AJI Makassar: Perkara jurnalistik harus kedepankan Undang-Undang Pers
Makassar (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar mengingatkan semua pihak termasuk pihak kepolisian harus mengedepankan penanganan perkara karya jurnalistik melalui mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
"Mengingat ini momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, baik provinsi maupun kabupaten kota di Sulawesi Selatan, maka perlu diantisipasi jika nanti ada karya jurnalistik itu diperkarakan, Polri tentu sudah tahu langkah yang harus diambil," kata Ketua AJI Makassar Didit Hariyadi melalui siaran persnya diterima Rabu.
Hal tersebut merespons kunjungan Kapolrestabes Makassar Kombes Mokh Ngajib di Sekretariat AJI Makassar, Jalan Toddopuli dalam rangka silaturahim guna membangun komunikasi dan koordinasi berkaitan penanganan sengketa Pers.
Didit mengemukakan, Dewan Pers bersama Polri telah meneken MoU atau Nota Kesepahaman tentang Pelindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Dalam Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Kerja sama ini tertuang dalam surat nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan nomor NK/4/III/2022.
"Kita tekankan MoU, jika ada kasus soal karya jurnalistik, mekanisme penyelesaian di dewan pers, kecuali pemerasan kasusnya itu pidana murni," papar jurnalis Tempo tersebut.
Ia mencontohkan, belum lama ini karya jurnalistik diterbitkan media inikata.co.id beserta herald.id dilaporkan ke Polrestabes. Bila mengacu ke Undang-Undang Pers tentu perkara dapat diselesaikan, namun penyidik kepolisian menganggap kasus itu adalah pidana.
Tetapi belakangan tidak dilanjutkan setelah diberikan penjelasan terkait penanganannya.
"Mestinya penyidik berkoordinasi dengan Dewan Pers. Sebab, nanti Dewan Pers yang akan melakukan penilaian terhadap isi berita, apakah itu murni pidana atau memiliki kaidah-kaidah jurnalistik. Kami juga mendorong keterbukaan informasi terutama penyidik yang menangani sengketa jurnalistik," kata Didit menjelaskan.
AJI Makassar menyarankan agar jajaran kepolisian perlu berkomunikasi dengan lintas media di masa tahapan Pilkada serentak dilaksanakan 24 November 2024 guna mengantisipasi kasus serupa termasuk dugaan kekerasan jurnalis yang rentan terjadi di masa kampanye.
Majelis Pertimbangan dan Legislasi AJI Makassar Nurthamzil Thahir menambahkan, jika ada laporan karya jurnalistik masuk ke polisi maka penyelesaiannya harus melalui mekanisme Dewan Pers serta menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan yang lain. Selain itu, personil juga perlu dibekali pemahaman tentang pers.
"Kasus jurnalis atau wartawan yang dilaporkan karena karya jurnalistiknya harus mengedepankan Undang-undang Pers, jangan langsung diproses pidana," tutur Pimpinan Redaksi Harian Tribun Timur ini.
Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Mokhamad Ngajib mengemukakan, perkara dua media tersebut yang dilaporkan adalah nara sumbernya, bukan jurnalisnya.
Namun demikian, penyidik telah berkoordinasi dengan Dewan Pers sehingga dapat diselesaikan.
"Kalau memang termasuk di dalam lingkup Undang-undang pers, pasti kita masukan ke dewan pers. Tapi, kalau itu di luar dari pada Pers, tentunya kita menggunakan Undang-undang yang lain sesuai ketentuannya," katanya.
Ngajib mengungkapkan, dulu pernah bertugas di Kota Makassar sekira tahun 1997-1998, kala itu jurnalis masih sangat sedikit. Tetapi kini sudah banyak sekali (abal-abal). Bahkan rasa cemburunya sangat tinggi sekali, apalagi tidak diundang maka makin cemburu.
"Jadi begini, yang (Jurnalis) resmi itu enak sekali tidak akan membuat pelanggaran, tetapi banyak jadi masalah yang tidak resmi itu. Kadang kala tidak resmi ini buat berita tidak ada klarifikasinya, tahu-tahu buat tuduhan, pada akhirnya menjadi pidana pencemaran nama baik," papar mantan Kapolrestabes Palembang tersebut.
