Jakarta (ANTARA) - Pemberantasan narkoba di Indonesia menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo. Bahkan, pada rapat terbatas tahun 2016, Kepala Negara menyatakan perang terhadap bandar dan jaringan narkoba.
Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, TNI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kominfo, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diperintahkan bersinergi, keroyokan memberantas narkoba, dan mengesampingkan ego sektoral.
Di bidang penegakan hukum, aparat harus lebih keras dan tegas terhadap jaringan-jaringan yang terlibat. Menutup celah semua penyeludupan yang berkaitan dengan narkoba di pintu masuk, baik di pelabuhan, bandara, maupun pelabuhan-pelabuhan kecil.
Amanat Presiden ini ditindaklanjuti Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dengan membentuk Satuan Tugas Penanggulangan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Satgas P3GN) Polri di Bareskrim Polri hingga polda.
Satgas P3GN Polri lantas bergerak menjalankan perintah Presiden dan Kapolri. Sejak 21 September 2023 sampai 9 Juli 2024 ini, Satgas P3GN Polri dari tingkat pusat dan daerah telah menangkap 38.194 tersangka. Dari jumlah itu, 31.880 tersangka sedang menjalani proses penyidikan dan 6.314 menjalani rehabilitasi.
Selama periode itu juga, Polri menerbitkan 26.048 laporan polisi dan menyita barang bukti narkoba berupa: sabu-sabu seberat 4,4 ton, ekstasi 2.618.471 butir, ganja 2,1 ton, kokain 11,4 ton, tembakau gorila seberat 1,28 ton, ketamin 32,3 kilogram, heroin 86 gram, dan obat keras sebanyak 16.704.357 butir.
Kasatgas P3GN Polri Irjen Pol. Asep Edi Suheri mengatakan dalam pengungkapan ini Polri tidak bekerja sendiri. Ada peran kementerian dan lembaga terkait serta dukungan masyarakat.
Kerja kolaboratif dan dukungan masyarakat ini menjadi pendorong bagi jajaran Satgas P3GN Polri untuk terus melawan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Untuk itu, Asep meminta masyarakat tidak ragu melaporkan kepada polisi bisa menemukan indikasi atau dugaan peredaran maupun penyalahguna narkoba di lingkungannya. Makin cepat laporan tersebut diterima, kian banyak jiwa yang berhasil diselamatkan dari bahaya narkoba.
“Polri berkomitmen bertindak tegas memerangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Indonesia,” kata Asep.
Memburu Fredy Pratama
Selain fokus memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba di Tanah Air, Satgas P3GN Polri dan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri serta polda juga intens memberantas jaringan internasional gembong narkoba Fredy Pratama, warga negara Indonesia yang bermukim dan mengendalikan peredaran narkoba dari Thailand.
Pemburuan ini diberi sandi dengan nama Operasi Escobar. Sejak September hingga Juli 2024, sebanyak 60 tersangka jaringan Fredy Pratama sudah ditangkap. Mereka tidak hanya dijerat pasal terkait peredaran narkoba, tapi juga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dari 60 tersangka itu, 45 orang sudah diproses tahap II atau pelimpahan tersangka beserta barang bukti kepada jaksa penuntut umum (JPU). Kemudian, seorang tersangka atas nama Bayu Firmadi tahap P-19 atau pengembalian berkas sesuai petunjuk JPU, dan sisanya 14 tersangka proses penyidikan.
Selama perburuan itu, Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri, pada awal April 2024 berhasil mengungkap keberadaan laboratorium narkoba rahasia atau clandestine laboratory milik jaringan Fredy Pratama, empat tersangka ditangkap. Mereka memasukkan barang-barang kimia dari China ke Indonesia, untuk selanjutnya diolah menjadi prekursor narkoba untuk memproduksi ekstasi dan sabu.
Tentu saja bukan cuma milik jaringan Fredy Pratama. Setidaknya ada empat clandestine laboratory lainnya yang diungkap oleh Polri di sejumlah wilayah, yakni Malang, Jawa Timur, Semarang, Jawa Tengah, Bali, dan Sumatera Utara.
Perkembangan terbaru, Polri mengirimkan tim gabungan DivHubinter dan Dittpidnarkoba Bareskrim Polri ke Thailand untuk bekerja sama dengan kepolisian setempat untuk memburu Fredy Pratama, pria asal Kalimantan Selatan, yang masih bersembunyi di Thailand itu.
Tekad bisa menangkap dan memulangkan Fredy Pratama ke Indonesia ini pun ditegaskan kembali pada saat Polri berhasil membantu Kepolisian Kerajaan Thailand menangkap Thongduan Chaowalit aliasn Pang Nardone alias Sulaiman di Bali pada akhir Mei 2024.
