Kelompok Kerja (Pokja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menekankan bahwa RUU Kesehatan harus memenuhi hak anak.
"Kebijakan perlindungan anak mengamanatkan tugas mulia negara dalam mengintervensi anak sejak dari kandungan hingga 18 tahun, artinya ada prasyarat bagi RUU Kesehatan untuk melakukan segala upaya dan memenuhi hak kesehatan anak sejak dari perencanaan kandungan," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Jasra menekankan pentingnya intervensi sejak dini sehingga anak terhindar dari segala ancaman dan hambatan yang dapat merugikan tumbuh kembangnya.
Untuk itu, KPAI menyerahkan Kertas Kebijakan KPAI terhadap penyusunan RUU Kesehatan dengan metode Omnibus Law yang akan menyatukan beberapa kebijakan terkait isu kesehatan kepada Komisi IX DPR RI.
"Berbagai isu krusial kesehatan anak yang menjadi perhatian seperti prevalensi stunting yang menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masih tinggi di angka 24,4 persen, dan fenomena konsumsi rumah tangga yang lebih memilih rokok dibanding membeli makanan bergizi yang tentu berdampak pada kondisi kesehatan anak dan keluarga," kata Jasra.
Selain itu, terdapat permasalahan lain yang disoroti KPAI yakni kematian ibu melahirkan, tingkat kasus kematian anak di periode neonatal (pasca lahir 0-28 hari) yang tinggi, di mana sebagian besar kasus tersebut akibat penyakit yang sebenarnya dapat dicegah melalui imunisasi, seperti pneumonia, diare, dan gizi buruk.
"Fenomena 326 anak minum obat sirup beracun yang menyebabkan gagal ginjal dengan 204 anak meninggal dan lainnya dalam pengobatan lanjut, sampai sekarang juga belum ada yang mengambil tanggung jawab penuh," ujar dia.
Menurut Jasra, permasalahan kesehatan yang terjadi ini diakibatkan belum adanya peraturan yang menyentuh hak-hak kesehatan anak untuk memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau, inklusif, serta ramah anak di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena pun merespon bahan yang diserahkan oleh KPAI.
"Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan sudah memasuki ujung atau sudah diserahkan ke Tim Perumus (Timus), tetapi bahan dari KPAI ini penting bagi kami, agar Timus segera merapikan substansi, narasi, diksi, kata dan kalimat. Nanti terkait perspektif anak yang diberikan KPAI ini akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan," jelas Emanuel.
Terkait pelaporan banyaknya permasalahan kesehatan anak tahun 2022, akan menjadi catatan bagi DPR RI dan Kemenkes agar Undang-Undang ini nantinya lebih berperspektif anak.
"Kami sebenarnya di DPR RI sudah memutus di ruangan dewan agar para korban gagal ginjal dapat perlakuan dari negara, baik untuk kesehatannya saat ini dan ke depan, maupun ganti ruginya. Ketika kami rapat di Dewan, Kementerian Kesehatan oke, tetapi kemudian dijawab Menteri Sosial tidak bisa, padahal itu putusan resmi," kata Emanuel.
Untuk itu, DPR RI terus mendorong KPAI untuk terus mengawal kepentingan anak dan memberi masukan format yang jelas dalam RUU Kesehatan.
"Bisa kita masukkan di batang tubuh, minimal masuk penjelasan, jadi ada mekanisme teknisnya. Saya membaca masukan DIM dan kertas kebijakan, serta surat permohonan audiensi KPAI, saya lihat ada diskusi tiga kali yang diselenggarakan dengan menjaring masukan berbagai pihak terkait kepentingan anak di RUU Kesehatan," tutur Emanuel.
"Saya kira tiga poin diskusi dari KPAI dan masukan DIM ini, mudah-mudahan masih bisa kita sisipkan, tetapi secara umum ada beberapa hal yang sudah masuk," imbuhnya.
"Saya kira tiga poin diskusi dari KPAI dan masukan DIM ini, mudah-mudahan masih bisa kita sisipkan, tetapi secara umum ada beberapa hal yang sudah masuk," imbuhnya.
Berita ini juga telah tayang di Antaranews.com dengan judul: KPAI tekankan RUU Kesehatan harus penuhi hak anak