Geliat demokrasi di perbatasan Indonesia-Malaysia
Pontianak (ANTARA) - Apakah pemilu mengerikan?
"Tidak, biasa saja, ini pesta demokrasi, kalau sudah selesai, ya kembali lagi biasa saja," kata Leijen (49), warga Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Jagoi Babang merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Leijen bekerja sebagai tukang ojek. Ia bersama 71 orang warga setempat membentuk Persatuan Ojek Desa Jagoi Babang. Para tukang ojek ini mengantar pedagang asal Indonesia yang berjualan di Pasar Serikin, Sarawak. Pasar Serikin dikenal hingga kawasan Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam, Sabah, sebagai pasar akhir pekan dengan harga murah.
Setiap Jumat hingga Sabtu, pasar yang sudah puluhan tahun berdiri ini dipadati pengunjung. Sekitar 500 pedagang yang membuka lapak di pasar tersebut, hampir semuanya berasal dari Indonesia. Ada yang dari sekitar kawasan perbatasan, seperti Jagoi Babang, Seluas (Kabupaten Bengkayang), Sijangkung dan Sambas (Kabupaten Sambas), hingga Kota Pontianak, maupun dari luar Kalbar.
Leijen dan para anggota Persatuan Tukang Ojek Desa Jagoi Babang inilah yang membawa para pedagang atau barang dagangan yang hendak dijual di Pasar Serikin. Tempat mangkal para tukang ojek ini benar-benar berada di tepian batas negara. Jarak dari batas negara Indonesia dengan Malaysia tak sampai 10 meter.
Selama ini, bentuk perdagangan di Jagoi Babang dengan Serikin masih bersifat tradisional. Pedagang asal Indonesia yang membawa mobil, parkir di Jagoi Babang. Lalu Leijen dan kawan-kawannya membonceng pedagang tersebut ke Pasar Serikin. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari titik nol Indonesia-Malaysia. Mobil asal Indonesia tidak boleh masuk, kecuali dalam hal yang sifatnya khusus dan mendesak.
Tidak hanya orang, barang dagangan pun mereka bawa. Kalau pedagang tersebut selesai berjualan, mereka menggunakan ojek dari Pasar Serikin yang dimiliki warga Malaysia.
Kembali ke pemilu dan demokrasi, Leijen yang sudah puluhan tahun tinggal di perbatasan, menyadari bahwa Jagoi Babang, secara khusus, sangat jauh tertinggal dibanding keadaan Serikin di jiran, yakni dalam hal infrastruktur, pelayanan publik, ekonomi. "Kami ingin seperti di seberang (Serikin)," kata dia.
Harapan di pemilu
Melalui pemilu, sebenarnya ada harapan untuk mengubah perbatasan sebagai beranda Negara. Selama ini, beranda negara selalu tertinggal dalam segala hal. Tanpa bermaksud mendukung siapapun, namun Leijen merasakan adanya perubahan dalam konsep pembangunan di perbatasan.
Ia dan warga perbatasan mulai menikmati pembangunan infrastruktur yang cukup massif. Belum lagi rencana pembangunan Pos Lintas Batas Negara di Jagoi Babang. Ia membandingkan Pos Lintas Batas Negara di Entikong (Sanggau), Aruk (Sambas), dan Badau (Kapuas Hulu) yang kini sudah jauh lebih baik dibanding yang dikelola Malaysia.
Jimer (58) yang sejak lahir menetap di Desa Jagoi Babang mengakui adanya perubahan yang dirasakan sejak beberapa tahun terakhir. “Orang dari Aruk, Sungkung, Sebujit, yang dari dalam-dalam sana sudah datang untuk belanja, beli barang (di Jagoi Babang). Kalau dulu-dulu mana mau datang,” kata perempuan yang sehari-hari berjualan barang bekas itu.
Daerah-daerah yang ia sebut letaknya di kawasan perbatasan. Sungkung misalnya, berada di atas pegunungan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalbar. Butuh waktu beberapa hari bagi warga Sungkung untuk tiba di Jagoi Babang karena tidak tersedia jalan. Atau Sebujit, yang berjarak sekitar 15 kilometer, namun tidak ada akses jalan darat.
Kini, dua daerah tersebut sudah mulai terbuka setelah adanya jalan paralel perbatasan. "Dulu mana tahu, mau ke gunung atau mau kemana," kata Jimer lagi.
Ia pun berharap agar pelaksanaan pemilu berjalan aman, damai, dan tidak ada huru hara. "Biarpun beda pilihan, tapi agama tetap masing-masing," ujar dia.
