Makassar (ANTARA) - Selepas sholat Subuh, warga dan keluarga keturunan Kekaraengan (Kerajaan) Marusu di Kampung Kassi Kebo (pasir putih), Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, berkumpul di rumah adat yang disebut "Balla Lompoa".
Kendati di pagi buta itu, mata sebagian besar anak muda yang berkumpul di rumah adat masih berat, karena diserang rasa kantuk, namun prosesi awal menuju sawah adat menjadi penyemangat untuk mempercepat langkah menuju sawah diiringi suara 'gandrang' (gendang) dan gong.
Setelah berjalan kaki sekitar satu kilometer dari rumah adat, sampailah rombongan yang akan melakukan panen raya di sawah milik Kekaraengan Marusu.
Sinar matahari berwarna keemasan mulai terbit di ufuk timur, menambah keindahan warna bulir-bulir padi yang sudah siap di panen.
Satu per satu pun turun ke sawah dengan alat pemotong padi tradisional "anai-anai" di tangan.
Tentu ini bukan pemandangan yang lazim bagi generasi zaman milenial yang sudah sering melihat mobil pemotong padi dengan kinerja yang super cepat dibandingkan 30 orang tenaga manusia.
Kendati peluh-peluh mulai bercucuran, namun Daeng Rassi salah seorang dari sekitar 30 orang yang memanen saat itu, tetap bersemangat bersama yang lainnya mengumpulkan batang demi batang padi jenis 'banda' itu.
Sekitar pukul 10.00 Wita, padi-padi yang sudah diikat rapi dijejerkan di pematang sawah dan siap diusung beramai-ramai.
Dari sekian kelompok padi yang sudah diikat itu, dua diantaranya diikat lebih besar sebagai ikatan induk sambil diberikan hiasan bunga-bunga warna-warni.
Menurut Abdul Waris Karaeng Sioja anak dari Karaeng (Raja) Marusu ke-18, Tajuddin Karaeng Masiga ini, kegiatan tradisi yang dilaksanakan sekali setahun, selain sebagai ajang silaturrahim juga menunjukkan kebersamaan tanpa ada sekat antara pihak bangsawan dan masyarakat.
Tradisi Katto Bokko ini, lanjut dia, juga menjadi simbol pelestarian kearifan lokal dengan tetap menggunakan alat panen tradisional, mengutaman pemupukan alamiah dan sistem bajak sawah yang masih menggunakan bajak yang ditarik dengan dua ekor sapi.
Pada kegiatan "Katto Bokko" yang dilaksanakan pada akhir pekan pada bulan Maret atau April setiap tahun, telah mempertemukan antara pemilik sawah, pekerja sawah (penggarap) dan pemuka adat untuk duduk bersama membahas masalah pertanian.
Dia mengatakan pelaksanaan tradisi ini sudah dilakukan oleh silsilah keturunan Raja Marusu ke-24. Namun setelah kemerdekaan RI tidak lagi berbentuk kerajaan, tetapi dalam bentuk Kekaraengan yang dipimpin oleh pemangku adat dan kini sudah yang ke-6.
Mengenai tradisi "Katto Bokko" ini, pihak pemerintah biasanya juga turut andil, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) setempat.
Hal tersebut dibenarkan Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Kabupaten Maros Andi Yuliani mewakili Kadis Parbud Maros Ferdiyansyah.
Menurut dia, tradisi yang merupakan potensi wisata budaya ini selalu menjadi perhatian Pemkab Maros.
"Setidaknya masih ada lima komunitas masyarakat adat seperti ini yang masih ada di Kabupaten Maros yang menjaga tradisi budaya sebagai potensi wisata budaya," katanya.
Sementara itu, Bupati Maros Chaidir Syam yang turut hadir pada upacara adat "Katto Bokko" itu memberikan apresiasi pada Karaeng Sioja dan keluarganya serta masyarakat setempat yang bahu-membahu mempertahankan tradisi tersebut yang merupakan potensi wisata budaya yang harus terus dilestarikan.
Hal senada dikemukakan Pemangku adat Kerajaan Gowa yang menghadiri tradisi adat akhir Katto Bokko" Kekaraengan Marusu akhir pekan.
Dia mengatakan, pihak Kerajaan Marusu, masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Maros dapat saling mendukung dalam melestrasikan tradisi panen raya yang mengandung kearifan lokal.
