Makassar (ANTARA News) - Direktur Lembaga Peduli Sosial, Ekonomi, Budaya dan Hukum (LP-Sibuk) Djusman AR menyoroti usaha perakitan mobil toko (Moko) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan karena menggunakan nama keluarga Gubernur Sulsel Dr Syahrul Yasin Limpo, MSi, MH.
"Harusnya usaha perakitan mobil pemda itu menggunakan istilah pemerintahan karena menggunakan anggaran daerah APBD, namun yang terjadi adalah menggunakan nama dinasti keluarga gubernur," ujar Djusman di Makassar, Selasa.
Ia mengaku, penggunaan nama kebesaran atau dinasti keluarga kepada tipe dan jenis mobil Moko sangat tidak pantas dilakukan karena pembuatan mobil tersebut menggunakan anggaran pemerintah (APBD).
Maka dari itu, dirinya kemudian meminta penjelasan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo untuk memberikan klarifikasinya dan alasan penggunaan nama-nama keluarnganya itu.
Menurut dia, Pemprov Sulsel sukses meluncurkan tiga tipe prototipe mobil nasional, Moko, pada puncak peringatan hari jadi ke-342 Provinsi Sulsel 19 Oktober 2011.
Peluncuran ketiga tipe mobil bernama "N1", "Rinra" dan "Tetta" yang masing-masing berkapasitas 650 cc. Tipe N1 menunjukkan nama sapaan akrab salah satu adik Gubernur yang kini menjabat Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulsel, Irman Yasin Limpo yang biasa dipanggil None.
Untuk tipe "Rinra", nama mobil ini didedikasikan untuk putra bungsu Gubernur yang meninggal dunia saat menjalani pendidikan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Sedangkan tipe "Tetta" digunakan juga untuk mengenang almarhum orang tua Gubernur yakni Yasin Limpo atau akrab disapa dengan sebutan Tetta.
Sebelumnya, pihaknya mendesak Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk segera turun tangan menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan dan perakitan mobil toko (Moko) yang dianggarkan pada APBD-Perubahan 2011 senilai Rp2,9 miliar.
"Jika kejaksaan mempunyai komitmen untuk menegakkan hukum dan memberantas praktek korupsi yang banyak terjadi di pemerintahan, SEharusnya kejaksaan lebih jeli lagi," tegasnya.
Ia menyebutkan, praktek dugaan korupsi yang terjadi di Pemprov Sulsel itu terindikasi kuat terjadi karena dalam pelaksanaannya pada Tahun Anggaran (TA) 2011 menggunakan anggaran APBD-Perubahan.
Alasannya dalam proyek pengadaan yang dianggarkan pada pos APBD-Perubahan hanyalah proyek-proyek yang mempunyai skala prioritas tinggi dan menyentuh kepada masyarakat.
Selain itu, proyek yang dianggarkan di APBD-Perubahan itu juga adalah proyek yang sudah dianggarkan pada APBD, namun dalam pelaksanaannya proyek itu masih membutuhkan anggaran lebih sehingga wajar untuk dianggarkan.
Dalam aturan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 disebutkan jenis proyek yang dimasukkan dalam APBD-P hanya untuk proyek yang mendesak dan masih memungkinkan untuk diselesaikan hingga akhir tahun anggaran.
Khusus mengenai Moko, lanjut dia, ada dugaan kesalahan administrasi karena anggaran pengadaan 100 unit Moko itu dimasukkan pada APBD Perubahan 2011.
Namun kemudian di lapangan, disinyalir pengadaan mobil Moko hingga akhir tahun 2011 hanya sekitar 15 unit, sehingga kekurangannya masih dipertanyakan.
"Untuk itu, pihak kejaksaan harus betul-betul memperlihatkan kinerjanya, sehingga tidak mengulangi kasus-kasus sebelumnya yang santer dipublikasi, namun tidak masuk dalam daftar kasus-kasus yang terselesaikan pada ekspose kinerja akhir tahun kejaksaan," katanya.
Selain itu, anggota panitia khusus (Pansus) DPRD Sulsel, Muchtar Tompo menyoroti pengadaan 45 unit mobil Moko senilai Rp2,9 miliar. Pansus menduga dana proyek tahun 2011 itu diselewengkan.
"Di laporan dalam LKPJ Gubernur Sulsel, halaman 585, sudah ada mobil Moko sebanyak 45 unit. Tetapi waktu kami periksa di pabrik mobil Moko, Jalan Ir. Sutami ternyata hanya ada lima unit. Tiga di pabrik, dan dua dipajang di rumah jabatan. Mobil Moko itu tidak diproduksi 45 unit. Jadi, sekarang kami tanya kemana uang APBD Rp2,9 miliar itu," ucapnya.
Menurut Muchtar, mobil Moko yang dilaporkan diserahkan ke UKM dalam bentuk hibah itu mestinya sudah terealisasi tahun 2011.
"Ini laporan Gubernur bahwa ada 45 Moko mau dibagi ke masyarakat. Pertanyaannya, dimana barangnya?. Jadi sekarang kembalikan uang rakyat itu karena barang cuma lima unit. Harus kembali uangnya karena tidak terserap, pengadaan beda dengan perakitan," tegas politisi Partai Hanura ini. (T.KR-DF/F003)