Ia juga menyebut tidak ada paksaan untuk memilih partai, calon presiden atau calon legislatif tertentu.
Gunakan tanpa tekanan
Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Gustian Andiwinata menuturkan, yang diharapkan masyarakat dari pelaksanaan pemilu adalah mereka dapat menyalurkan hak pilihnya dengan aman, tentram tanpa keributan.
"Sebagai dewan adat, kami ingin masyarakat dapat diayomi dengan baik," katanya.
Ia menegaskan bahwa kehebohan menjelang pemilu, baik yang muncul di media sosial maupun media online, tidak terlalu memengaruhi masyarakat di perbatasan.
Gustian yakin karena bagi masyarakat perbatasan yang terpenting adalah apa yang sudah mereka rasakan, bukan sebaran informasi yang akurasinya masih dipertanyakan.
Ia menambahkan, masyarakat juga sudah punya pilihan untuk calon presiden mendatang, sehingga informasi apapun sulit mengubah keyakinan tersebut.
"Masyarakat juga dapat menggunakan hak pilih tanpa ada tekanan atau intimidasi apapun," katanya menegaskan.
Leijen, pengojek di tapal batas itu punya harapan pula, agar ada keterwakilan warga Jagoi Babang untuk duduk di kursi legislatif. Tujuannya agar aspirasi warga setempat dapat lebih tersuarakan oleh wakilnya. Ia menyambut baik upaya penyelenggara pemilu dalam menyosialisasikan tahapan maupun surat suara saat pencoblosan nanti.
Menurut dia, surat suara yang akan digunakan untuk calon legislatif tidak lagi menggunakan foto. Ini agak menyulitkan pemilih, termasuk yang berasal dari daerah perdalaman dan tidak tahu baca tulis, untuk menentukan siapa yang akan dicoblos.
Harapan Leijen, PLBN Jagoi Babang benar-benar terealisasi dan masyarakat mendapatkan manfaatnya. Selain fisik, pembangunan sumber daya manusia di sekitar PLBN Jagoi Babang juga penting. Tujuan akhir pembangunan PLBN untuk menyejahterakan masyarakat dapat terwujud. Itulah harapan dari demokrasi di Indonesia.
"Tidak, biasa saja, ini pesta demokrasi, kalau sudah selesai, ya kembali lagi biasa saja," kata Leijen (49), warga Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Jagoi Babang merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Leijen bekerja sebagai tukang ojek. Ia bersama 71 orang warga setempat membentuk Persatuan Ojek Desa Jagoi Babang. Para tukang ojek ini mengantar pedagang asal Indonesia yang berjualan di Pasar Serikin, Sarawak. Pasar Serikin dikenal hingga kawasan Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam, Sabah, sebagai pasar akhir pekan dengan harga murah.
Setiap Jumat hingga Sabtu, pasar yang sudah puluhan tahun berdiri ini dipadati pengunjung. Sekitar 500 pedagang yang membuka lapak di pasar tersebut, hampir semuanya berasal dari Indonesia. Ada yang dari sekitar kawasan perbatasan, seperti Jagoi Babang, Seluas (Kabupaten Bengkayang), Sijangkung dan Sambas (Kabupaten Sambas), hingga Kota Pontianak, maupun dari luar Kalbar.
Leijen dan para anggota Persatuan Tukang Ojek Desa Jagoi Babang inilah yang membawa para pedagang atau barang dagangan yang hendak dijual di Pasar Serikin. Tempat mangkal para tukang ojek ini benar-benar berada di tepian batas negara. Jarak dari batas negara Indonesia dengan Malaysia tak sampai 10 meter.
Selama ini, bentuk perdagangan di Jagoi Babang dengan Serikin masih bersifat tradisional. Pedagang asal Indonesia yang membawa mobil, parkir di Jagoi Babang. Lalu Leijen dan kawan-kawannya membonceng pedagang tersebut ke Pasar Serikin. Jaraknya sekitar tiga kilometer dari titik nol Indonesia-Malaysia. Mobil asal Indonesia tidak boleh masuk, kecuali dalam hal yang sifatnya khusus dan mendesak.
Tidak hanya orang, barang dagangan pun mereka bawa. Kalau pedagang tersebut selesai berjualan, mereka menggunakan ojek dari Pasar Serikin yang dimiliki warga Malaysia.
