Jakarta (ANTARA) - Komnas Perempuan meminta Mahkamah Agung untuk menggunakan peluang revisi Qanun Jinayat yang kini tengah bergulir di Aceh dengan memberikan pertimbangan untuk meninjau kembali Pasal 72 yang menjadi dasar mengecualikan pelindungan hukum nasional bagi perempuan korban perkosaan dan pelecehan seksual/ pencabulan.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani melalui siaran pers, di Jakarta, Jumat, menyampaikan bahwa dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat terdapat beberapa lapisan persoalan yang penting untuk disikapi oleh Mahkamah Agung karena berhubungan erat dengan akses keadilan hukum, terutama perlindungan perempuan korban pelecehan seksual dan perkosaan.
Kajian Komnas Perempuan menunjukkan bahwa di aspek substansi, pengaturan tentang perkosaan menyamakan dengan tindak zina tanpa mempertimbangkan kerentanan perempuan korban sehingga membuat perempuan korban perkosaan rentan diabaikan atas alasan tidak cukup bukti atau di-kriminalisasi dengan delik zina ketika dianggap sebagai tindakan sukarela.
Selain itu MA juga diminta untuk memastikan pidana cambuk tidak digunakan dalam tindak perkosaan dan pelecehan seksual serta memastikan penguatan upaya pemulihan korban.
Menurut Andy, pidana cambuk selain bertentangan dengan hukum nasional terkait upaya menghapus penyiksaan juga merisikokan keselamatan jiwa korban dari tindak balas dendam pelaku yang bisa segera kembali ke masyarakat pascaeksekusi.
Pihaknya berharap upaya ini dapat mengatasi hambatan perempuan pada akses keadilan hukum di Aceh.
MA juga diharapkan memberikan perhatian pada penguatan kapasitas hakim dan pengawasan pelaksanaan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Menurut Komnas Perempuan, Perma Nomor 3 Tahun 2017 merupakan terobosan penting dalam memastikan pelindungan hukum bagi perempuan sehingga Komnas Perempuan turut mensosialisasikan aturan ini dan juga menjadikan rujukan dalam penyikapan kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam proses persidangan.