Wakil Sekjen PBB soroti pelanggaran hak perempuan saat bertemu Taliban
Perserikatan Bangsa-Bangsa (ANTARA) - Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Amina Mohammed menyampaikan kekhawatiran atas pelanggaran hak-hak perempuan Afghanistan, ketika bertemu degan rezim Taliban di Kandahar.
Rezim Taliban, yang merupakan otoritas de facto di Afghanistan, baru-baru ini menutup universitas untuk siswa perempuan di seluruh negeri sampai pemberitahuan lebih lanjut, dan melarang anak perempuan untuk bersekolah di tingkat menengah.
Selain itu, Taliban juga membatasi kebebasan perempuan dan anak perempuan, mengecualikan perempuan dari sebagian besar wilayah angkatan kerja, dan melarang perempuan menggunakan taman, pusat kebugaran, dan pemandian umum.
"Pesan saya sangat jelas: sementara kami mengakui pengecualian penting yang dibuat, pembatasan ini membuat perempuan dan anak perempuan Afghanistan mengalami masa depan yang mengurung mereka di rumah mereka sendiri, melanggar hak-hak mereka, dan merampas hak untuk layanan mereka," kata Mohammed dalam sebuah pernyataan pada Jumat (20/1).
Dia menjelaskan bahwa PBB bertujuan mewujudkan "Afghanistan yang makmur dan berdamai dengan dirinya sendiri dan tetangganya", dan berada di jalur menuju pembangunan berkelanjutan.
"Namun, Afghanistan saat ini sedang mengisolasi diri, di tengah krisis kemanusiaan yang mengerikan dan menjadi salah satu bangsa paling rentan terhadap perubahan iklim," tutur Mohammed.
Menurut Wakil Juru Bicara PBB Farhan Haq, dalam pertemuan tersebut delegasi PBB menyatakan kekhawatiran atas keputusan Taliban baru-baru ini yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi non pemerintah di tingkah nasional dan internasional.
Keputusan tersebut telah memaksa banyak organisasi bantuan untuk menghentikan operasinya.
“Dalam pertemuan dengan otoritas de facto di Kabul dan Kandahar, delegasi secara langsung menyampaikan peringatan atas keputusan baru-baru ini yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi non pemerintah nasional dan internasional ... sebuah langkah yang merusak pekerjaan banyak organisasi yang membantu jutaan warga Afghanistan yang rentan," kata Haq.
PBB menegaskan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan yang efektif didasarkan pada prinsip-prinsip yang membutuhkan akses penuh, aman, dan tanpa hambatan untuk semua pekerja bantuan, termasuk perempuan.
Sementara Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous yang turut serta di dalam delegasi mengatakan "telah menyaksikan ketangguhan yang luar biasa".
"Perempuan Afghanistan meyakinkan kita akan akan keberanian dan penolakan mereka untuk dihapus dari kehidupan publik. Mereka akan terus mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak mereka, dan kami wajib mendukung mereka dalam perjuangannya," ujar Bahous.
Dia menyebut yang terjadi di Afghanistan saat ini sebagai "krisis hak-hak perempuan yang merupakan seruan untuk masyarakat internasional".
"Ini menunjukkan betapa cepatnya kemajuan hak-hak perempuan selama beberapa dekade dapat dibalik dalam hitungan hari. UN Women mendukung semua perempuan dan anak perempuan Afghanistan, dan akan terus memperkuat suara mereka untuk mendapatkan kembali semua hak mereka," kata dia.
Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan pada 15 Agustus 2021 disusul dengan gangguan bantuan keuangan internasional yang kemudian memicu krisis ekonomi, kemanusiaan, dan hak asasi manusia di negara itu.
Perempuan dan anak perempuan telah dirampas haknya, termasuk hak atas pendidikan, dan hilang dari kehidupan publik di bawah kekuasaan Taliban.
Ribuan perempuan telah kehilangan pekerjaan atau dipaksa mengundurkan diri dari lembaga pemerintah dan sektor swasta.
Anak perempuan dilarang bersekolah di sekolah menengah dan atas. Banyak perempuan melakukan unjuk rasa dengan turun ke jalan guna menuntut agar hak-hak mereka dipulihkan.
