Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa menyatakan pembangunan berketahanan iklim menitikberatkan pada penguatan ketahanan infrastruktur teknologi, tata kelola, pendanaan, serta peningkatan kapasitas dari seluruh desa.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 yang dipantau secara virtual, di Jakarta, Senin.
“Saya ingin menekankan bahwa peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim tentu akan memberi pengaruh yang baik (dan) positif terhadap peningkatan kapasitas kita untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Karena itu, kita harus terus memperkuat basis pengetahuan melalui pengembangan kegiatan riset teknologi dan informasi terkait perubahan iklim dan dampaknya terhadap berbagai kebijakan,” ujar dia.
Dalam Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, salah satu tujuan yang ditetapkan adalah resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim guna mewujudkan landasan pembangunan berketahanan iklim.
Ketahanan iklim disebut memerlukan berbagai upaya dan strategi, termasuk penguatan pangan, ketahanan air dan energi, penguatan sektor kelautan dan pesisir, serta transformasi kesehatan.
“Arah-arah kebijakan ini tentu akan menjadi pedoman untuk pembangunan infrastruktur dan kewilayahan, terutama di daerah-daerah yang teridentifikasi rentan pada bencana dan perubahan iklim,” ujar Kepala Bappenas.
Menurut dia, concern terhadap ketahanan iklim harus diberikan oleh para pemimpin pusat dan daerah, agar masyarakat menganggap perubahan iklim sebagai bentuk sosialisasi, pewarisan nilai-nilai, dan penyadaran yang penting dipahami bersama.
“Knowledge ini menjadi penting bagi kita semua karena kalau tidak, kita ini (menjadi) negara yang paling fragile karena di lingkungan yang seperti ini, perubahan cuaca itu sangat sensitif bagi kita,” kata Suharso lagi.
Dampak perubahan iklim antara lain adalah penurunan tingkat curah hujan sekitar 1-4 persen hingga tahun 2034, sehingga berpengaruh terhadap ketahanan air di sebagian besar wilayah Indonesia.
Hal itu mengakibatkan pasokan air bersih semakin berkurang dan berpotensi menimbulkan konflik alokasi air, terutama untuk daerah yang bertumpuk antara sektor pertanian, industri, dan energi.
Pada sektor pertanian, efek dari perubahan iklim menyebabkan periode ulang variasi iklim semakin singkat. Salah satunya ialah siklus variasi El Nino-Southern Oscillation (pergeseran periodik sistem atmosfer samudra di Pasifik tropis yang berdampak pada cuaca di seluruh dunia) yang semestinya terjadi setiap 3-7 tahun sekali, tetapi sudah menjadi lebih singkat menjadi 2-5 tahun sekali.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberikan imbauan bahwa fenomena El Nino akan berlangsung cukup panjang pada tahun ini hingga akhir Desember 2023. Karena itu, perlu mitigasi untuk menanggulangi fenomena tersebut agar tidak terjadi kelangkaan air, potensi kebakaran hutan dan lahan, serta penurunan produktivitas pangan.
Perubahan iklim menyebabkan pula kesulitan dalam menentukan waktu tanam, mengingat terjadi pergeseran awal puncak musim hujan. Food and Agriculture Organization (FAO) memproyeksikan potensi penurunan produksi padi di Indonesia akibat fenomena El Nino sebesar 1,13 juta-1,89 juta ton, sehingga akan menurunkan pendapatan petani sembilan hingga 20 persen.