Kisah Haji dan Kurban orang-orang China (Bagian 1)
Beijing (ANTARA) - Tidak hanya umat Islam di Indonesia yang harus mengantre bertahun-tahun untuk bisa menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.
Umat Islam di China juga mengalami hal serupa untuk bisa melaksanakan rukun Islam yang kelima itu, meskipun masa tunggunya tidak sebegitu lama umat Islam di Indonesia.
"Tetap harus antre," tutur Guang Gong Fa mengawali perbincangannya dengan Antara di Masjid Niujie, Beijing, pada 27 Juli 2019.
Pria berusia 63 tahun dari Provinsi Qinghai itu sudah lama mendambakan bisa berangkat ke Tanah Suci. Namun sampai saat ini belum mendapatkan kepastian waktu.
"Mudah-mudahan tahun depan saya bisa berangkat," ucapnya sambil menunggu azan ashar di beranda masjid kuno yang dibangun pada tahun 996 Masehi itu.
Pria yang mengenakan pakaian putih-putih itu mengaku sudah menyiapkan uang sebesar 50.000 RMB atau setara Rp105.000.000,- (1 RMB sama dengan sekitar Rp2.100) untuk biaya ibadah haji, termasuk seluruh biaya perjalanan menuju Tanah Suci dan kembali ke China.
Uang sebanyak itu tidak seberapa menurut Guang karena sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya agar bisa menjadi tamu Allah dan pulang menjadi haji mabrur seperti dambaan umat Islam lainnya di permukaan jagat raya ini.
Sebagai seorang muslim yang taat, ibadah haji tidak hanya sekadar kewajiban untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, namun bagi Guang juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, apalagi beberapa tetangganya di wilayah barat daya daratan Tiongkok itu sudah banyak yang pergi haji.
"Saya menunggu giliran saja," kata pria yang berprofesi sebagai pebisnis itu penuh kepasrahan.
Ia mengakhiri obrolan persis saat azan ashar dikumandangkan oleh seorang muazin yang berdiri di halaman utama masjid yang dibangun pada era Dinasti Liao itu.
Meskipun tanpa alat bantu pelantang, suara muazin itu cukup keras sehingga orang-orang yang sedari tadi duduk-duduk di koridor menunggu waktu ibadah, segera bergegas memasuki ruang utama Masjid Niujie.
Terkesan Haji Indonesia
Dibandingkan Guang, nasib Mao Yungling, seorang Muslim lainnya, lebih beruntung karena sudah pernah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci beberapa tahun yang lalu.
Bahkan pria berusia 76 tahun asal Kota Beijing itu mengaku sudah dua kali mendapatkan kesempatan menjalankan manasik tersebut.
Durasi perjalanannya hampir sama dengan jemaah haji reguler asal Indonesia. Jemaah haji asal China membutuhkan waktu sekitar 40 hari dan sudah termasuk perjalanan menuju Tanah Suci dan kembali ke berbagai kota di China.
Bagi jemaah haji asal Beijing dan kota-kota besar lainnya di wilayah utara, timur, selatan, dan tenggara daratan Tiongkok, biasanya penerbangan untuk ibadah haji dilakukan dengan transit selama beberapa waktu di Urumqi, Daerah Otonomi Xinjiang, guna keperluan pengisian bahan bakar minyak pesawat sebelum menuju ke Tanah Suci.
Mirip dengan di Indonesia, jamaah haji asal China pun biasanya menumpang pesawat carter yang berangkat dari berbagai kota.
Biayanya pun bervariasi dengan kisaran 40.000 RMB hingga 60.000 RMB (Rp84 juta - Rp126 juta), tergantung nilai tukar dan fasilitas yang didapat para jemaah haji.
Lain lagi dengan Bai Yu yang mengatakan mempunyai pengalaman tersendiri saat menjalani ibadah haji di Tanah Suci pada tujuh tahun silam.
"Saya sangat terkesan dengan jamaah haji dari Indonesia," ujar pria berusia 70 tahunan yang memiliki nama lain Nuha saat mengobrol dengan Antara di Masjid Changying, Beijing, belum lama ini.
Ia melihat jamaah haji asal Indonesia sangat kompak dan mudah diatur selama menjalani manasik, meskipun mayoritas dari mereka sudah berusia lanjut.
Saat menjalani manasik haji, jamaah Indonesia berbaris memanjang dan setiap anggota jamaah memegang pundak anggota yang ada di depannya.
