan.
Sebenarnya persoalan itu sudah kerap kali diupayakan solusinya, seperti pembentukan rumah singgah yang dibina oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Setidaknya terdapat 30 rumah singgah yang tersebar di Kota Makassar sejak 2000.
Program bantuan dana miliaran rupiah dari program pembangunan PBB (UNDP) dan Bank Dunia yang bekerjasama dengan LSM pasca krisis ekonomi I dan II melanda Indonesia, diharapkan dapat meminimalisasi angka anak jalanan.
Namun kenyataannya, program itu tidak mampu membendung anak jalan kembali turun ke jalan.
Ketika program berjalan, rumah singgah memiliki banyak kegiatan, seperti pembinaan mental, pemberantasan buta aksara, pemberian keterampilan, modal kerja, hingga pemberian makanan tambahan.
Tetapi begitu program berakhir, anak-anak yang sudah dibina di rumah singgah itu kembali turun ke jalan.
Menurut salah seorang anak jalan di Kota Makassar Wandi, ia bersama teman-temannya kembali ke jalan karena rumah singgah kurang antusias membina setelah program bantuan selesai. Di samping itu, modal usaha yang diberikan sangat terbatas.
Sementara itu, implementasi kebijakan Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan dari segi subtansi hukum, belum mengatur secara jelas dan terperinci tentang pemenuhan hak-hak dasar anak yang diamanahkan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak tersebut tertuang dalam 10 hak dasar anak diantaranya hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh ketenangan hidup untuk tumbuh, berkembang dan beradaptasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, akan tetapi Perda ini secara subtansi lebih terfokus pada larangan pada anak jalanan untuk berkeliaran di jalan.
Kondisi itu harus berhadapan dengan penyebab anak turun ke jalan seperti faktor ekonomi/kemiskinan, mental, dorongan orang tua, pendidikan yang rendah dan lingkungan sosial.
Semua serpihan-serpihan permasalahan itu harus disatukan dan dicarikan solusinya dengan bijak. Pemerintah kota harus mengandeng para pemangku kepentigan untuk bersama-sama mewujudkan Kota Makassar sebagai "Kota Ramah Anak", bukan hanya slogan.
Persoalan anak jalanan ini, hanya satu dari sekian banyak persoalan yang menyangkut kehidupan anak di kota berjulukan "Anging Mammiri" ini, namun yang dapat terangkat ke ruang publik dan diselesaikan secara kelembagaan masih sangat kecil dan jauh dari harapan.
Anak jalanan yang berusia tiga hingga 17 tahun muncul dari masalah turunan ekonomi dan kemiskinan. Adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat masyarakat miskin, semakin terpinggirkan dan terjepit, akhirnya mereka mencari solusi sendiri untuk memperbaiki ekonomi keluarga.
Salah satu solusi itu adalah membiarkan anak-anak mereka untuk mengais rezeki di jalanan dengan mengamen, mengemis, menjual koran, menjadi polisi pak ogah ataupun dibuatkan drama tidur di pinggir jalan beralaskan karton bekas untuk mendapatkan belas kasihan.
Persoalan anak ini bukan hal sepele, ini terbukti dengan penerbitan Peraturan daerah (Perda) Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen di Kota Makassar pada masa pemerintahan Wali Kota Makassar H Ilham Arief Sirajuddin.
Ketika itu dilakukan untuk menyikapi dampak dari krisis ekonomi tahun 1998 dan krisis ekonomi II pada 2008 yang melanda Indonesia dan berdampak ke seluruh daerah.
Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Sulsel, jumlah anak jalanan di Kota Makassar pada periode 1997 - 1998 tercatat 500 orang lalu meningkat menjadi 2.300 orang pada 2005.
Sementara data Dinas Sosial Kota Makassar pada 2009 mencatat 870 anak jalanan dan pada 2011 jumlahnya naik menjadi 918 orang.