Kembali ke pemilu dan demokrasi, Leijen yang sudah puluhan tahun tinggal di perbatasan, menyadari bahwa Jagoi Babang, secara khusus, sangat jauh tertinggal dibanding keadaan Serikin di jiran, yakni dalam hal infrastruktur, pelayanan publik, ekonomi. "Kami ingin seperti di seberang (Serikin)," kata dia.
Harapan di pemilu
Melalui pemilu, sebenarnya ada harapan untuk mengubah perbatasan sebagai beranda Negara. Selama ini, beranda negara selalu tertinggal dalam segala hal. Tanpa bermaksud mendukung siapapun, namun Leijen merasakan adanya perubahan dalam konsep pembangunan di perbatasan.
Ia dan warga perbatasan mulai menikmati pembangunan infrastruktur yang cukup massif. Belum lagi rencana pembangunan Pos Lintas Batas Negara di Jagoi Babang. Ia membandingkan Pos Lintas Batas Negara di Entikong (Sanggau), Aruk (Sambas), dan Badau (Kapuas Hulu) yang kini sudah jauh lebih baik dibanding yang dikelola Malaysia.
Jimer (58) yang sejak lahir menetap di Desa Jagoi Babang mengakui adanya perubahan yang dirasakan sejak beberapa tahun terakhir. “Orang dari Aruk, Sungkung, Sebujit, yang dari dalam-dalam sana sudah datang untuk belanja, beli barang (di Jagoi Babang). Kalau dulu-dulu mana mau datang,” kata perempuan yang sehari-hari berjualan barang bekas itu.
Daerah-daerah yang ia sebut letaknya di kawasan perbatasan. Sungkung misalnya, berada di atas pegunungan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Provinsi Kalbar. Butuh waktu beberapa hari bagi warga Sungkung untuk tiba di Jagoi Babang karena tidak tersedia jalan. Atau Sebujit, yang berjarak sekitar 15 kilometer, namun tidak ada akses jalan darat.
Kini, dua daerah tersebut sudah mulai terbuka setelah adanya jalan paralel perbatasan. "Dulu mana tahu, mau ke gunung atau mau kemana," kata Jimer lagi.
Ia pun berharap agar pelaksanaan pemilu berjalan aman, damai, dan tidak ada huru hara. "Biarpun beda pilihan, tapi agama tetap masing-masing," ujar dia.
Ia juga menyebut tidak ada paksaan untuk memilih partai, calon presiden atau calon legislatif tertentu.
Gunakan tanpa tekanan
Ketua Dewan Adat Dayak Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Gustian Andiwinata menuturkan, yang diharapkan masyarakat dari pelaksanaan pemilu adalah mereka dapat menyalurkan hak pilihnya dengan aman, tentram tanpa keributan.
"Sebagai dewan adat, kami ingin masyarakat dapat diayomi dengan baik," katanya.
Ia menegaskan bahwa kehebohan menjelang pemilu, baik yang muncul di media sosial maupun media online, tidak terlalu memengaruhi masyarakat di perbatasan.
Gustian yakin karena bagi masyarakat perbatasan yang terpenting adalah apa yang sudah mereka rasakan, bukan sebaran informasi yang akurasinya masih dipertanyakan.
Ia menambahkan, masyarakat juga sudah punya pilihan untuk calon presiden mendatang, sehingga informasi apapun sulit mengubah keyakinan tersebut.
"Masyarakat juga dapat menggunakan hak pilih tanpa ada tekanan atau intimidasi apapun," katanya menegaskan.
Leijen, pengojek di tapal batas itu punya harapan pula, agar ada keterwakilan warga Jagoi Babang untuk duduk di kursi legislatif. Tujuannya agar aspirasi warga setempat dapat lebih tersuarakan oleh wakilnya. Ia menyambut baik upaya penyelenggara pemilu dalam menyosialisasikan tahapan maupun surat suara saat pencoblosan nanti.
Menurut dia, surat suara yang akan digunakan untuk calon legislatif tidak lagi menggunakan foto. Ini agak menyulitkan pemilih, termasuk yang berasal dari daerah perdalaman dan tidak tahu baca tulis, untuk menentukan siapa yang akan dicoblos.
Harapan Leijen, PLBN Jagoi Babang benar-benar terealisasi dan masyarakat mendapatkan manfaatnya. Selain fisik, pembangunan sumber daya manusia di sekitar PLBN Jagoi Babang juga penting. Tujuan akhir pembangunan PLBN untuk menyejahterakan masyarakat dapat terwujud. Itulah harapan dari demokrasi di Indonesia.