PPA Makassar membangun kordinasi penanganan kekerasan perempuan dan anak
Makassar (ANTARA) - Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Pemerintah Kota Makassar terus membangun koordinasi dan mensinkronkan pelaksanaan program kebijakan bersama pihak terkait dari kepolisian hingga jurnalis sebagai upaya nyata pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Berdasarkan data terbaru ada 328 kasus kekerasan perempuan dan anak, 80 persen dari jumlah itu didominasi kasus anak," ujar Kepala UPTD PPA Kota Makassar Muslimin Hasbullah saat rapat koordinasi di Balai Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Menurutnya, angka tersebut meningkat dari tahun 2022 yang ditangani Polrestabes Makassar dengan jumlah kasus untuk perlindungan anak sebanyak 232 kasus, namun selesai hanya 120 kasus. Kemudian, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 161 kasus dan yang selesai 132 kasus.
"Koordinasi kali ini untuk menyamakan prespektif bagaimana sebaiknya penanganan kasus terhadap perempuan dan anak ini bisa saling terkoordinasi dengan baik termasuk aspek pendampingan hukumnya," kata pria disapa akrab Mimin ini menekankan.
Selain itu, pemberitaan berkaitan kasus perempuan dan anak berhadapan dengan hukum yang diolah jurnalis menjadi informasi, kata dia, perlu dipertimbangkan secara seksama sebelum diberitakan, sebab ini menyangkut hak-hak pribadi korban maupun pelaku anak di bawah umur.
"Kami sangat berharap rekan-rekan jurnalis tidak serta merta memberitakan korban perempuan maupun anak secara fulgar tanpa saringan, selain melanggar kode etik jurnalis, juga akan berdampak buruk pada korban maupun pelaku yang masih di bawah umur," harap dia.
Kepala Satuan (Kasat) Reserse dan Kriminal Umum Polrestabes Makassar AKBP Ridwan JM Hutagaol dalam rapat koordinasi itu menyebutkan data kasus kekerasan perempuan maupun anak secara akumulasi sebanyak 181 kasus hingga Juni 2023.
"Angka kekerasan perempuan termasuk anak yang berkonflik dengan hukum di Makassar cukup tinggi. Tugas kami di kepolisian sebatas menindaklajuti setelah kejadian, ibaratnya pemadam kebakaran. Pencegahan dini kita masih lemah, mestinya itu bisa diselesaikan ditingkat RT/RW Babinkantibmas dan lurah setempat," katanya.
Selain itu, penanganan perkara kekerasan fisik, kekerasan seksual, perbuatan cabul, KDRT apalagi menyangkut anak di bawah umur, tidak ditangani di jajaran Polsek, tapi rata-rata ditangani Polrestabes karena ada penyidik PPA. Tetapi fatalnya, anak berhadapan dengan hukum ini malah perbuatannya melebihi orang dewasa.
Begitu pula kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Makassar juga ada terjadi. Tercatat sebanyak 147 kasus dugaan TPPO dengan modus dipekerjakan ke luar negeri, serta berbagai iming-iming lain. Ironinya, adapula korban masih di bawah umur turut dibawa serta sindikat TPPO.
"Modusnya beragam, ada bekerja di luar negeri, kawin kontrak, eksploitasi perempuan dan anak, dikirim menjadi ABK kapal tidak sesuai prosedur masih di bawah umur, dipekerjakan ke luar negeri dengan alasan untuk membayar utang tetapi di sana bekerja rodi," ungkap Ridwan.
Modus lain yang dijalankan para sindikat TPPO tersebut juga mengincar mahasiswa dengan dalih akan dikirim magang atau bekerja dalam studi ke Jepang maupun negara lainnya, namun belakangan dipekerjakan dalam praktik prostitusi.