Chaowalit adalah buronan nomor 1 dan paling dicari oleh The Royal Thai Police. Ia terlibat kasus narkoba dan membunuh polisi setempat saat pelariannya dari Thailand ke Indonesia bulan Februari lalu. Kepolisian Thailand pun mengapresiasi keberhasilan Polri dalam menangkap buronan paling berbahaya itu.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol. Mukti Juharsa dihubungi ANTARA mengatakan pencarian terhadap Fredy Pratama makin intensif. Kepolisian berhati-hati dalam melakukan penegakan hukum karena aturan yang ketat di negara tersebut.
TPPU bandar dan kurir narkoba
Kerja keras Polri memberantas narkoba selain untuk penegakan hukum, juga demi memberikan efek jera kepada pelaku, salah satunya memiskinkan para bandar dan kurir, dengan menggunakan jerat Pasal TPPU.
Jaringan Fredy Pratama juga jadi target untuk dimiskinkan agar tidak lagi bisa mengedarkan narkoba di Indonesia. Polri menyita aset dari jaringan tersebut senilai Rp422,20 miliar terdiri atas tanah dan bangunan, apartemen, uang tunai, dan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selain itu, Kepolisian Thailand juga membuat upaya yang sama kepada istri Fredy Pratama yang merupakan warga negara Thailand. Harapannya, dengan dimiskinkan, hal ini akan mempersempit ruang geraknya dalam peredaran narkoba.
Walau sudah jadi buronan, Fredy Pratama masih menjalankan bisnis haram ini, terbukti pada April 2024, Polri menggerebek clandestine laboratory milik jaringan tersebut di perumahan kawasan Sunter, Jakarta Utara.
Polri saat ini bekerja sama dengan Kepolisian Thailand mendata aset-aset Fredy Pratama yang berada di Thailand sekaligus melacak keberadaannya.
Penerapan Pasal TPPU ini jamak dilakukan oleh Polri dari tingkat Bareskrim Polri hingga polda jajaran, agar ada efek jera bagi para pelaku untuk tidak mencari-cari cara mengedarkannya dan mengulangi lagi perbuatannya.
“Jadi, kami akan menangkap mereka, mulai dari kurir lalu naik ke bandar-bandar. Orang-orang yang terlibat di jaringan inilah yang kami jadikan target dijerat Pasal TPPU,” kata Mukti.
Modus peredaran narkoba
Gencarnya aparat penegak hukum dalam upaya memberantas peredaran dan penyalahgunaan narkoba membuat para pelaku mencari celah untuk bisa terus mengedarkan barang dagangannya, salah satunya mengubah modus operandi.
Para pelaku berupaya mengelabui petugas untuk mengedarkan narkoba, salah satunya dengan mengemas narkoba dalam produk makanan, seperti teh hijau dari China, kaleng susu, permen, kopi, keripik pisang, keramik, dan masih banyak lainnya.
Pola peredaran narkoba dengan cara mengirim barang yang disamarkan ini menjadi tren sejak aparat hukum gencar memburu keberadaan clandestine laboratory di Tanah Air. Modus mengedarkan narkoba dengan membangun laboratorium narkoba rahasia ini sudah marak sejak awal tahun 2000-an. Namun, seiring gencarnya penindakan, pelaku mengubah modus dengan pengiriman narkoba siap edar.
Akan tetapi, seiring berjalan waktu, modus lama kembali digunakan pelaku dengan cara berbeda, yakni membuat clandestine laboratory di Indonesia, lalu mengirim bahan-bahan kimia dari luar negeri untuk membuat prekursor narkoba di Tanah Air sebagai bahan baku sabu dan ekstasi.
Namun, modus ini pun terendus oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dari operasi di pelabuhan dan bandara, aparat mencurigai adanya kiriman bahan-bahan kimia dalam jumlah banyak dan rutin. Oleh karena itu, Ditjen Bea Cukai minta Polri menelusuri ke mana bahan-bahan kimia itu dikirimkan kepada penerimanya. Dari situ, juga ditelusuri siapa pemesan dan pengiriman bahan kimia tersebut.
Terkait modus baru ini, kata Brigjen Pol. Mukti Juharsa, Polri telah mengantisipasi lewat kerja sama dengan Imigrasi dan Ditjen Bea dan Cukai.
Polri juga berkoordinasi dengan Kepolisian China untuk mencegah pengiriman bahan-bahan kimia mencurigakan dari negeri Tirai Bambu itu masuk ke Indonesia lewat cara ilegal. Hasil koordinasi tersebut, Kepolisian China meminta daftar bahan-bahan kimia tersebut.
Sejauh ini, China sudah melarang 24 produksi baru bahan kimia untuk diekspor.