Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Sukamta meminta pemerintah segera mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi sering terjadinya peretasan dan kebocoran data yang menimpa warga negara serta lembaga di Indonesia.
Dia mengingatkan dalam UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) disebutkan bahwa serangan siber merupakan ancaman terhadap negara.
"Karena itu, perlu peningkatan kesadaran para pimpinan lembaga terhadap keamanan data, pembaruan teknologi, peningkatan kapasitas SDM, dan anggaran. Yang lebih penting pemerintah harus mengeluarkan kebijakan umum tentang siber yang kuat, tentunya dalam koridor peraturan dan perundang-undangan," kata Sukamta di Jakarta, Senin.
Hal itu dikatakannya terkait beberapa kasus kebocoran data seperti bobolnya situs BSSN dan bocornya data anggota Polri. Sebanyak 28.000 data anggota Polri dibagikan di Raidforum yang mencakup nama, alamat, pangkat, satuan kerja, tanggal lahir, jenis pelanggaran, nomor HP, dan email.
Menurut dia, kondisi ketahanan dan keamanan siber (KKS) Indonesia perlu diperkuat sehingga harus dikelola dari hulu hingga hilir.
Dia menjelaskan pekerjaan hulu ada pada peraturan dan perundangan-undangan sehingga dunia maya perlu diatur agar tidak menjadi "rimba belantara" karena saat ini baru UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur ranah siber.
"Jika kita gunakan Diagram Venn, maka himpunan semestanya adalah relasi internet dan manusia, di dalamnya ada himpunan KKS, keamanan data, transaksi elektronik, kejahatan siber, perilaku manusia sebagai pengguna internet, dan kedaulatan digital. Semuanya beririsan pada soal pelindungan data yang salah satunya pelindungan data pribadi," ujarnya.
Dia menilai masih banyak himpunan yang kosong dan belum ada regulasinya sehingga perlu ada RUU Ketahanan dan Keamanan Siber (KKS) dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Sukamta berharap RUU KKS bisa dimasukkan kembali dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) serta RUU PDP segera selesai dan disahkan menjadi undang-undang.
"Namun karena kondisi yang mendesak, sementara waktu untuk pembuatan undang-undang tidak sebentar, saya mendesak pemerintah agar mengeluarkan kebijakan untuk memperkuat siber," katanya.
Menurut dia, saat ini dunia siber Indonesia ditangai BSSN dan Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Polri, dasar hukum BSSN adalah Perpres No. 53 Tahun 2017 jo. No. 28 Tahun 2021.
Dia mengatakan Perpres terkait BSSN tidak cukup karena institusi tersebut harus diperkuat dengan sebuah undang-undang. BSSN diharuskan mengkoordinasikan semua fungsi KKS di lembaga-lembaga publik secara nasional.
"Jangan sampai ada ego sektoral di sini, karena bisa menghambat dan memperlambat semuanya," ujarnya.
Selain itu, dia menilai yang perlu diperhatikan adalah terkait diplomasi siber yang merupakan jembatan bagi negara untuk bekerja sama dengan negara-negara lain, khususnya terkait investigasi dan penindakan terhadap pelaku kejahatan siber dari negara lain.
Dia mencontohkan seperti kasus pembobolan situs BSSN dan data Polri, klaim pelaku berasal dari Brazil sehingga yurisdiksi harus jelas serta diperkuat dengan diplomasi siber.