"Melalui koordinasi ini tentu semua hal berkaitan dengan kasus perempuan dan anak yang sifatnya bisa di mediasi di tingkat bawah bisa selesai agar tidak semua berakhir penyelesaiannya di kantor polisi. Selama masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka itu lebih baik," katanya menambahkan.
"Berdasarkan data terbaru ada 328 kasus kekerasan perempuan dan anak, 80 persen dari jumlah itu didominasi kasus anak," ujar Kepala UPTD PPA Kota Makassar Muslimin Hasbullah saat rapat koordinasi di Balai Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat.
Menurutnya, angka tersebut meningkat dari tahun 2022 yang ditangani Polrestabes Makassar dengan jumlah kasus untuk perlindungan anak sebanyak 232 kasus, namun selesai hanya 120 kasus. Kemudian, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 161 kasus dan yang selesai 132 kasus.
"Koordinasi kali ini untuk menyamakan prespektif bagaimana sebaiknya penanganan kasus terhadap perempuan dan anak ini bisa saling terkoordinasi dengan baik termasuk aspek pendampingan hukumnya," kata pria disapa akrab Mimin ini menekankan.
Selain itu, pemberitaan berkaitan kasus perempuan dan anak berhadapan dengan hukum yang diolah jurnalis menjadi informasi, kata dia, perlu dipertimbangkan secara seksama sebelum diberitakan, sebab ini menyangkut hak-hak pribadi korban maupun pelaku anak di bawah umur.
"Kami sangat berharap rekan-rekan jurnalis tidak serta merta memberitakan korban perempuan maupun anak secara fulgar tanpa saringan, selain melanggar kode etik jurnalis, juga akan berdampak buruk pada korban maupun pelaku yang masih di bawah umur," harap dia.
Kepala Satuan (Kasat) Reserse dan Kriminal Umum Polrestabes Makassar AKBP Ridwan JM Hutagaol dalam rapat koordinasi itu menyebutkan data kasus kekerasan perempuan maupun anak secara akumulasi sebanyak 181 kasus hingga Juni 2023.
"Angka kekerasan perempuan termasuk anak yang berkonflik dengan hukum di Makassar cukup tinggi. Tugas kami di kepolisian sebatas menindaklajuti setelah kejadian, ibaratnya pemadam kebakaran. Pencegahan dini kita masih lemah, mestinya itu bisa diselesaikan ditingkat RT/RW Babinkantibmas dan lurah setempat," katanya.
Selain itu, penanganan perkara kekerasan fisik, kekerasan seksual, perbuatan cabul, KDRT apalagi menyangkut anak di bawah umur, tidak ditangani di jajaran Polsek, tapi rata-rata ditangani Polrestabes karena ada penyidik PPA. Tetapi fatalnya, anak berhadapan dengan hukum ini malah perbuatannya melebihi orang dewasa.
Begitu pula kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Makassar juga ada terjadi. Tercatat sebanyak 147 kasus dugaan TPPO dengan modus dipekerjakan ke luar negeri, serta berbagai iming-iming lain. Ironinya, adapula korban masih di bawah umur turut dibawa serta sindikat TPPO.
"Modusnya beragam, ada bekerja di luar negeri, kawin kontrak, eksploitasi perempuan dan anak, dikirim menjadi ABK kapal tidak sesuai prosedur masih di bawah umur, dipekerjakan ke luar negeri dengan alasan untuk membayar utang tetapi di sana bekerja rodi," ungkap Ridwan.
Modus lain yang dijalankan para sindikat TPPO tersebut juga mengincar mahasiswa dengan dalih akan dikirim magang atau bekerja dalam studi ke Jepang maupun negara lainnya, namun belakangan dipekerjakan dalam praktik prostitusi.
"Melalui koordinasi ini tentu semua hal berkaitan dengan kasus perempuan dan anak yang sifatnya bisa di mediasi di tingkat bawah bisa selesai agar tidak semua berakhir penyelesaiannya di kantor polisi. Selama masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan, maka itu lebih baik," katanya menambahkan.