Masa depan sastra dalam kesiur kecerdasan buatan
Bondowoso (ANTARA) - "Seekor anjing yang terus berlari
Mengikuti langkah yang terus menerangi
Hingga di ujung jalan yang belum terlihat
Di sanalah ia menemukan harapan yang diimpikannya".
Bait-bait puisi "Anjing dan Mimpi" ini adalah hasil ciptaan kecerdasan buatan alias AI yang ditunjukkan Dr Tengsoe Tjahjono, MPd, penyair yang juga akademisi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dari perangkat gawainya kepada Antara, saat berbincang di Bondowoso, Jawa Timur.
Tengsoe Tjahjono datang ke Kota Tapai Bondowoso untuk memberikan pelatihan menulis cerita pendek 3 paragraf alias pentigraf yang diselenggarakan oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP/MTs Negeri Bondowoso.
Tengsoe yang lahir di Jember dan besar di Banyuwangi dan kini tinggal di Kota Malang ini adalah penemu genre sastra pentigraf yang banyak digandrungi peminat sastra, termasuk kalangan guru dengan murid-muridnya, pengacara, dokter, wartawan, dan profesi lainnya.
Pagi itu, dengan hawa sejuk Bondowoso, Tengsoe sedang membahas masa depan sastra di tengah terpaan AI. Banyak kalangan dan profesi yang merasa terancam dengan hadirnya teknologi AI. Kekhawatiran muncul karena AI bisa menggantikan peran manusia, dalam segala lini.
Sastra yang masuk dalam ranah dunia kreatif, sepintas memang tidak akan bisa diganggu oleh kepintaran AI yang kita yakini tidak memiliki jiwa. Tapi, sebentar dulu. Dari puisi yang ditunjukkan Tengsoe kepada Antara, sepertinya otak AI juga dibersamai oleh jiwa. AI juga mampu membuat kalimat indah yang tidak kaku sebagaimana halnya hasil mesin bekerja.
"Kalau permintaannya umum, AI memang tidak bisa, tapi kalau lebih mengerucut, ternyata bisa juga. Contohnya, saya minta dibuatkan puisi dengan tema 'anjing dan mimpi'. Hasilnya lumayan bagus loh," kata dosen Unesa yang juga alumni Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Kalau belajar dari perkembangan teknologi penerjemahan bahasa asing yang disediakan oleh Google, awalnya memang kaku, namun dalam perkembangannya kini sudah lebih mampu mengenal konteks dari kalimat yang diterjemahkan. Karena itu sangat mungkin nantinya hasil kerja dari AI juga terus berkembang, hingga mampu menyaingi karya kreatif manusia.
Karena itu, tidak heran jika AI mampu membuat puisi, bahkan di Jepang ada karya novel yang dihasilkan oleh AI.
Sebagai mesin, AI bekerja berdasarkan perintah atau bigdata yang dimasukkan operatornya mengenai suatu tema. Semakin bervariasi data mengenai suatu tema diinput ke dalam data, AI akan semakin lincah menghasilkan karya tulis, termasuk sastra.
Demikian juga jika data karya manusia dengan perenungan mendalam banyak yang diserap oleh data AI, maka AI juga akan mampu memberikan karya yang berjiwa ketika diminta oleh seseorang untuk membuat karya dengan tema tertentu. AI mampu membaca kecenderungan yang diinginkan oleh penggunanya itu.
Sastrawan lain, Dr Sutejo, MHum, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, Jatim, juga mengakui bahwa AI begitu canggih, hingga seolah-olah akan menyaingi hasil kerja manusia.
Hanya saja, Sutejo tetap berkeyakinan bahwa otak manusia adalah hasil karya Tuhan Sang Maha Canggih yang tidak mungkin dikalahkan oleh teknologi hasil buatan manusia.
"Saya sendiri, termasuk hasil diskusi dengan teman-teman sastrawan, berkeyakinan bahwa ada aspek-aspek dari manusia yang tidak akan tergantikan oleh mesin, yakni 'rasa', 'nilai-nilai', dan 'jiwa', apalagi soal 'kesadaran'," kata penggagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo ini.
