Maros (ANTARA) - Terlahir sebagai keluarga petani, Sennari (43) hanya mewarisi keterampilan yang diturunkan dari orang tua dan lingkungannya. Apalagi tidak memiliki modal sekolah tinggi, warga Kelurahan Bontoa, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan harus rela menjalani hidupnya sebagai buruh tani.
"Sepeninggal kedua orang tua, saya tidak boleh menyerah untuk mempertahankan hidup di rumah gubuk reyot peninggalan ayahku," kata Sennari.
Segala pekerjaan berat dilakoninya, termasuk menjadi buruh tani saat musim panen tiba. Dengan membantu pemilik sawah memanen padinya, Sennari mendapatkan dua karung gabah sebagai upah.
Prinsip hidup bahwa apapun profesi yang digeluti sepanjang itu halal, baginya tidak ada masalah dan tak perlu malu.
Begitu pula dengan penampilan fisik rumah yang ditinggalinya. Rumah panggung dari kayu dengan atap sirap yang sudah ditinggali lebih 40 tahun. Wajar jika sudah mulai reyot termakan usia.
Dinding rumahnya pun penuh tambalan di sana-sini, sementara separuh atap rumah Sannari yang berbahan daun nipah sudah bocor, sehingga sinar matahari langsung masuk rumah dan jika hujan pun basah.
Hanya bagian dari tempat tidur yang agak tertutup atap lantai papan pun sudah rapuh bahkan sebagian sudah bolong-bolong. Kalaupun ditempel dengan kayu lain, itu seadanya saja agar ketika melintasinya tidak jeblos.
"Harus hati-hati jalan masuk ke bagian dapur, karena kayunya sudah banyak yang lapuk," katanya.
Bedah rumah
Rumah panggung yang terdiri dari dua petak, kamar tamu merangkap kamar tidur dan dapur. Semuanya sudah tidak layak untuk sebuah rumah hunian.
"Kami sudah mendata dan setiap tahun kami usulkan mulai dari tingkat kelurahan dan kecamatan untuk diteruskan ke intansi terkait, namun belum mendapat program bedah rumah," kata Kasi Pemberdayaan Kecamatan Bontoa Ardi.
Hal itu dibenarkan Ketua RT 03 Suli-Suli, Lingkungan Bontoa, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Sangkala.
Dia mengatakan pihaknya bersama pemerintah kecamatan berharap agar pemerintah ataupun pihak yang berkompeten dapat memberikan bantuan "bedah rumah", karena ini yang paling penting bagi Sennari yang hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya.
Termasuk memasukkan dalam daftar Program Keluarga Harapan (PKH) bagi Sennari. Namun, setiap tahun nasib baik belum berpihak kepadanya. Hanya saja yang patut disyukuri, karena saat ini sudah mengantongi Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Dengan kartu KIS itu, minimal dapat membantu Sennari jika suatu ketika sakit dan membutuhkan pengobatan ataupun perawatan Rumah Sakit.
"Jadi yang kami perjuangkan untuk Sennari adalah bisa dapat program bedah rumah," imbuh Ketua RW 04 Lingkungan Bontoa, Syarifuddin.
Alasannya, kalau untuk kebutuhan makan sehari-hari, setidaknya tetangga atau orang-orang sekitarnya masih bisa memberikan sembako sesuai kemampuan warga setempat yang juga sebagian besar adalah buruh tani.
Saat ditanya terkait Dana Desa yang dapat digunakan untuk pembangunan fisik bagi warga, dia mengatakan, dari tujuh wilayah di Bontoa, satu-satunya Lingkungan Bontoa yang bukan desa, tetapi lingkungan sehingga tidak memperoleh dana desa seperti enam desa lainnya.
Sementara itu, Ketua Tim Penggerak PKK Kecamatan Bontoa, Indayanty mengatakan, hatinya sangat miris karena tahun lalu berkunjung ke rumah Sennari dengan melihat kondisi rumah yang sudah tidak layak digunakan, ternyata hingga tahun ini masih sama. Padahal, pihak Kecamatan Bontoa sudah mengusulkan agar rumah Sennari mendapat program bantuan bedah rumah.
"Semoga tahun ini sudah mendapatkan bantuan, sehingga Bu Sennari bisa tinggal di rumah yang layak huni," katanya.
Buruh tani tersingkir
Sennari yang sekian puluh tahun berprofesi sebagai buruh tani khusus memanen padi dengan menggunakan alat sederhana mulai dari ani-ani hingga clurit yang lebih dikenal dengan istilah sangki, dalam dua tahun terakhir menjadi buruh tani yang tersingkir.
Hal itu disebabkan karena setiap musim panen padi, pemilik sawah lebih memilih mobil mesin pemanen yang kerjanya lebih cepat, efektif dan efisien. Bahkan dari gabah bisa langsung menjadi beras.
Perkembangan mekanisasi dan teknologi pertanian ini, perlahan tapi pasti sudah melenyapkan jasa tenaga buruh tani. Salah satu diantaranya adalah sosok Sennari yang kini tinggal menjadi buruh penjemur padi saat pasca panen.
Akibatnya, pendapatannya semakin berkurang, setidaknya setelah bekerja seharian hanya mendapatkan upah Rp20 ribu. Karena tidak ingin bergantung dari belas-kasih tetangga, Sennari terpaksa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memancing di sungai di sela-sela kesibukannya menjemur padi.
Namun, jika bukan musim panen, Sennari terpaksa menganggur, sehingga sebagian besar waktunya digunakan memancing ikan di sungai untuk dikonsumsi dan lebihnya dijual.
"Itu pun jika dapat ikan betot atau gabus, saya jual ke tetangga dengan harga Rp7.000 hingga Rp10.000 per ikat," tuturnya.
Semua yang dijalani Sennari ini disyukuri, karena diyakini bahwa buah dari keuletan dan kesabaran dalam hidup akan membuahkan rasa bahagia dan ketenangan.
Kalau pun ada yang datang mengulurkan tangan, Sennari mengatakan, patut disyukuri, namun itu tidak ingin dijadikan sebagai sumber pencarian, sehingga dia selalu bekerja tanpa kenal lelah.*