Jakarta (ANTARA) - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan dokumen Strategi Nasional (Stranas) Pengelolaan Lahan Basah Ekosistem Gambut dan Mangrove.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Vivi Yulaswati mengatakan bahwa dokumen ini rujukan bagi para pemangku kepentingan untuk secara kolaboratif melakukan pengelolaan ekosistem lahan basah, utamanya ekosistem gambut dan mangrove.
“Peluncuran dokumen stranas lahan basah ini menjadi sangat tepat. Hal ini mengingat upaya pengelolaan lahan basah perlu terus diperkuat akibat adanya tekanan terhadap ekosistem ini yang semakin nyata dan akan semakin besar ke depannya. ” kata dia secara virtual dalam acara peluncuran dokumen tersebut di Jakarta, Kamis.
Peluncuran dokumen tersebut bertepatan dengan Hari Lahan Basah Sedunia 2023 yang mengusung tema “Wetland Restoration” atau Pemulihan Lahan Basah.
Tekanan terhadap ekosistem gambut dan mangrove memperoleh tantangan mengingat adanya tren triple planetary crisis yang akan terus terjadi di bumi ini. Tren ini mencakup tiga krisis lingkungan besar, yaitu perubahan iklim, tingginya polusi, kerusakan lingkungan, serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 50-70 persen dari populasi global berpotensi terdampak akibat dari kondisi iklim pada tahun 2100.
Selain itu, krisis polusi dalam bentuk pencemaran air, udara, tanah, dan limbah juga menyebabkan sekitar 4,2 juta kematian setiap tahunnya.
“Pada akhirnya, krisis kehilangan keanekaragaman hayati juga terus mengancam punahnya satu juta spesies tumbuhan dan hewan,” ucapnya.
Lebih lanjut, dampak buruk dari triple planetary crisis menimbulkan berbagai tantangan bagi pengelolaan ekosistem lahan basah.
Ekosistem lahan basah mengalami perubahan siklus hidrologi, antara lain disebabkan perubahan suhu udara dan tata guna lahan, meningkatnya kerentanan pesisir serta pencemaran, dan kerusakan kawasan pesisir serta laut yang akan berpengaruh terhadap pengelolaan ekosistem di sekitarnya.
Sebaliknya, pengelolaan ekosistem lahan basah yang tidak optimal dapat turut memperburuk krisis yang terjadi karena fungsi ekosistem lahan basah sangat penting bagi penyangga sistem lainnya, terutama sistem sosio-ekologi.
Jika kita berbicara tentang ekosistem lahan basah, kata Vivi, tentu tidak lepas dari keseluruhan ekosistem di daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan alami atau buatan; tetap atau sementara, dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau, atau asin, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari 6 meter pada waktu surut.
Dalam stranas lahan basah ini yang berfokus pada dua ekosistem lahan basah, yaitu gambut dan mangrove, memiliki potensi yang tinggi untuk menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar.
Misalnya saja, area ekosistem mangrove Indonesia merupakan paling luas di dunia, yakni sebesar 3,2-3,3 juta hektar dengan nilai penyimpanan karbon sebesar lebih dari 950 ton per hektar.
Selain cadangan karbon, ekosistem mangrove juga dimanfaatkan sebagai area pembibitan, habitat hewan liar, dan sistem proteksi bagi bahaya pesisir seperti erosi.
“Di samping ekosistem mangrove, Indonesia juga memiliki ekosistem gambut seluas 13,4 juta hektar. Ekosistem gambut juga memberikan berbagai manfaat, seperti area pembibitan, penyediaan bahan baku, serta sebagai habitat satwa liar,” ungkap Vivi.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Bappenas luncurkan dokumen Stranas Lahan Basah