Psikiater: Kesehatan jiwa dan fisik sama pentingnya
Makassar (ANTARA) - Psikiater Chrisna Mayangsari mengatakan kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan ini sangat fundamental.
"Kesehatan jiwa ini sama pentingnya dengan kesehatan fisik, namun di lapangan dukungan anggaran untuk penanganan kesehatan jiwa hanya sekitar dua persen," kata Chrisna selaku pembicara pada Zoominar Bincang Sehat Jiwa dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2022 secara virtual, Senin.
Dia mengatakan, rata-rata di lapangan berdasarkan hasil survei melansir jika alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa hanya sekitar dua persen.
Kondisi tersebut diakui sangat timpang dengan alokasi anggaran yang ditujukan untuk penanganan kesehatan fisik di lapangan.
Padahal harus disadari, bahwa kesehatan jiwa itu akan mempengaruhi kesehatan fisik lebih besar.
Pasalnya, lanjut dia, masalah kesehatan jiwa tetap terjadi di sepanjang usia kehidupan manusia, mulai dari anak-anak hingga usia lanjut.
Sebagai gambaran,dari data WHO diketahui 1 dari 8 anak mengalami gangguan jiwa. Sebagai contoh gangguan yang dialami anak-anak adalah gangguan spektrum audio visual dan gangguan pemusatan perhatian dan super aktivitas atau yang dikenal ADHD.
Sementara di kalangan remaja, depresi menjadi penyebab nomor satu karena paling sering terjadi. Dalam hal ini, kondisi itu juga menimbulkan rasa cemas yang tidak mampu dikendalikan.
Khusus di usia lanjut, gangguan jiwa itu dapat berupa demensia atau lebih dikenal dengan istilah "pikun".
Menurut Chrisna, terjadinya gangguan kejiwaan itu disebabkan aktivitas sehari-hari dan ditambah dengan beban ekonomi dan sosial budaya.
Kondisi itu menyebabkan 2 dari 10 orang mengalami halusinasi, namun untuk terapi, diagnosa dan penanganan yang masih sangat terbatas.
"Kesehatan jiwa ini sama pentingnya dengan kesehatan fisik, namun di lapangan dukungan anggaran untuk penanganan kesehatan jiwa hanya sekitar dua persen," kata Chrisna selaku pembicara pada Zoominar Bincang Sehat Jiwa dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2022 secara virtual, Senin.
Dia mengatakan, rata-rata di lapangan berdasarkan hasil survei melansir jika alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa hanya sekitar dua persen.
Kondisi tersebut diakui sangat timpang dengan alokasi anggaran yang ditujukan untuk penanganan kesehatan fisik di lapangan.
Padahal harus disadari, bahwa kesehatan jiwa itu akan mempengaruhi kesehatan fisik lebih besar.
Pasalnya, lanjut dia, masalah kesehatan jiwa tetap terjadi di sepanjang usia kehidupan manusia, mulai dari anak-anak hingga usia lanjut.
Sebagai gambaran,dari data WHO diketahui 1 dari 8 anak mengalami gangguan jiwa. Sebagai contoh gangguan yang dialami anak-anak adalah gangguan spektrum audio visual dan gangguan pemusatan perhatian dan super aktivitas atau yang dikenal ADHD.
Sementara di kalangan remaja, depresi menjadi penyebab nomor satu karena paling sering terjadi. Dalam hal ini, kondisi itu juga menimbulkan rasa cemas yang tidak mampu dikendalikan.
Khusus di usia lanjut, gangguan jiwa itu dapat berupa demensia atau lebih dikenal dengan istilah "pikun".
Menurut Chrisna, terjadinya gangguan kejiwaan itu disebabkan aktivitas sehari-hari dan ditambah dengan beban ekonomi dan sosial budaya.
Kondisi itu menyebabkan 2 dari 10 orang mengalami halusinasi, namun untuk terapi, diagnosa dan penanganan yang masih sangat terbatas.