Makassar (ANTARA) - Sejumlah aktivis lembaga lingkungan hidup mendukung penuh langkah Pemerintah Provinsi Sulsel menggalakkan penanaman dua juta bibit pohon dan mengimbau masyarakat menanam pohon di momen peringatan Hari Bumi tahun 2024.
"Kami merespon baik dan mendukung imbauan penanaman pohon di Hari Bumi oleh pemerintah. Meski bumi khususnya yang kita tinggali sekarang sudah terdegradasi, rusak, dengan sejumlah ancaman ekologi, penanaman pohon juga sebagai salah satu solusi," kata Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Sulawesi Selatan Ahmad Yusran di Makassar, Senin.
Pihaknya berharap, penanaman jutaan pohon itu termasuk imbauan menanam pohon tidak hanya bersifat simbolik, tetapi sebagai langkah bersama dalam mencegah perubahan iklim yang lebih masif.
"Kita berharap kegiatan ini tidak seremoni belaka menanam pohonnya. Tetapi tidak kalah penting adalah melek literasi iklim yang begitu cepat dan membawa petaka oleh ulah perilaku manusia" tutur Anggota Dewan Kongres Sungai Indonesia ini menegaskan.
Yusran menilai dampak kerusakan lingkungan akibat ulah manusia sendiri yang merusak ekosistem hutan dengan pembukaan lahan, pembalakan hutan maupun eksploitasi tambang, maraknya penggunaan racun mulai insektisida hingga radiasi mencemari udara dan air.
Selain itu atmosfer kini dipenuhi dengan gas rumah kaca hasil pembakaran fosil bahan bakar kendaraan. Tanah terkikis, sungai dan laut dipenuhi plastik, permukaan air laut naik, terumbu karang memutih lalu mati.
Terjadi dampak kekeringan, kebakaran hutan, angin topan, dan banjir yang semakin meningkat frekuensi dan kekerasan. Disusul spesies eksotik flora dan fauna di ekosistemnya akan punah pada tingkat yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh umat manusia.
"Bumi kini mengalami perubahan iklim secara global, tetapi itu bukan hal baru dalam sejarah evolusi bumi. Tetapi itu bisa menjadi ancaman yang bisa menyebabkan krisis iklim berdampak pada lingkungan," papar jurnalis Liputan 6 itu.
Menurut dia, seiring berkembangnya peradaban serta meningkatnya kebutuhan energi maka penggunaan energi dari sumber-sumber terbarukan, seperti kincir angin, kincir air, dan energi terbarukan lainnya sudah mulai dieksploitasi dan dikembangkan.
Meski demikian, eksploitasi dengan mencungkil dan memompa bahan bakar fosil, batu bara, minyak, dan gas, dari perut bumi yang terbentuk dan tersimpan melalui proses geologis selama jutaan tahun masih berlangsung. Disusul pelepasan karbon dioksida (CO2), metana, dan gas rumah kaca ke atmosfer, hingga kelebihan CO2 di atmosfer menyebabkan terjadi perubahan iklim secara global.
"Harus disadari perilaku kita secara drastis telah mengganggu keseimbangan, padahal dalam Al Quran sudah dijelaskan secara detail bagaimana sistem-sistem bumi itu yang saling berhubungan, bila dirusak maka tentu mengakibatkan bencana," kata dia menambahkan.
Menolak tambang
Kepala Departemen Eksternal Wahana Lingkungan Hidu (Walhi) Sulsel Rahmat Kottir mengungkapkan permasalahan yang dihadapi saat ini adalah krisis iklim yang dipicu oleh masifnya kegiatan ekstraktif seperti pertambangan nikel yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
"Di Sulsel sendiri, ekspansi pertambangan nikel mengancam ekosistem hutan hujan yang kaya akan biodiversitas. Dampaknya, mencakup kerusakan habitat, kehilangan keanekaragaman hayati, serta berdampak negatif terhadap masyarakat lokal yang bergantung pada hutan untuk pencaharian dan kehidupan mereka," ujarnya.
Hal senada disampaikan Kepala Divisi Perlindungan Ekosistem Esensial Walhi Sulsel Sulawesi Zulfaningsih HS yang menyoroti program hilirisasi. Ambisi pemerintah dalam hilirisasi nikel di Indonesia jelas tidak mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan yang sehat untuk generasi yang akan datang.
"Terlihat dalam praktiknya, hilirisasi justru menambah ancaman terhadap lingkungan karena bertambahnya konsesi tambang nikel dan masifnya pembangunan smelter yang menimbulkan berbagai macam persoalan, seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan menambah angka kemiskinan di Sulawesi," katanya".
Memperingati Hari Bumi, Walhi sulsel bersama Green youth Movement menyuarakan penolakan terhadap rencana ekspansi tambang nikel PT Vale Indonesia di Blok Tanamalia, Kabupaten Luwu Timur. Meskipun Sulawesi memiliki cadangan nikel yang besar dan dianggap modal dunia untuk membangun sistem energi rendah karbon, tetapi upaya tersebut menghadirkan dilema yang menyedihkan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.