Hal itu mulai dari pemilihan benih, hingga masa panen dengan tetap menggunakan alat tradisional "ani-ani" dan bantuan "sangki" (sabit) ditengah mekanisasi pertanian yang kebanyakan sudah menggunakan mobil pemotong padi.
Begitu pula sebelum pelaksanaan`Katto Bokko, lanjut dia, para pemangku adat dan masyarakat berembuk menentukan hari baik untuk pelaksanaan panen perdana secara adat, dengan mempertimbangkan kondisi cuaca dan lainnya.
Dalam hal ini, prinsip demokrasi masih dijunjung tinggi, karena selain pemangku adat, juga melibatkan permerintah daerah dan pihak Dinas Pertanian dan Pariwisata setempat.
![](https://img.antaranews.com/cache/730x487/2021/03/30/Katto-Bokko-bupati.jpg)
Menjaga Alam
Prosesi upacara adat "Katto Bokko" sebagai pertanda panen perdana dari pihak Kekaraengan Marusu dan diikuti masyarakat setempat penuh dengan filosofi menjaga keseimbangan alam.
Mulai dari benih padi jenis 'banda' dengan ciri khas bulirnya berbulu adalah tanaman padi yang dikenal tahan hama dibandingkan jenis padi lainnya.
Jenis padi yang ditanam pada musim berjalan merupakan benih dari hasil panen tahun lalu dari sawah adat milik kerajaan. Begitu pula padi yang dikonsumsi keluarga kerajaan adalah hasil panen tahun lalu.
"Hasil panen 'Katto Bokko' ini setelah melalui prosesi adat, belum boleh dikonsumsi, tetapi akan disimpan di lumbung padi di atas loteng rumah adat Balla lompoa," katanya.
Barulah padi tersebut di turunkan dari loteng jika sudah ada penggantinya pada musim panen berikutnya yang sekali setahun prosesi adatnya.
Tanaman padi di sawah adat ini pun hanya menggunakan pupuk organik dan proses bajak sawahnya tetap tradisional.
Sementara hasil panen sawah adat ini, selain untuk menghidupi keluarga kerajaan, juga diberikan pada masyarakat yang kurang mampu di sekitar Balla Lompoa sebagai wujud solidaritas sosial.
Khusus prosesi adat "Katto Bokko" yang digelar Kekaraengan Marusu yang dipimpin oleh Karaeng Sioja ini, diawali dengan penyambutan padi hasil panen raya dengan seloka-seloka suci oleh seorang lelaki kepercayaan raja untuk "A'ngaru" (berpuisi) penyambutan.
Selanjutnya, padi yang sudah diikat itupun diarak naik ke kerumah kerajaan, untuk mendapatkan prosesi berikutnya yakni didoakan oleh pinati dan Raja Marusu.
Sesekali tampak Karaeng Sioja mengibas-ngibaskan air pada dua indukan padi yang sudah diikat dengan dihiasi bunga-bunga dan daun-daun khas yang sudah diikat.
Setelah semua prosesi dilalui, maka hasil panen dari sawah adat itu disimpan diatas loteng rumah adat yang merupakan rumah panggung.
Untuk semua proses itu, Karaeng Sioja melibatkan generasi muda dengan membaurkan keturunan Kerajaan Marusu dengan warga setempat.
Hal tersebut sekaligus untuk mengajarkan secara tidak langsung kepada generasi muda keturunan kerajaan dan masyarakat setempat arti kebersamaan, berdemokrasi dan nilai-nilai budaya yang tidak boleh tergerus oleh zaman.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah pesta adat 'Katto Bokko' di Desa Kassi Kebo, Kabupaten Maros ini merupakan wujud kesyukuran pada yang Kuasa atas hasil panen yang melimpah.
Sedang Kepala Disbudpar Kabupaten Maros Ferdiansyah mengatakan,"Katto Bokko" yang masih tetap terpelihara merupakan satu kebanggaan bagi daerah yang berjulukan "Butta Salewangang" ini.
Karena itu, tradisi "Katto Bokko" ini menjadi salah satu kalender wisata di Kabupaten Maros pada khususnya dan Sulsel pada umumnya yang mendapat perhatian dari Disparbud untuk dilestarikan.
![](https://img.antaranews.com/cache/730x487/2021/03/30/Katto-Bokko-padi.jpg)