Keberadaaan anak jalanan yang semakin bertambah dari tahun ke tahun tentu menjadi problem pemerintah kota. Terlebih lagi pada momen menjelang Hari Raya Idul Fitri, jumlah anak jalan dan pengemis mengalami peningkatan sekitar 60 persen dari kondisi normal.
Kendati kini Dinas Sosial Kota Makassar mengklaim jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), khususnya anak jalanan dan gelandangan pengemis mengalami penurunan drastis 2018, namun Pemerintah Kota Makassar yang dinakhodai H Ramdhan Pomanto tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi persoalan anak jalanan itu karena keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM).
Menurut Kepala Dinas Sosial Makassar Muchtar Tahir, penurunan anak jalanan ini karena peran Tim Reaksi Cepat (TRC) Saribattang yang secara intens menggelar patroli dan razia di sejumlah titik yang menjadi tempat komunitas anak jalanan.
Data Dinas Sosial Kota Makassar melansir sejak Januari hingga Agustus 2018 terdapat 236 orang anak jalanan yang terjaring TRC Saribattang. Dari jumlah tersebut terdapat 163 orang anak jalanan dan 72 Gepeng.
Kondisi itu jauh berbeda pada 2017 yang dibawah koordinasi Dinas Sosial Kota Makassar menjaring 579 orang yang 332 orang diantaranya adalah anak jalanan.
Jumlah anak yang terjaring di jalanan ini kemudian dikembalikan ke orang tuanya, tidak ada jaminan bahwa anak tersebut tidak turun ke jalan lagi atau dapat kembali bersekolah dan hidup seperti anak-anak lainnya yang mendapatkan pendidikan dan hidup berkecukupan.
Pasalnya, selain keterbatasan SDM di lapangan, juga dana yang tersedia untuk menangani masalah anak jalanan, hanya sekitar dua persen atau sekitar Rp500 juta per tahun dari total dana yang dibutuhkan.
Sebenarnya persoalan itu sudah kerap kali diupayakan solusinya, seperti pembentukan rumah singgah yang dibina oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Setidaknya terdapat 30 rumah singgah yang tersebar di Kota Makassar sejak 2000.
Program bantuan dana miliaran rupiah dari program pembangunan PBB (UNDP) dan Bank Dunia yang bekerjasama dengan LSM pasca krisis ekonomi I dan II melanda Indonesia, diharapkan dapat meminimalisasi angka anak jalanan.
Namun kenyataannya, program itu tidak mampu membendung anak jalan kembali turun ke jalan.
Ketika program berjalan, rumah singgah memiliki banyak kegiatan, seperti pembinaan mental, pemberantasan buta aksara, pemberian keterampilan, modal kerja, hingga pemberian makanan tambahan.
Tetapi begitu program berakhir, anak-anak yang sudah dibina di rumah singgah itu kembali turun ke jalan.
Menurut salah seorang anak jalan di Kota Makassar Wandi, ia bersama teman-temannya kembali ke jalan karena rumah singgah kurang antusias membina setelah program bantuan selesai. Di samping itu, modal usaha yang diberikan sangat terbatas.
Sementara itu, implementasi kebijakan Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang pembinaan anak jalanan dari segi subtansi hukum, belum mengatur secara jelas dan terperinci tentang pemenuhan hak-hak dasar anak yang diamanahkan dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan anak tersebut tertuang dalam 10 hak dasar anak diantaranya hak memperoleh pendidikan, hak memperoleh ketenangan hidup untuk tumbuh, berkembang dan beradaptasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, akan tetapi Perda ini secara subtansi lebih terfokus pada larangan pada anak jalanan untuk berkeliaran di jalan.
Kondisi itu harus berhadapan dengan penyebab anak turun ke jalan seperti faktor ekonomi/kemiskinan, mental, dorongan orang tua, pendidikan yang rendah dan lingkungan sosial.
Semua serpihan-serpihan permasalahan itu harus disatukan dan dicarikan solusinya dengan bijak. Pemerintah kota harus mengandeng para pemangku kepentigan untuk bersama-sama mewujudkan Kota Makassar sebagai "Kota Ramah Anak", bukan hanya slogan.