Bagi dia, kalaupun mesin AI mampu menghasilkan karya sastra yang "lumayan bagus", itu juga tidak lepas dari manusia sebagai penginput data. Dunia kreatif dan estetika adalah hasil hasil olah batin manusia dan sangat berbeda dengan dunia eksakta, sehingga karya AI akan sulit menyaingi manusia.
Baik Tengsoe maupun Sutejo sepakat bahwa kehadiran AI bagi dunia sastra tidak bisa ditolak. Hanya saja, AI bisa kita rangkul untuk membantu proses belajar seseorang untuk masuk ke dunia sastra, khususnya untuk pengayaan model atau gaya penulisan yang bisa diadopsi dari satrawan lain yang datanya disajikan oleh AI.
"Bagi saya, AI menjadi ancaman bagi mereka yang tidak mau belajar terus menerus. Mereka yang siap bodoh yang menganggap bahwa hasil AI yang terbaik," kata Sutejo, menegaskan.
Tengsoe juga sepakat bahwa mesin tidak akan bisa masuk ke dalam misteri terdalam manusia, yakni jiwa. Keindahan, kalau boleh disebut demikian, yang hasilkan oleh mesin AI merupkan rangkuman dari karya-karya kreatif dari manusia.
Terkait perangkulan kehadiran AI bagi proses pembelajaran sastra, pembelajar bisa mencari model-model karya dalam AI, kemudian dioleh ulang untuk memasukkan aspek jiwa dari karya tersebut.
Bagaimanpun kehadiran AI diniatkan untuk membantu manusia. Karena itu kehadiran AI dalam dunia sastra selayaknya juga dipandang sebagai teman seiirng dalam olah kreatif dan penjiwaan mendalam mengenai suatu karya sastra. AI menerpa ranah sastra seperti kesiur angin menyapa daun-daun dari pepohonan kokoh
Kehadiran AI bukanlah musuh yang siap membunuh kreativitas manusia. Ia justru hadir untuk meneguhkan maksud awal Tuhan menciptakan manusia sebagai wakil-NYA di muka Bumi.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Masa depan sastra dalam kesiur AI
Mengikuti langkah yang terus menerangi
Hingga di ujung jalan yang belum terlihat
Di sanalah ia menemukan harapan yang diimpikannya".
Bait-bait puisi "Anjing dan Mimpi" ini adalah hasil ciptaan kecerdasan buatan alias AI yang ditunjukkan Dr Tengsoe Tjahjono, MPd, penyair yang juga akademisi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dari perangkat gawainya kepada Antara, saat berbincang di Bondowoso, Jawa Timur.
Tengsoe Tjahjono datang ke Kota Tapai Bondowoso untuk memberikan pelatihan menulis cerita pendek 3 paragraf alias pentigraf yang diselenggarakan oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP/MTs Negeri Bondowoso.
Tengsoe yang lahir di Jember dan besar di Banyuwangi dan kini tinggal di Kota Malang ini adalah penemu genre sastra pentigraf yang banyak digandrungi peminat sastra, termasuk kalangan guru dengan murid-muridnya, pengacara, dokter, wartawan, dan profesi lainnya.
Pagi itu, dengan hawa sejuk Bondowoso, Tengsoe sedang membahas masa depan sastra di tengah terpaan AI. Banyak kalangan dan profesi yang merasa terancam dengan hadirnya teknologi AI. Kekhawatiran muncul karena AI bisa menggantikan peran manusia, dalam segala lini.
Sastra yang masuk dalam ranah dunia kreatif, sepintas memang tidak akan bisa diganggu oleh kepintaran AI yang kita yakini tidak memiliki jiwa. Tapi, sebentar dulu. Dari puisi yang ditunjukkan Tengsoe kepada Antara, sepertinya otak AI juga dibersamai oleh jiwa. AI juga mampu membuat kalimat indah yang tidak kaku sebagaimana halnya hasil mesin bekerja.
"Kalau permintaannya umum, AI memang tidak bisa, tapi kalau lebih mengerucut, ternyata bisa juga. Contohnya, saya minta dibuatkan puisi dengan tema 'anjing dan mimpi'. Hasilnya lumayan bagus loh," kata dosen Unesa yang juga alumni Sastra Indonesia dari Universitas Negeri Malang (UM) ini.