"Kalau kami mau lewat, harus menunggu mereka dulu karena kami tidak bisa menerobos barisan mereka yang panjang," kesan Nuha terhadap jamaah haji asal Indonesia.
Ia bisa memaklumi hal itu karena jamaah haji asal Indonesia jumlahnya paling besar dibandingkan dengan jamaah dari negara-negara lain, termasuk China.
Menurut dia, model pengaturan yang diterapkan terhadap jamaah haji asal Indonesia itu layak ditiru karena sangat efektif menghindarkan para anggota jamaah haji tersesat di jalan atau terpisah dari rombongan.
"Betapa susahnya kalau tersesat di sana. Apalagi kalau sampai dialami orang yang sudah tua seperti saya ini," ujarnya menambahkan.
Selain Beijing, ada beberapa kota di China yang setiap tahun memberangkatkan calon jamaah haji dalam jumlah besar ke Tanah Suci, di antaranya Xi'an (Provinsi Shaanxi), Lanzhou (Provinsi Gansu), Kunming (Provinsi Yunnan), Daerah Otonomi Ningxia, dan Provinsi Qinghai.
Pada tahun 2018, China telah memberangkatkan 11.500 muslim ke Tanah Suci. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2017 sebanyak 12.800 orang dan tahun 2016 sebesar 14.500 orang.
Uniknya, pemerintah China membekali perangkat semacam GPS bagi setiap anggota jamaah haji asal China untuk memudahkan koordinasi di antara jamaah, selain itu juga berfungsi memudahkan pencarian anggota jamaah haji jika ada yang terpisah dari rombongan.
Sebelum bertolak menuju Tanah Suci, calon jamaah haji asal China itu juga telah mendapatkan pembekalan dari para imam dan pemuka lainnya tentang tata cara melaksanakan ibadah haji, termasuk juga orientasi mengenai penginapan yang bakal ditempatinya, berikut jarak ke tempat-tempat penting di Tanah Haram.
Pelatihan dan bimbingan manasik haji biasanya digelar di beberapa masjid di China. Masjid di China tidak hanya berupa ruang ibadah utama atau tempat bersuci, melainkan juga ada fasilitas lain seperti ruang pengajaran dan tempat kerja para imam dan takmir sekaligus ruang istirahat mereka. (Bersambung)
Umat Islam di China juga mengalami hal serupa untuk bisa melaksanakan rukun Islam yang kelima itu, meskipun masa tunggunya tidak sebegitu lama umat Islam di Indonesia.
"Tetap harus antre," tutur Guang Gong Fa mengawali perbincangannya dengan Antara di Masjid Niujie, Beijing, pada 27 Juli 2019.
Pria berusia 63 tahun dari Provinsi Qinghai itu sudah lama mendambakan bisa berangkat ke Tanah Suci. Namun sampai saat ini belum mendapatkan kepastian waktu.
"Mudah-mudahan tahun depan saya bisa berangkat," ucapnya sambil menunggu azan ashar di beranda masjid kuno yang dibangun pada tahun 996 Masehi itu.
Pria yang mengenakan pakaian putih-putih itu mengaku sudah menyiapkan uang sebesar 50.000 RMB atau setara Rp105.000.000,- (1 RMB sama dengan sekitar Rp2.100) untuk biaya ibadah haji, termasuk seluruh biaya perjalanan menuju Tanah Suci dan kembali ke China.
Uang sebanyak itu tidak seberapa menurut Guang karena sudah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya agar bisa menjadi tamu Allah dan pulang menjadi haji mabrur seperti dambaan umat Islam lainnya di permukaan jagat raya ini.
Sebagai seorang muslim yang taat, ibadah haji tidak hanya sekadar kewajiban untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, namun bagi Guang juga sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, apalagi beberapa tetangganya di wilayah barat daya daratan Tiongkok itu sudah banyak yang pergi haji.
"Saya menunggu giliran saja," kata pria yang berprofesi sebagai pebisnis itu penuh kepasrahan.
Ia mengakhiri obrolan persis saat azan ashar dikumandangkan oleh seorang muazin yang berdiri di halaman utama masjid yang dibangun pada era Dinasti Liao itu.
Meskipun tanpa alat bantu pelantang, suara muazin itu cukup keras sehingga orang-orang yang sedari tadi duduk-duduk di koridor menunggu waktu ibadah, segera bergegas memasuki ruang utama Masjid Niujie.
