Makassar (ANTARA) - Tanggal 19 Maret 2020, Pemerintah Daerah melalui Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, HM Nurdin Abdullah, akhirnya mengumumkan dua warganya positif Coronavirus Disease 2019, (COVID-19), setelah adanya kesimpangsiuran informasi.
Status pasien tersebut diketahui setelah hasil tes usap (swab) positif, satu meninggal dunia dan satunya lainnya dirawat intensif di rumah sakit rujukan COVID-19, RSUP Wahidin Sudirohusodo, Kota Makassar.
Ini merupakan kasus pertama di Sulsel. Hingga 16 Juni 2020, total kasus positif COVID-19 bertambah menjadi 3.116 orang. Bahkan, kini berada diperingkat ketiga nasional terbanyak orang terinfeksi.
Upaya pemerintah untuk menekan penyebaran virus tersebut terus dilakukan, mulai dengan memberlakukan karantina parsial, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sampai pada rapid test massal, tetapi belum menekan laju penambahan kasus.
Tidak hanya itu, dukungan anggaran digelontorkan cukup besar, untuk provinsi mencapai Rp500 miliar sedangkan Kota Makassar yang saat ini menjadi daerah episentrum telah menghabiskan hampir Rp300 miliar.
Namun, di sisi lain dari sekelumit persoalan percepatan penanganan COVID-19 ditangani pemerintah daerah, salah seorang dokter Wahidin Sudirohusudo bernama Hisbullah Amin tergerak, turun secara membantu penanganan pandemi Corona.
Dia pun bersama puluhan anggota relawan yang memiliki visi misi sama berjibaku mengambil langkah cepat mencoba mendirikan secara swadaya Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC). Alhasil, kenalannya pemilik Rumah Sakit Ibu dan Anak Sayang Bunda terletak di jalan Hertasning Raya, Makassar, rela tempatnya dijadikan RSDC.
Tak direspons pemerintah
Dengan semangat yang sangat besar, didukung dengan Sumber Daya Manusia, dokter senior ini kemudian mengumumkan ke publik bahwa RSDC hadir untuk membantu penanganan COVID-19, tetapi belakangan tidak mendapat respons pemerintah daerah.
"Pemiliknya memberikan kami kesempatan, lalu dijadikan rumah sakit darurat. Awal sangat berat karena anggaran dan kelengkapan APD hanya seadanya. Tidak ada juga anggaran dari
pemerintah, tapi tim semangat tetap jalan," beber dia.
Karena keterbatasan anggaran ditambah kelengkapan Alat Pelindung Diri (APD) sangat minim, itu pun bantuan dari orang dan juga lembaga, membuat perjuangan semakin berat. Pada akhirnya, RSDC kala itu hanya menerima orang untuk diskrining COVID-19.
"Rumah sakit ini sempat mendapat penolakan keras dari warga sekitar karena takut tertular. Padahal, semuanya sudah disterilisasi lalu diterapkan protokol kesehatan," ungkap dokter anastesy yang dikenal sebagai relawan kemanusiaan spesialis bencana ini.
Beruntung, di masa sulit itu bantuan datang dari Relawan Indonesia Bersatu yang dikomandoi Sandiaga Uno. Mantan Calon Wakil Presiden ini menyalurkan alat rapid test sebanyak 750 buah untuk digunakan bagi orang rentan terpapar
Pelaksanaan rapid test berlangsung selama tiga hari, 13-15 Mei 2020 diikuti tukang ojek online, tenaga kesehatan, supir ambulans, Satpol PP, Pemadam Kebakaran, cleaning servis hingga masyarakat tidak mampu. Seluruh biaya ditanggung Relawan Indonesia Bersatu.
Hasil dari tes cepat itu, puluhan diantaranya reaktif. Langkah selanjutnya ada dikarantina di rumah sakit setempat, adapula melaksanakan isolasi mandiri. Kendati demikian, hasil tes itu bukan penentu seseorang positif.
