IESR : Bauran energi bersih di Sulsel capai 30 persen
Makassar (ANTARA) - Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengemukakan bahwa bauran energi bersih (ramah lingkungan) di Sulawesi Selatan telah mencapai 30 persen dari seluruh daya yang terpasang.
"Itu seiring dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis EBT (energi baru terbarukan) seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya yang tersebar di Sulsel," ujarnya pada Sustainability Forum 2021 yang diselenggarakan PT Vale Indonesia di Makassar, Selasa.
Pada 2022 ini, Fabby berujar bahwa pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri.
Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan dan kemudian harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030.
"Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap competitiveness perekenomian kita jadi lebih optimal," tegasnya.
Maka dari itu, Fabby mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang.
Langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, lanjut dia, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.
"Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris," ujarnya.
Pada pencapaian tersebut, tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, di antaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.
PT Vale sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut
Pada kesempatan sama, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdana mengemukakan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.
"Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran EBT sudah secara penuh pada saat itu tercapai. Penurunan emisi 1.562 juta ton CO2," urainya.
Pada sisi bauran EBT, papar Dadan, ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Pepres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, lalu mandatori bahan bakar nabati, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT.
Kemudian tentu saja kemudahan perizinan berusaha segmen EBT hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat.
"Itu seiring dengan pembangunan pembangkit-pembangkit berbasis EBT (energi baru terbarukan) seperti tenaga bayu (angin), air hingga surya yang tersebar di Sulsel," ujarnya pada Sustainability Forum 2021 yang diselenggarakan PT Vale Indonesia di Makassar, Selasa.
Pada 2022 ini, Fabby berujar bahwa pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan harus berusaha keras meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan dan mendorong efisiensi energi di bangunan dan industri.
Pada 2025, pemerintah harus mencapai target 23 persen bauran energi terbarukan dan kemudian harus mengejar emisi sektor energi mencapai puncaknya sebelum 2030.
"Sehingga memang, harus ada upaya akseleratif transisi ke energi bersih, dekarbonisasi. Untuk jangka panjang, ini memberikan efek berganda terhadap competitiveness perekenomian kita jadi lebih optimal," tegasnya.
Maka dari itu, Fabby mengungkapkan transisi energi berbasis fosil menjadi mutlak dilakukan agar ambisi nol emisi karbon (net zero emission) mampu menjadi keniscayaan dengan estimasi terwujud pada 2050 mendatang.
Langkah yang kerap disebut dekarbonisasi itu, lanjut dia, mesti selaras dengan target Persetujuan Paris yaitu membatasi kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius.
"Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang terencana maka diproyeksikan sektor energi akan menjadi penghasil emisi terbesar di Indonesia pada tahun 2030 dan mempersulit pencapaian target Persetujuan Paris," ujarnya.
Pada pencapaian tersebut, tidak lepas dari kolaborasi seluruh elemen, yang mulai relatif agresif menerapkan langkah dekarbonisasi pada proses produksi, di antaranya adalah PT Vale Indonesia Tbk.
PT Vale sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi 33% untuk 2030 dan menargetkan sudah net zero di 2050. Tetapi untuk tahapan ke 2050, tentu masih perlu ada assesment lebih lanjut
Pada kesempatan sama, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdana mengemukakan pemerintah telah menyusun peta jalan transisi energi menuju karbon netral yang diproyeksikan mencapai titik optimal pada 2060.
"Kita memang targetkan dekarbonisasi energi menuju Net Zero Emission 2060 atau bahkan lebih cepat tercapai. Bauran EBT sudah secara penuh pada saat itu tercapai. Penurunan emisi 1.562 juta ton CO2," urainya.
Pada sisi bauran EBT, papar Dadan, ada sejumlah upaya percepatan yang dilakukan pemerintah mulai dari penyelesaian Rancangan Pepres Harga EBT, penerapan Permen ESDM PLTS Atap, lalu mandatori bahan bakar nabati, pemberian insentif fiskal dan non fiskal untuk EBT.
Kemudian tentu saja kemudahan perizinan berusaha segmen EBT hingga mendorong demand ke energi listrik pada sejumlah aktivitas primer bahkan pada skala personal di masyarakat.