Terkesan Haji Indonesia
Dibandingkan Guang, nasib Mao Yungling, seorang Muslim lainnya, lebih beruntung karena sudah pernah menunaikan ibadah haji di Tanah Suci beberapa tahun yang lalu.
Bahkan pria berusia 76 tahun asal Kota Beijing itu mengaku sudah dua kali mendapatkan kesempatan menjalankan manasik tersebut.
Durasi perjalanannya hampir sama dengan jemaah haji reguler asal Indonesia. Jemaah haji asal China membutuhkan waktu sekitar 40 hari dan sudah termasuk perjalanan menuju Tanah Suci dan kembali ke berbagai kota di China.
Bagi jemaah haji asal Beijing dan kota-kota besar lainnya di wilayah utara, timur, selatan, dan tenggara daratan Tiongkok, biasanya penerbangan untuk ibadah haji dilakukan dengan transit selama beberapa waktu di Urumqi, Daerah Otonomi Xinjiang, guna keperluan pengisian bahan bakar minyak pesawat sebelum menuju ke Tanah Suci.
Mirip dengan di Indonesia, jamaah haji asal China pun biasanya menumpang pesawat carter yang berangkat dari berbagai kota.
Biayanya pun bervariasi dengan kisaran 40.000 RMB hingga 60.000 RMB (Rp84 juta - Rp126 juta), tergantung nilai tukar dan fasilitas yang didapat para jemaah haji.
Lain lagi dengan Bai Yu yang mengatakan mempunyai pengalaman tersendiri saat menjalani ibadah haji di Tanah Suci pada tujuh tahun silam.
"Saya sangat terkesan dengan jamaah haji dari Indonesia," ujar pria berusia 70 tahunan yang memiliki nama lain Nuha saat mengobrol dengan Antara di Masjid Changying, Beijing, belum lama ini.
Ia melihat jamaah haji asal Indonesia sangat kompak dan mudah diatur selama menjalani manasik, meskipun mayoritas dari mereka sudah berusia lanjut.
Saat menjalani manasik haji, jamaah Indonesia berbaris memanjang dan setiap anggota jamaah memegang pundak anggota yang ada di depannya.
"Kalau kami mau lewat, harus menunggu mereka dulu karena kami tidak bisa menerobos barisan mereka yang panjang," kesan Nuha terhadap jamaah haji asal Indonesia.
Ia bisa memaklumi hal itu karena jamaah haji asal Indonesia jumlahnya paling besar dibandingkan dengan jamaah dari negara-negara lain, termasuk China.
Menurut dia, model pengaturan yang diterapkan terhadap jamaah haji asal Indonesia itu layak ditiru karena sangat efektif menghindarkan para anggota jamaah haji tersesat di jalan atau terpisah dari rombongan.
"Betapa susahnya kalau tersesat di sana. Apalagi kalau sampai dialami orang yang sudah tua seperti saya ini," ujarnya menambahkan.
Selain Beijing, ada beberapa kota di China yang setiap tahun memberangkatkan calon jamaah haji dalam jumlah besar ke Tanah Suci, di antaranya Xi'an (Provinsi Shaanxi), Lanzhou (Provinsi Gansu), Kunming (Provinsi Yunnan), Daerah Otonomi Ningxia, dan Provinsi Qinghai.
Pada tahun 2018, China telah memberangkatkan 11.500 muslim ke Tanah Suci. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 2017 sebanyak 12.800 orang dan tahun 2016 sebesar 14.500 orang.
Uniknya, pemerintah China membekali perangkat semacam GPS bagi setiap anggota jamaah haji asal China untuk memudahkan koordinasi di antara jamaah, selain itu juga berfungsi memudahkan pencarian anggota jamaah haji jika ada yang terpisah dari rombongan.
Sebelum bertolak menuju Tanah Suci, calon jamaah haji asal China itu juga telah mendapatkan pembekalan dari para imam dan pemuka lainnya tentang tata cara melaksanakan ibadah haji, termasuk juga orientasi mengenai penginapan yang bakal ditempatinya, berikut jarak ke tempat-tempat penting di Tanah Haram.
Pelatihan dan bimbingan manasik haji biasanya digelar di beberapa masjid di China. Masjid di China tidak hanya berupa ruang ibadah utama atau tempat bersuci, melainkan juga ada fasilitas lain seperti ruang pengajaran dan tempat kerja para imam dan takmir sekaligus ruang istirahat mereka. (Bersambung)