Kalau belajar dari perkembangan teknologi penerjemahan bahasa asing yang disediakan oleh Google, awalnya memang kaku, namun dalam perkembangannya kini sudah lebih mampu mengenal konteks dari kalimat yang diterjemahkan. Karena itu sangat mungkin nantinya hasil kerja dari AI juga terus berkembang, hingga mampu menyaingi karya kreatif manusia.
Karena itu, tidak heran jika AI mampu membuat puisi, bahkan di Jepang ada karya novel yang dihasilkan oleh AI.
Sebagai mesin, AI bekerja berdasarkan perintah atau bigdata yang dimasukkan operatornya mengenai suatu tema. Semakin bervariasi data mengenai suatu tema diinput ke dalam data, AI akan semakin lincah menghasilkan karya tulis, termasuk sastra.
Demikian juga jika data karya manusia dengan perenungan mendalam banyak yang diserap oleh data AI, maka AI juga akan mampu memberikan karya yang berjiwa ketika diminta oleh seseorang untuk membuat karya dengan tema tertentu. AI mampu membaca kecenderungan yang diinginkan oleh penggunanya itu.
Sastrawan lain, Dr Sutejo, MHum, yang juga dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo, Jatim, juga mengakui bahwa AI begitu canggih, hingga seolah-olah akan menyaingi hasil kerja manusia.
Hanya saja, Sutejo tetap berkeyakinan bahwa otak manusia adalah hasil karya Tuhan Sang Maha Canggih yang tidak mungkin dikalahkan oleh teknologi hasil buatan manusia.
"Saya sendiri, termasuk hasil diskusi dengan teman-teman sastrawan, berkeyakinan bahwa ada aspek-aspek dari manusia yang tidak akan tergantikan oleh mesin, yakni 'rasa', 'nilai-nilai', dan 'jiwa', apalagi soal 'kesadaran'," kata penggagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) Ponorogo ini.
Bagi dia, kalaupun mesin AI mampu menghasilkan karya sastra yang "lumayan bagus", itu juga tidak lepas dari manusia sebagai penginput data. Dunia kreatif dan estetika adalah hasil hasil olah batin manusia dan sangat berbeda dengan dunia eksakta, sehingga karya AI akan sulit menyaingi manusia.
Baik Tengsoe maupun Sutejo sepakat bahwa kehadiran AI bagi dunia sastra tidak bisa ditolak. Hanya saja, AI bisa kita rangkul untuk membantu proses belajar seseorang untuk masuk ke dunia sastra, khususnya untuk pengayaan model atau gaya penulisan yang bisa diadopsi dari satrawan lain yang datanya disajikan oleh AI.
"Bagi saya, AI menjadi ancaman bagi mereka yang tidak mau belajar terus menerus. Mereka yang siap bodoh yang menganggap bahwa hasil AI yang terbaik," kata Sutejo, menegaskan.
Tengsoe juga sepakat bahwa mesin tidak akan bisa masuk ke dalam misteri terdalam manusia, yakni jiwa. Keindahan, kalau boleh disebut demikian, yang hasilkan oleh mesin AI merupkan rangkuman dari karya-karya kreatif dari manusia.
Terkait perangkulan kehadiran AI bagi proses pembelajaran sastra, pembelajar bisa mencari model-model karya dalam AI, kemudian dioleh ulang untuk memasukkan aspek jiwa dari karya tersebut.
Bagaimanpun kehadiran AI diniatkan untuk membantu manusia. Karena itu kehadiran AI dalam dunia sastra selayaknya juga dipandang sebagai teman seiirng dalam olah kreatif dan penjiwaan mendalam mengenai suatu karya sastra. AI menerpa ranah sastra seperti kesiur angin menyapa daun-daun dari pepohonan kokoh
Kehadiran AI bukanlah musuh yang siap membunuh kreativitas manusia. Ia justru hadir untuk meneguhkan maksud awal Tuhan menciptakan manusia sebagai wakil-NYA di muka Bumi.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Masa depan sastra dalam kesiur AI