Lelaki paruh baya malang melintang sebagai relawan kemanusiaan di daerah bencana pada sejumlah daerah termasuk gempa dan tsunami di Lombok maupun Palu serta terakhir bencana di Wamena, menyatakan, apa yang dilakukan semata-mata membantu orang yang kesusahan.
Relawan terpapar COVID-19
Dokter Hisbullah menceritakan suka duka selama timnya bergerak sejauh ini. Dari awal jumlah relawan yang bergabung sebanyak 80 orang, kemudian menyusut menjadi 40 orang yang aktif.
"Dari jumlah itu, selama perjalanan menangani pandemi ini, 11 teman relawan dinyatakan positif dan semua sudah menjalani isolasi. Adapun yang sembuh belum aktif sepenuhnya. Sekarang tersisa 20 orang masih aktif," kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran Unhas ini
Ia mengungkapkan, tim relawan rela tetap bertahan karena masih mengandalkan bantuan datang dari orang baik, serta dari donasi maupun pemberian peralatan medis pendukung dan makanan bagi tim relawan.
Tidak hanya itu, donasi yang diterima dibelanjakan untuk keperluan obat, vitamin dan buah buahan termasuk bayar listrik, beli alat rapid test, membayar PCR, reagan laboratorium juga film foto toraks atau rontgen.
Hisbullah menuturkan, selain Rumah Sakit Sayang Bunda telah dijadikan RSDC khusus merawat pasien positif, pemilik Rumah Sakit Umum (RSU) Wisata Universitas Indonesia Timur (UIT), H Haruna, juga memberikan lampu hijau tempatnya dijadikan lokasi karantina. Lokasi terletak di Jalan Abdul Kadir, Makassar.
Meskipun keterbatasan anggaran, kata dia, pihaknya tidak ingin ada keributan, apalagi memaksa orang dikarantina. Orang akan datang secara sukarela tanpa dipaksa karena sudah diberikan edukasi tentang COVID-19.
"Kami diberikan tempat di VIP lantai empat khusus layanan karantina. Sekarang ada 38 orang yang positif kami terima, semua layanan gratis," ucap Hisbullah menegaskan.
Masih dituding untung
Ia menambahkan, RSDC sudah berjalan selama dua bulan dan dikelola bersama relawan tanpa bantuan anggaran pemerintah serta murni hasil donasi serta sumbangan dari lembaga kemanusiaan, perusahaan swasta juga orang baik.
Berkaitan dengan tudingan orang-orang di luar sana bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan diuntungkan selama wabah ini, Hisbullah menantang pembuktiannya.
Sebab, selama ini apa yang dikerjakan bersama tim relawan tidak ada sama sekali untung materi, selain tenaga habis terkuras, juga tanpa honor yang jelas, tapi sisi baiknya memperoleh pahala berlipat-ganda.
"Rezeki sudah ada yang mengaturnya, kami sampai sekarang masih jalan. Walau tidak ada anggaran dari pemerintah, tentu banyak pihak siap membantu. Karena ini kerja sosial, tentu bukan mengejar keuntungan," ucap dia kembali menegaskan.
Sebelumnya, Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 Pusat, Achmad Yurianto menyarankan sejumlah strategi dalam percepatan penanganan pandemi kepada pemda di Sulsel, mengingat daerah ini masuk peringkat tertinggi penularan di Indonesia.
"Saatnya Makassar membentuk Rumah Sakit Darurat COVID. Tujuannya, menjadikan kompleks rumah sakit tersebut menjadi wilayah karantina. Jadi tidak dibutuhkan ruang isolasi tetapi seluruh kompleks diisolasi," ujar Yuri menyarankan saat dikonfirmasi baru-baru ini.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kementerian Kesehatan ini pun memberi saran, misalnya, ada salah satu tempat bisa dijadikan wilayah karantina.
"Bisa menggunakan asrama haji," saran perwira TNI ini yang juga lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.*