Glasgow (ANTARA) - Konferensi iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berakhir pada Sabtu (13/11) dan untuk pertama kalinya mencapai kesepakatan yang menyimpulkan bahwa bahan bakar fosil merupakan pendorong utama pemanasan global.
Kesepakatan akhirnya tercapai setelah beberapa negara yang bergantung pada batu bara mengajukan keberatan pada menit-menit terakhir.
Kesepakatan tersebut disambut baik karena dianggap dapat terus menghidupkan harapan bagi upaya membatasi pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius.
Namun, tidak sedikit di antara 200 delegasi yang berpartisipasi dalam konferensi tersebut berharap ada lebih banyak kesepakatan yang dicapai.
Pada menit-menit terakhir sebelum kesepakatan akhirnya dicapai, muncul drama.
India, yang didukung China dan sejumlah negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara, menolak klausul yang menyerukan agar pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu baru "dihapus secara bertahap".
Setelah utusan dari China, India, Amerika Serikat, dan Uni Eropa berunding, klausul tersebut akhirnya diubah menjadi permintaan agar negara-negara "mengurangi secara bertahap" penggunaan batu bara.
Menteri Lingkungan dan Iklim India Bhupender Yadav mengatakan revisi tersebut mencerminkan "keadaan nasional dari negara-negara berkembang."
"Kami menjadi suara bagi negara-negara berkembang," katanya kepada Reuters.
Ia mengatakan kesepakatan tersebut "mengincar" batu bara tetapi tetap bungkam ketika menyangkut minyak dan gas alam.
Perubahan satu kata itu disambut dengan kekecewaan oleh negara-negara kaya di Eropa, juga oleh negara-negara pulau kecil dan negara-negara lain yang masih berkembang.
Namun, Meksiko dan delegasi-delegasi lain akhirnya mengatakan akan membiarkan kesepakatan itu berlaku.
"Teks yang disetujui tersebut merupakan kompromi," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
"(Teks itu) mencerminkan kepentingan, kondisi, kontradiksi, dan keadaan kemauan politik di dunia saat ini," katanya.
Mencapai kesepakatan selalu menjadi masalah tentang menyeimbangkan tuntutan negara-negara yang rentan terhadap iklim, kalangan kekuatan industri besar, dan negara-negara seperti India dan China yang bergantung pada bahan bakar fosil untuk mengangkat ekonomi serta penduduk mereka keluar dari kemiskinan.
Negara-negara berkembang beranggapan bahwa negara-negara kaya harus membiayai mereka dalam upaya beralih dari bahan bakar fosil guna beradaptasi dengan dampak iklim yang kian parah.
Menurut mereka, keharusan itu didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis pembuangan gas oleh negara-negara merupakan penyebab terbesar pemanasan global.
Kesepakatan tersebut menawarkan janji untuk menggandakan pendanaan adaptasi dampak iklim pada 2025 dari 2019, tetapi lagi-lagi tidak ada jaminan.
Komite PBB tahun depan akan melaporkan kemajuan dalam penyaluran 100 miliar dolar AS (Rp1,42 kuadriliun) per tahun yang dijanjikan bagi pendanaan iklim.
Negara-negara kaya sebelumnya gagal memenuhi tenggat tahun 2020 untuk pendanaan tersebut.
Pendanaan akan dibahas kembali pada 2024 dan 2026.
Sumber: Reuters
Berita Terkait
LBH Pers Makassar dampingi jurnalis herald.id penuhi panggilan polisi
Jumat, 26 Januari 2024 10:24 Wib
Dirut ANTARA jadi pembicara konferensi haji internasional di Jeddah Arab Saudi
Kamis, 11 Januari 2024 20:33 Wib
Jalan panjang moderasi beragama demi kerukunan umat manusia
Sabtu, 30 Desember 2023 12:58 Wib
Presiden Jokowi ke UAE hadiri konferensi iklim COP28
Kamis, 30 November 2023 11:21 Wib
Rektor Unhas mengajak peneliti berkontribusi pada ilmu kesehatan
Selasa, 28 November 2023 0:42 Wib
FEB Unhas gelar konferensi internasional ICAME 2023 bahas ekonomi inklusif
Rabu, 22 November 2023 13:43 Wib
BKKBN: Indonesia mencapai kemajuan besar dalam ICPD lewat kampung KB
Jumat, 17 November 2023 14:21 Wib
FKM Unhas menggelar konferensi internasional epidemiologi
Minggu, 5 November 2023 1:53 Wib