"Mengingat ini momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, baik provinsi maupun kabupaten kota di Sulawesi Selatan, maka perlu diantisipasi jika nanti ada karya jurnalistik itu diperkarakan, Polri tentu sudah tahu langkah yang harus diambil," kata Ketua AJI Makassar Didit Hariyadi melalui siaran persnya diterima Rabu.
Hal tersebut merespons kunjungan Kapolrestabes Makassar Kombes Mokh Ngajib di Sekretariat AJI Makassar, Jalan Toddopuli dalam rangka silaturahim guna membangun komunikasi dan koordinasi berkaitan penanganan sengketa Pers.
Didit mengemukakan, Dewan Pers bersama Polri telah meneken MoU atau Nota Kesepahaman tentang Pelindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Dalam Penyalahgunaan Profesi Wartawan. Kerja sama ini tertuang dalam surat nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan nomor NK/4/III/2022.
"Kita tekankan MoU, jika ada kasus soal karya jurnalistik, mekanisme penyelesaian di dewan pers, kecuali pemerasan kasusnya itu pidana murni," papar jurnalis Tempo tersebut.
Ia mencontohkan, belum lama ini karya jurnalistik diterbitkan media inikata.co.id beserta herald.id dilaporkan ke Polrestabes. Bila mengacu ke Undang-Undang Pers tentu perkara dapat diselesaikan, namun penyidik kepolisian menganggap kasus itu adalah pidana.
Tetapi belakangan tidak dilanjutkan setelah diberikan penjelasan terkait penanganannya.
"Mestinya penyidik berkoordinasi dengan Dewan Pers. Sebab, nanti Dewan Pers yang akan melakukan penilaian terhadap isi berita, apakah itu murni pidana atau memiliki kaidah-kaidah jurnalistik. Kami juga mendorong keterbukaan informasi terutama penyidik yang menangani sengketa jurnalistik," kata Didit menjelaskan.
AJI Makassar menyarankan agar jajaran kepolisian perlu berkomunikasi dengan lintas media di masa tahapan Pilkada serentak dilaksanakan 24 November 2024 guna mengantisipasi kasus serupa termasuk dugaan kekerasan jurnalis yang rentan terjadi di masa kampanye.
Majelis Pertimbangan dan Legislasi AJI Makassar Nurthamzil Thahir menambahkan, jika ada laporan karya jurnalistik masuk ke polisi maka penyelesaiannya harus melalui mekanisme Dewan Pers serta menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan yang lain. Selain itu, personil juga perlu dibekali pemahaman tentang pers.
"Kasus jurnalis atau wartawan yang dilaporkan karena karya jurnalistiknya harus mengedepankan Undang-undang Pers, jangan langsung diproses pidana," tutur Pimpinan Redaksi Harian Tribun Timur ini.
Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Mokhamad Ngajib mengemukakan, perkara dua media tersebut yang dilaporkan adalah nara sumbernya, bukan jurnalisnya.
Namun demikian, penyidik telah berkoordinasi dengan Dewan Pers sehingga dapat diselesaikan.
"Kalau memang termasuk di dalam lingkup Undang-undang pers, pasti kita masukan ke dewan pers. Tapi, kalau itu di luar dari pada Pers, tentunya kita menggunakan Undang-undang yang lain sesuai ketentuannya," katanya.
Ngajib mengungkapkan, dulu pernah bertugas di Kota Makassar sekira tahun 1997-1998, kala itu jurnalis masih sangat sedikit. Tetapi kini sudah banyak sekali (abal-abal). Bahkan rasa cemburunya sangat tinggi sekali, apalagi tidak diundang maka makin cemburu.
"Jadi begini, yang (Jurnalis) resmi itu enak sekali tidak akan membuat pelanggaran, tetapi banyak jadi masalah yang tidak resmi itu. Kadang kala tidak resmi ini buat berita tidak ada klarifikasinya, tahu-tahu buat tuduhan, pada akhirnya menjadi pidana pencemaran nama baik," papar mantan Kapolrestabes Palembang tersebut.