Sumber: Anadolu
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bertemu Taliban, Wakil Sekjen PBB soroti pelanggaran hak perempuan
Rezim Taliban, yang merupakan otoritas de facto di Afghanistan, baru-baru ini menutup universitas untuk siswa perempuan di seluruh negeri sampai pemberitahuan lebih lanjut, dan melarang anak perempuan untuk bersekolah di tingkat menengah.
Selain itu, Taliban juga membatasi kebebasan perempuan dan anak perempuan, mengecualikan perempuan dari sebagian besar wilayah angkatan kerja, dan melarang perempuan menggunakan taman, pusat kebugaran, dan pemandian umum.
"Pesan saya sangat jelas: sementara kami mengakui pengecualian penting yang dibuat, pembatasan ini membuat perempuan dan anak perempuan Afghanistan mengalami masa depan yang mengurung mereka di rumah mereka sendiri, melanggar hak-hak mereka, dan merampas hak untuk layanan mereka," kata Mohammed dalam sebuah pernyataan pada Jumat (20/1).
Dia menjelaskan bahwa PBB bertujuan mewujudkan "Afghanistan yang makmur dan berdamai dengan dirinya sendiri dan tetangganya", dan berada di jalur menuju pembangunan berkelanjutan.
"Namun, Afghanistan saat ini sedang mengisolasi diri, di tengah krisis kemanusiaan yang mengerikan dan menjadi salah satu bangsa paling rentan terhadap perubahan iklim," tutur Mohammed.
Menurut Wakil Juru Bicara PBB Farhan Haq, dalam pertemuan tersebut delegasi PBB menyatakan kekhawatiran atas keputusan Taliban baru-baru ini yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi non pemerintah di tingkah nasional dan internasional.
Keputusan tersebut telah memaksa banyak organisasi bantuan untuk menghentikan operasinya.
“Dalam pertemuan dengan otoritas de facto di Kabul dan Kandahar, delegasi secara langsung menyampaikan peringatan atas keputusan baru-baru ini yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi non pemerintah nasional dan internasional ... sebuah langkah yang merusak pekerjaan banyak organisasi yang membantu jutaan warga Afghanistan yang rentan," kata Haq.
PBB menegaskan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan yang efektif didasarkan pada prinsip-prinsip yang membutuhkan akses penuh, aman, dan tanpa hambatan untuk semua pekerja bantuan, termasuk perempuan.
Sementara Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous yang turut serta di dalam delegasi mengatakan "telah menyaksikan ketangguhan yang luar biasa".
"Perempuan Afghanistan meyakinkan kita akan akan keberanian dan penolakan mereka untuk dihapus dari kehidupan publik. Mereka akan terus mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak mereka, dan kami wajib mendukung mereka dalam perjuangannya," ujar Bahous.
Dia menyebut yang terjadi di Afghanistan saat ini sebagai "krisis hak-hak perempuan yang merupakan seruan untuk masyarakat internasional".
"Ini menunjukkan betapa cepatnya kemajuan hak-hak perempuan selama beberapa dekade dapat dibalik dalam hitungan hari. UN Women mendukung semua perempuan dan anak perempuan Afghanistan, dan akan terus memperkuat suara mereka untuk mendapatkan kembali semua hak mereka," kata dia.
Kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan pada 15 Agustus 2021 disusul dengan gangguan bantuan keuangan internasional yang kemudian memicu krisis ekonomi, kemanusiaan, dan hak asasi manusia di negara itu.
Perempuan dan anak perempuan telah dirampas haknya, termasuk hak atas pendidikan, dan hilang dari kehidupan publik di bawah kekuasaan Taliban.
Ribuan perempuan telah kehilangan pekerjaan atau dipaksa mengundurkan diri dari lembaga pemerintah dan sektor swasta.
Anak perempuan dilarang bersekolah di sekolah menengah dan atas. Banyak perempuan melakukan unjuk rasa dengan turun ke jalan guna menuntut agar hak-hak mereka dipulihkan.
Sumber: Anadolu
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bertemu Taliban, Wakil Sekjen PBB soroti pelanggaran hak perempuan